Kita kasih Nama Siapa Dia?

107 1 1
                                    

Mia terus saja memandangi gumpalan-gumpalan awan itu, entah apa yang dibayangkannya. Sesekali ia tersenyum, mungkin terbayang cerita bahagia di masa kanak-kanaknya dulu atau mungkin gumpalan-gumpalan itulah yang membuatnya tersenyum dengan bentuk-bentuknya yang aneh.

Mia tidak sendiri di dalam gerbong itu, disebelahnya ada pria yang sangat ia cintai bernama Robi. Pria yang dua bulan lalu mengajaknya ke suatu tempat untuk menghilangkan gumpalan di dalam perutnya. Mia mengerti Robi sedang dalam keadaan kacau saat itu, sehingga sampai terpikir olehnya untuk membawanya ke tempat itu.

Awalnya Mia tak tahu tempat apa itu, disana ia melihat beberapa perempuan sedang duduk menunggu giliran untuk dipanggil, mungkin semacam tempat pengobatan pikirnya.

Mia didampingi Robi masuk ke dalam ruangan, ruangan yang mungkin sedikit lebih besar dari kamarnya, dengan cat dinding berwarna putih dan sedikit bau amis yang berasal dari ruangan sebelahnya.

Seseorang mempersilahkannya untuk duduk, ia menanyakan beberapa pertanyaan lalu menawarkan kepada Mia pilihan cara mana yang bisa ia pilih.

Ia pandangi kekasihnya itu "Kamu mau buang dia Rob?" katanya. Ia pun bergegas keluar dari tempat itu dan Robi menyusulnya.
"Gila! kamu bercanda? Gak lucu Rob!"
"Apalagi? Cuma ini Mia jalan terakhir yang bisa kita lakuin, habis itu kita bisa hidup normal lagi"
"Jangan sinting!"

Seminggu yang lalu Robi menyampaikan idenya yang lain, ide yang tak kalah gila dari membawa Mia ke tempat itu. Ia mengajak Mia kabur dari rumah, tak ada yang tau tentang rencana ini, baginya ini adalah persoalan mereka berdua dan sudah menjadi kewajiban untuk menyelesaikannya bersama.

"Hey, kamu gak papa? Sarapan dulu gih" suara itu membuyarkan lamunannya, terlihat Robi menyodorkan nasi goreng kepadanya. Baru beberapa sendok nasi goreng itu masuk kedalam perutnya, Mia kemudian meminta izin pada Robi untuk pergi ke toilet. Setelah urusan kamar mandi selesai, ia pun kembali ke tempat duduknya. Robi menanyakan pertanyaan yang sama dan Mia pun menjawab bahwa perutnya terasa mual.

Robi melihat jam tangannya lalu memberi Mia empat buah pil dan memintanya untuk membiarkan pil itu ada di dalam mulutnya selama tiga puluh menit. Kata Robi itu untuk menguatkan gumpalan itu dan juga sedikit mengurangi rasa mual yang ia rasakan, Mia pun menuruti permintaan Robi.

Setelah tiga puluh menit berlalu Mia pun mulai menyendok lagi nasi goreng yang sudah dingin itu, tiba-tiba Mia menanyakan harga nasi goreng itu kepada Robi. Ia protes kepada Robi setelah mengetahui harga nasi goreng itu "Kamu gak mikir duit segitu bisa buat makan kita berapa kali? Kalau cuma nasi goreng aku bisa buat. Seharusnya kamu suruh aku buat masakin kamu. Kita jadi gak usah buang-buang duit kayak gini" katanya. "Iya, ibu negara.." jawab Robi. "Jadi besok kamu bakal masak nih? Katanya gak mau masak?" imbuhnya. "Kamu gak suka emang kalau aku jadi mau masak?" "Bukan gitu, toh kamu harus ngurus dia".

Pandangan mereka tertuju pada perut yang mulai membuncit itu. Di dalamnya ada calon bayi yang dikemudian hari mungkin akan ikut menanggung kesalahan orang tuanya. Anak itu akan di cap buruk semenjak masih berbentuk jabang bayi. Ketika menjadi bocah atau mungkin sampai bocah itu dewasa, beberapa orang mungkin akan memanggilnya dengan sebutan anak haram atau panggilan buruk lainnya. Semua itu karena kesalahan orang tuanya dan juga hobi dari kebanyakan masyarakat yang memang sangat suka menghujat.

"Kita kasih nama siapa dia?" kata Robi. "Belum kepikiran, emang kamu mau kasih nama siapa dia? Nama Islam?, Barat? atau malah Jawa?" "Belum kepikiran juga.. tapi aku gak mau nama yang panjang-panjang, apalagi susah dibaca, bikin repot!" "Tapi nama yang panjang sama juga dengan doa yang panjang dan juga nama adalah doa Rob, kau tau itu" "Dan doa tidak selalu terkabul bukan?" Robi tertawa kecil, ia lalu mengambil earphone dari saku celananya, sisi sebelah kanan ia berikan kepada Mia dan lagu Somewhere Only We Know pun mengalun sendu diantara suara-suara penumpang lain.

Tak terasa hari sudah siang, Ia kembali memberi pil itu kepada Mia dan memintanya melakukan hal yang sama seperti tadi. "lagi? Gak overdosis?" "Gak lah, ini kan anjuran dari dokter, gak mungkinlah overdosis" Kata Robi meyakinkannya. "Dokter mana sih? Kok kamu gak bilang pernah ke dokter?" Mia tak yakin dengan penjelasan Robi. "Kalau anjuran dokter itu salah, seharusnya kamu udah overdosis dari tadi" Kata Robi sambil menggenggam tangannya dan mengarahkan tangan itu ke mulutnya. Walau ragu, ia akhirnya menuruti juga permintaan Robi.

Di pinggir pintu kereta Robi menelfon seseorang.

"Hallo!"
"Gimana? Aman?" Kata seseorang dari seberang telfon sana.
"Aman.. tapi kayaknya dia mulai ragu"
"Pintar-pintar kau lah membujuk dia, rayu dulu dia.. jangan langsung kau kasih pil itu"
"Ya, akan aku usahakan. Sebelumnya terima kasih untuk itu, kekurangannya dibayar kapan?"
"Kau kan temanku.. sudah semestinya saling bantu, soal bayar - membayar gampanglah itu.. nanti saja"

Robi kembali ke tempat duduk, ia melihat Mia sedang mengobrol serius dengan seseorang di ponselnya. Ia menunggu Mia menyelesaikan pembicaraannya, tanpa bertanya ia sudah mengetahui siapa orang yang sedang mengobrol dengan Mia ditelfon.

Mia menyampaikan kepada Robi tentang apa yang mereka bicarakan, ternyata Mia lupa memberi tahu kepada orang tuanya jika hari ini ia akan pergi berlibur dengan teman-temannya, seperti skenario yang sudah mereka siapkan. Untunglah untuk sementara ini kekhawatiran orang tuanya dapat diatasi.

Robi mencoba menenangkan Mia dengan memeluknya, Robi kemudian melihat jam tangannya. Ia menyampaikan pada Mia jika ia tidak akan lepas dari tanggung jawabnya dan jika rencana ini berjalan lancar ia berjanji akan segera menikahi Mia. Robi pun meminta kepada Mia kembali untuk mengulum pil itu lagi. Sontak Mia menegakkan posisi duduknya dan saat ini ia benar-benar tidak ingin melakukannya lagi.

Robi membujuk Mia, ia mengatakan bahwa ini adalah pengorbanan untuk bayi yang ada dalam kandungnnya. Mia sedikit luluh namun kali ini ia meminta hanya akan mengulum dua pil saja. Robi pun mengiyakan dan setelahnya yang menjadi kecurigaan Mia pun terbukti.

Mia mulai merasakan mual dan nyeri yang amat sangat, sesampainya di tempat tujuan Robi membawa Mia ke rumah sakit. Robi menyampaikan pada dokter jika Mia keguguran karena kelelahan dari perjalanan jauh. Disaat keadaan Mia mulai membaik, ia menyampaikan kepada dokter jika apa yang dikatakan Robi sepenuhnya adalah bohong. Tapi apa mau dikata, dokter pun tidak bisa membantunya karena apa yang disampaikan Robi sangat sesuai dengan hasil pemeriksaan.

Robi pun kini menghilang entah kemana, Ia hanya meninggalkan sepuncuk surat kepada Mia:

Untuk yang terkasih,
Mia

Maaf atas segalanya, aku melakunnya karena sebuah alasan yang mungkin sudah kau ketahui dan aku menyesalinya. Aku telah menghubungi orang tuamu, meminta maaf juga kepada mereka dan memintanya untuk menjemputmu. Semoga di kemudian hari kau tak bertemu dengan laki-laki brengsek sepertiku lagi.

Salam,
Robi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kita kasih Nama Siapa Dia?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang