Prolog

26 6 4
                                    

Akhir musim panas pun berlalu tanpa kusadari. Aku mengingat pertemuan kita yang kurasa ini tak lazim. Bahkan memang seharusnya kita tak saling bertemu. Seharusnya ini semua tak terjadi, sehingga tak usah ada cerita diantara kita.

Namun tetap saja aku tak bisa menentang takdir. Entah berapa kali kucoba melarikan diri, yang namanya takdir tetaplah takdir. Lantas, sanggupkah aku untuk terus berpura-pura lagi? Sanggupkah aku membohongi diriku sendiri? Tidak, tentu saja tidak. Sakit!! Yaa, itu yang saat ini kurasakan. Lantas, bagaimana denganmu? Apa kau merasakan apa yang sedang kurasa? Atau malah sebaliknya? Kau merasa senang dan bahagia di atas penderitaanku ini?

Aku ingat saat pertama kali kita bertemu. Mungkin pertemuan kita saat itu adalah kutukan bagiku. Mengapa? Karena setiap aku ingin menghindar darimu, kau selalu saja muncul dalam hidupku. Sebesar apapun keinginanku untuk menghindar darimu, sebesar itu juga kau terus muncul dihadapanku. Aku pun merasa heran, sebenarnya siapa sih 'sosok' kamu itu. Apakah kamu itu benar-benar manusia atau malah makhluk jadi-jadian? Aneh.

Setelah pertemuan yang tak lazim itu. Lekas aku memulai kebohongan kecil ini untuk merahasiakan cerita kita dari orang lain. Tak satupun orang tahu apa status kita berdua. Yang orang lain tahu, status kita hanya sebatas guru dan murid. Dia adalah guru fisikaku. Dia merupakan guru favorit di SMA-ku, terutama di kalangan para teman-teman wanitaku. Sosoknya yang supel dan penuh perhatian itu yang membuatnya terkenal di kalangan guru-guru dan murid. Bahkan banyak teman-temanku yang terang-terangan menyatakan perasaan padanya.

Aku rasa ini semua mudah untuk kulakukan, toh kita juga sering bertemu, berpapasan, bahkan saling menatap. Namun ternyata aku salah menafsirkan. Ini semua sangat berat kulakukan. Semua ini sangat menyakitkan, aku benci dengan diriku sendiri. Kenapa aku bisa jatuh cinta dengan guruku sendiri sih?.

🍁❯──「tear」──❮🍁

Aku pernah berpura-pura bahagia.
Aku pernah menahan amarah dalam dada.
Hanya untuk menahan luka, dan itupun karena terpaksa.
Alhasil, ini sungguh menyiksa.

- Shaa Keinarra Azayara-

Sensei is My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang