Ila Mata
Bab 1.
[Semesta pun tau aku menyangi mu.]
.Taraju, 5 Februari
Malam itu langit begitu indah. Kerlap kerlip cahaya bintang bak melukiskan gambaran jika di satukan. Mata ku menerawang ke arah bintang-bintang itu sesekali tersenyum saat berhasil menyatukan nya dalam fantasi gambar.
Nadhifa Az-zahra yang berarti Suci dan Az-zahra salah satu julukan putri baginda rasulluloh. Wanita yang di sucikan. Indah bukan namaku? Memang, Abah yang memberi nama itu.
Usai ngaji kitab tadi. Tya mengajak ku ke atas menara masjid. Bukan hanya kita berdua tapi kami berEmpat. Tya, Anwar, Shaleh, dan Aku.
Aku sempat menolak ajakan Tya. Namun karna ia berjanji ini untuk terakhir kali aku pun menyanggupi nya. Teringat saat terakhir kali kala kami berEmpat naik ke atas menara ini.
Abah datang dengan tongkat nya. Ia naik ke atas menara masjid memasang raut wajah garang penuh wibawa.
"Budak teh ker naraon di darieu? Kumaha lamun labuh? Turun gewat turun." (Anak kecil lagi ngapain di sini? Gimana nanti kalo jatoh? Turun cepat turun).
Semula kami hanya cengengesan namun cengengesan itu berubah tat kala suara Shaleh terdengar nyaring meringis.
"Duh, astagfirulloh. Nyeri Argh."(Duh, astagfirulloh. Sakit Argh).
Di atas remang-remang cahaya bulan, kami tertawa terbahak-bahak tak terkecuali Abah yang ikut tertawa seolah melupakan kejadian tadi yang marah menyuruh kami turun.
Di sela-sela tertawa Abah berbicara, "Ari maneh Shaleh nanaonan mani ngaclok ka dinya. Boa edan budak teh."(Kamu nya Shaleh ngapain coba lompat kesitu. Mungkin gila nih bocah).
"Atuda mae teh arek di babuk deui,"(Ku kira mau di tabok lagi) gumam Shaleh namun terdengar jelas untuk kami. Sesekali ia meringis mengelus-ngelus pantatnya yang mencium jalan setapak di bawah menara masjid. Tidak terlalu bawah dan juga tidak terlalu tinggi.
Aku hanya menggelengkan kepala saat mengingat kejadian itu. Kaki ku di ayun-ayunkan di atas menara bersamaan dengan Tya, Shaleh dan Anwar.
"Eh, kalian emut basa kapungkur kita kadieu?"(eh, kalian ingat ngga duku sewaktu kita ke sini?) ujar Tya membuka percakapan. "Duh, abi mah da sok seserian sorangan mun engges inget si Shaleh. Haha ... nanaonan kitu." (Duh, abi mah suka tertawa sendiri kalo udah inget Si Shaleh. Haha ... apa-apaan coba).
Aku dan Anwar tertawa namun tidak begitu nyaring seperti Tya. Shaleh hanya berdecak saat Tya mengatakan itu.
"Tya." Panggilan Shaleh yang terdengar seperti bentakan tak begitu di hiraukan oleh nya. Ia tetap tertawa lalu berhenti saat aku menyenggol lengannya.
"Kapungkur teh hanes Abah nyeselan pedah kita naek kadieu,"(Dulu tuh nya bukan Abah marah karna kita manjar kesini) jeda Anwar. "Masa eta teh kapan nuju ngaos. Sedengkeun suara lulumpatan Si Shaleh ni gandeng. Jadi weh Abah teh kadieu bisi kumaha onam," (kan waktu itu lagi ngaji. Sedangkan suara kaki anwar yang berisik. Jadi Abah ke sini takutnya kenapa-kenapa) papar Anwar.
Kami pun hanya manggut-manggut lalu memandang ke arah langit yang sekarang menampakan bulan nya yang bersinar indah di tengah-tengah gelap malam yang begitu pekat. Kadang di selingi dengan obrolan tentang anak-anak yang suka kami jahili.
Begitu seterusnya hingga waktu menunjukan larut malam kami pun turun. Namun di anak tangga terakhir Abah sudah menunggu dengan sebilah kayu yang di ayun-ayun kan di tangan nya.
Tya, Anwar, Shaleh, Aku. Bocah yang berumur 8 tahun seketika meneguk air ludah dengan susah.
.
10 Tahun kemudian
"Mah, berangkat. Assalamualaikum."
"Ehh, kan Acan emam?"
"Ntos nyanak bekel da Mah."
Mamah hanya manggut-manggut saat aku sudah berkata itu. Aku berpamitan pada sosok wanita anggun yang telah melahirkan ku tersebut, lalu mencium lengannya setelah itu pergi dengan si pink kesayangan ku.
Motor matic yang Bapak belikan saat aku duduk di kelas 3 Mts. Sejak saat itu motor dengan warna pink ini menjadi salah sau benda kesayanganku. Meski pun kecepatan nya tak melewati 70KM perjam namun aku tak mempermasalahkan nya. Toh ia hanya ku bawa menuju sekolah dan kadang ke rumah saudara yang tak terlalu jauh, itu pun jika sangat di perlukan.
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah yang berjarak 30 KM bibir ku tak henti-henti nya tersenyum kala mengingat hari ini kepulangan Anwar dari kota nya. Aku tahu itu dari Bapak malam tadi saat menonton tv.
"Ari mobil anu di luar rumah ceu Atih anu saha, pak?"(Itu mobil yang di luar rumah Ceu Atih punya siapa, pak?)
"Kapan Si Ilis engges balik,"(Kan Si Ilis udah pulang.)jeda Bapak. "Ehh, Dif. Isukan bari longok si Anwar babaturan maneh gening."(Ehh, Dif. Besok sekalian liat si Anwar temen kamu tuh.)
Aku pun menyetujui usul bapak dan membawa perlengkapan untuk bertemu dengan Anwar. Termasuk Senter.
Teringat saat dulu 10 Tahun yang lalu di jalan menuju rumah. Anwar memberikan ku selembar kertas dengan coretan aksara nya yang bahkan harus ku eja ulang tuk membaca nya.
Ilalang di tepian sungai dan jalan penuh dengan rerumputan liar menjadi saksi bisu betapa aku merasa kehilangan.
"Dif, mana tangan mu?"
Tanpa membantah aku pun memperlihatkan tangan ku seiring air mata yang terus menetes.
"Hiks, War apa ini?" tanya ku.
"Nanti kalo kita udah dewasa Difa nyalain ini yah ke arah langit," ucap nya tangan nya mempergakan cara penggunaan nya. "Nah seperti ini." Benda yang itu pun mengeluarkan cahaya meski tak begitu terang karna terbiaskan dengan matahari.
"Anwarrr ... cepet Dek," teriak lelaki yang lebih tua dari Anwar. Bang Ilyas kaka nya Anwar.
"Bentar Bang," jawab Anwar berteriak.
"Janji nya Difa tungguin Anwar pulang?" Tangan nya di gumpalkan menyisakan jari kelingking yang menunggu lawannya.
"Iya janji." Jari kelingking ku pun di satukan dengan jari kelingkingnya.
Siang hari yang cerah kala itu seperti faham dengan apa yang tengah kami lakukan. Karna setelah kepergian Anwar dengan mobil besarnya awan seolah menghalangi cahaya matahari yang masih ingin menyinari semesta.
Di belokan kampung, saat mobil Anwar menghilang dari pandangan matahari menyerah membiarkan awan yang memang hingga akhirnya tubuhku basah akan air hujan sejalan dengan rinaian mata yang jatuh bersamaan.
Untuk pertama kali nya aku merasa kehilangan di umur 8 tahun.
B E R S A M B U N G
29-November-2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ila Mata
Spiritual"Anak siapa ini Tya?" "Jaga dia, untukku," pintanya. Udara sore hari begitu kencang hingga menerbangkan beberapa helaian rambutnya yang tergerai tanpa penghalang hijab. "Tap," "Dia putriku ... Amira." Degh .... Aku tak ingat apa yang terjadi selanju...