Temu
Tidak terasa sudah beberapa bulan terlewati hanya dengan aku yang sibuk menunggu adanya panggilan kerja yang masuk ke emailku. Agak membuatku frustasi, sebenarnya. Terlebih karena aku seharusnya bekerja untuk membantu meringankan pekerjaan orang tuaku di desa. Sejujurnya aku bingung harus menghabiskan waktuku untuk melakukan apa, terlebih karena aku merantau di Jakarta sendirian. Sampai pada suatu hari aku akhirnya memutuskan untuk menemui teman-temanku hanya untuk sekadar berbagi cerita-cerita berisi keseharian kami yang cukup berbeda jauh, mungkin saja temanku ternyata memiliki tawaran pekerjaan yang menarik untukku, 'kan?
Tetapi ada hal menarik yang terjadi padaku hari ini. Saat aku berjalan menyusuri jalanan padat Ibukota untuk menuju rumah salah satu teman dekatku, aku melihat sebuah dompet hitam disamping jalan dekat trotoar yang kemudian aku ambil secara hati-hati untuk memastikan isinya. Saat kubuka dompet tersebut, aku cukup terkejut dengan isinya. Di dalam dompet tersebut terdapat berbagai berkas penting, seperti KTP, SIM, beberapa surat-surat penting lainnya, kartu atm yang berjumlah cukup banyak, serta sebuah kartu kredit dan uang tunai sebesar lima juta rupiah.
Aku ingin menggunakan uang itu untuk membeli sesuatu yang mewah, benakku sempat tergoda untuk mengambil sesuatu yang bukan milikku. Aku memutuskan untuk menyimpan dompet ini untuk berjaga-jaga apabila ada keadaan darurat yang mengharuskan diriku memiliki uang dalam jumlah besar.
Akhirnya aku melanjutkan perjalananku ke rumah temanku sambil memikirkan tentang bagaimana aku harus menyimpan dompet ini dengan benar, haruskah kuberikan dokumen resmi ke kantor polisi, menyimpan tunainya di bank, atau harus langsung kukembalikan saja. Hal ini memang membuatku sedikit kepikiran, tapi aku memilih untuk mengabaikan masalah ini untuk sementara waktu karena kau tidak sabra untukk bertemu teman-teman lamaku. Kami berbicara banyak hal untuk mengisi rindu, tentang bagaimana liburan Eki yang harus terpotong karena meeting kerjanya harus dimajukan, atau tentang bagaimana Juli harus mengalah kepada anaknya dalam urusan tujuan destinasi wisata. Topik kami tidak pernah habis, seaneh apapun pembahasannya. Tidak sadar tiga jam telah berlalu, aku memilih untuk berpamitan lebih awal kepada teman-temanku karena aku merasa diriku tidak enak badan. Aku rasa aku sakit, meskipun tadi pagi aku merasa baik-baik saja.
Tiga hari semenjak aku bertemu teman-temanku, demamku tidak kunjung turun. Bertambah buruk, yang ada. Dan anehnya, aku merasa diriku tertimpa banyak sial belakangan ini. Entah tempat tinggalku yang mendapat banjir ketika hujan, motorku yang tidak bisa dinyalakan padahal keadaan sedang genting, serta hal terkecil sekalipun seperti ketumpahan segelas kopi saat dalam perjalanan menuju panggilan interview untuk pekerjaan yang aku impikan, sehingga membuat mereka bepikir bahwa diriku tidak rapih dan berpikir dua kali untuk menjadikanku pegawai.
Lumayan lama aku merasa hal-hal aneh ini menggangguku, hingga akhirnya aku menghubungiku teman-temanku untuk berkumpul lagi di tempat tinggalku. Sesampainya mereka, aku segera menceritakan kejadian yang aku curigakan adalah alas an terbeesar kenapa aku bisa merasa seperti ini. Kebanyakan dari mereka hanya terdiam tak percaya.
"Aku rasa itu mungkin saja terjadi, Man. Maksudku, itu tidak menutup kemungkinan. Siapa tahu kalau kamu sedang diberikan ujian oleh Tuhan karena mengambil apa yang bukan menjadi hakmu?" tanggapan Eki cukup masuk akal menurutku.
"Hm, hamu benar juga, Ki. Bagaimana kalau kamu mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya? Seharusnya dari awal kamu sudah tau konsekuensi dari mengambil milik orang kan?" sambar Evan setelah aku tidak menjawab pernyataan Eki.
"Baiklah baiklah, aku akan mencoba mencari alamatnya besok."
"Kami bisa membantu, kau tau," ucap Juli serius.
"Tidak perlu, Jul. Aku akan melakukan apa yang sudah menjadi tanggung jawabku. Ini memang salahku dari awal. Kita semua tau ini."
Percakapan kami ditutup oleh canda tawa dari pertikaian kecil antara Eki dan Evan yang memperdebatkan masalah sepele kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendakian Masa Depan
Teen FictionKalau mau usaha dan menunggu, apa saja bisa jadi milikku. Termasuk kamu.