Gama

30.3K 2.7K 458
                                    

Kopi, buku, fotografi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Kopi, buku, fotografi.

Tiga hal esensial yang selalu dan akan selamanya menjadi bagian dari diri seorang Gama.

Gama pernah bilang, jika ada hal yang bisa membuatnya merasa hidup ketika jiwanya terasa mati, mungkin itu adalah buku; yang  ia baca sambil menyesap secangkir kopi di malam hari. Dengan mendengar alunan lagu yang diputar di radio, juga sambil sesekali berhenti dan melihat kameranya untuk memilah foto mana yang harus ia cetak dalam waktu dekat.

Gama selalu memiliki caranya sendiri untuk menenangkan hati. Bahkan bukan sekadar perkara itu, dalam hal apapun, ia memang selalu cerdas untuk mencari dan menemukan caranya sendiri. Salah satunya dalam menikmati kopi.



Gama hampir tidak pernah meminum kopi di pagi hari. Sebaliknya, ia lebih menikmati kopi ketika langit sudah gelap. Kafein yang ada di dalamnya mampu membuat Gama bertahan membuka mata hingga pagi tiba. Memang itu yang sengaja ia lakukan, terjaga untuk berpikir tentang hal-hal penting dari kehidupan ketika dunia sudah mulai sunyi.

Ketika sudah tidak ada suara deru motor yang berlalu lalang di depan rumah, ketika suara tawa Angga sudah hilang karena lelap, juga suara rentetan omelan Yuga yang senyap karena kantuk. Waktu-waktu itu, adalah waktu yang Gama rasa sangat tepat untuk berpikir dan merancang kehidupan dalam jangka waktu yang tidak pernah terdefinisikan.


Rumah yang Gama maksud, bukan rumah yang menjadi tempat bernaung ia, Ayah, Ibu dan kakak perempuan satu-satunya. Bukan juga rumah dengan banyak kamar yang menjadi tempat tinggal sementara para mahasiswa atau pekerja yang tinggal jauh dari keluarga.

Rumah yang Gama maksud, adalah bangunan bertingkat dua dengan cat putih dan ornamen-ornamen kayu yang menggambarkan kesan klasik di dalamnya. Bangunan itu tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung mimpi juga kebahagiaan seorang Gama.


Di lantai satu pada rumah putih berornamen kayu itu terdapat kedai kopi yang ia beri nama Kopi Gama. Kedai kopi itu ia bangun dengan dua sahabatnya, Angga dan Yuga; yang ikut tinggal bersamanya di lantai dua.

Kedai kopi itu dibangun dengan mimpi, yang tentu saja membutuhkan modal yang dengan senang hati dipinjamkan oleh Ayah Gama.





"Kita habis lulus mau jadi apa nih?" tanya Yuga, dua tahun lalu ketika skripsinya baru mendapatkan persetujuan untuk maju sidang minggu depan.

"Pegawai kantoran," jawab Angga santai. Tidak menjelaskan kantor mana yang ia maksud.

"Gue ngga mau kerja sama orang," jawaban Gama membuat Yuga dan Angga menoleh dengan cepat, hampir mengumpat mendengar jawabannya yang terdengar arogan.


Gama memutar sendok di dalam gelas berisikan teh hangatnya; pengganti kopi karena kondisi perut yang sedang tidak baik. Bibirnya tertarik keatas, tersenyum menanggapi tatapan kedua temannya.

GAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang