BAB 7

49 5 1
                                    

Bab 7

Hari ini adalah hari bebas, tak ada latihan ataupun misi. Sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu bersama Ryato, tapi ia tak terlihat di desa ini. Aku berencana berkeliling saja di hutan. Melempar beberapa kunai, berlatih menggunakan kyuketsu shoge dan menyantap buah sepuasnya akan menjadi hari yang menyenangkan.

Setibanya di hutan, ada tak biasa yang terjadi di sini. Terdengar suara wanita mendesah setengah menjerit. Lalu, suara itu tenggelam seperti ada yang dengan sengaja membenamkan mulutnya dengan sesuatu. Pendengaranku yang sudah terlatih cukup mampu mengetahui asal sumber suara. Aku pun menuju tempat itu.

Ketika melihat sepintas sesuatu yang terjadi di sana. Aku berlari ke sembarang arah. Ada sesuatu yang menyakitkan di sini, di dalam dada. Walau tak ada luka yang terlihat. Lebih sakit dari besutan pedang. Luka itu mengasilkan sesak hingga memompa darah begitu kencang. Latihan pernasapan selama ini seakan sia-sia karena aku tak mampu mengendalikan detak jantung kali ini.

Aku baru saja melihat Ryato menggerayangi tubuh wanita lain dengan mata dan kepalaku sendiri. Ia begitu kasar menghentak-hentakkan pinggangnya pada tubuh wanita yang ditutup mulutnya dengan tangan. Segala resah berkecamuk dalam benak. Ada rasa heran dan penasaran, ada juga rasa sedih yang begitu menyakitkan. Namun, aku tanggalkan rasa penasaran itu. Walau tanya membuncah di kepala, kenapa Ryato berbuat demikian?

Goresan di hati terasa begitu perih. Aku tak ingin memikirkan hal itu lagi. Ada sesuatu yang sebaiknya aku kerjakan sekarang.

***

Semua lelaki adalah bajingan. Sebaiknya aku menuntaskan dendam saja. Hanya satu pria lagi yang harus kubunuh. Orang yang membohongi Okaasan dan menjerumuskan kami dalam kubangan derita.

Tak lama setelah aku membaca berbagai dokumen yang aku curi, aku sudah mengetahui posisi target. Aku mulai menjalankan rencana. Pertama menyelinap ke rumahnya yang berada di sudut kota. Lalu membunuhnya.

Selama ini aku menyamar, mencari informasi. Mengendap-endap ke kantor pemerintah, mencuri dokumen rahasia. Sebulan sudah pencarianku di sela-sela menjalankan misi dan latihan. Ternyata orang yang kucari adalah orang dekat yang tak kusadari selama ini, hal itu kuketahui hanya karena satu dokumen yang barusan kubaca.

Aku menunggu hari esok karena rumahnya yang cukup besar masih ramai. Ketika tiba waktu yang pas. Aku pun beraksi kembali. Pakaian serba hitam, penutup kepala serta jikatabi sudah terpasang. Tak lupa pula aku membawa senjata lempar : shuriken dan kunai. Serta kusarigama.

***

Mudah saja aku mengendap dan masuk ke kamar target. Aku tak ingin langsung membunuh, sepertinya asyik jika menyiksa sedikit. Mungkin melihat dia memohon-mohon dan mengerang bisa mengurangi hati yang sedang sakit.

Ryato bangsat, aku masih belum bisa melupakannya.

"Seppuku, seppuku. Jangan bunuh. Aku minta seppuku," teriak pria paruh baya ketika kunai sudah menancap dipunggungnya.

Seppuku berarti ia menawarkan diri untuk dipenggal kepalanya menggunakan katana. Bagi orang Jepang, ini lebih terhormat. Lagi pula ia seorang pejabat, aku akan menuruti permintaannya.

"Aku tak akan menanyakan siapa yang mengutusmu, seorang pejabat sepertiku kapan saja bisa berbuat salah dan mungkin menyinggung perasaan orang lain. Atau mungkin ini akibat kekakuanku sebelum menjadi pejabat. Aku akan terima akibatnya. Tolong izinkan istriku melihat ini. Tolong beri aku seppuku." Ia bersujud di kakiku. Memohon agar kematiannya lebih terhormat. Menciumi jikatabi hingga aku merasa risih.

"Baiklah," ucapku seraya mencabut kunai di punggungnya. Kuberikan ia kunai yang masih berdarah.

"Tapi, tidak ada yang boleh melihat ini. Permintaan tentang istrimu, ditolak." Aku mengambil katana yang bertengger di dinding kamarnya. Kubuka penutup wajah agar ia menyadari siapa yang akan membunuhnya.

Aku berjalan perlahan sembari menghunus katana dari rumahnya. Wajah pria yang menjadi targetku kali ini menatap penuh heran dengan mata sipit yang mencoba melotot. Wajar saja ia begitu, mungkin telah menyadari siapa aku ini.

"Seorang telah menipuku, menyebabkan istri pertama yang aku nikahi menjadi budak seks. Aku mendapat kabar ia telah mati karena disiksa tentara Jepang di Indonesia. Aku menyesal. Jika kau datang karena sebab itu. Maka tuntaskanlah Chiyumi!" Apa pun yang ia katakan dan entah karena apa sebabnya, tetap saja dendam ini harus tuntas.

Ia meletakkan lutut di lantai dengan badan tegak dan mulai merobek perut dengan kunai. Membuat isi didalamnya tumpah bersama darah. Ia berusaha menikmati rasa sakit itu, kemudian menundukkan kepalanya yang berarti harus kupenggal dengan katana.

"Ketahuilah, orang yang menyuruhku adalah seorang mafia yang memiliki sebongkah Intan yang sangat indah." Ucapannya tak begitu kuhiraukan, walau pikiran mencoba menerka-nerka.

Melihat matanya dan wajah yang begitu memelas, aku tak tega menyiksa lebih lama.

Aku telah bersiaga, lalu melepas sempurna pedang yang indah tepat pada leher yang menunduk. "Walau kau adalah dalang dari semuanya. Aku tak menyangka, kau punya jiwa sebesar ini, Otousan." Terpenggal sudah kepala pria yang dulu pernah menimangku saat bayi.

Katana telah berbalur darah, kepala yang  terlihat menggelincir seolah mencibir. Kilatan katana seperti mengolok jika aku tak berbeda dengan mereka yang telah terpenggal kepalanya. Tiba-tiba aku merasa sama dungunya dengan mereka yang menurutkan nafsu. Berusaha mengeyahkan sisa nurani demi kata puas, yang ternyata tidak pernah didapati meski pembalasan telah kutunaikan. Kupikir segalanya akan selesai setelah mereka semua terbantai, tapi nyatanya tidak. Lalu apa yang sebenarnya kucari?

Masih ada rasa sesak dalam setiap nafas. Mungkin aku harus membunuh penyebab semua ini.

Bersambung.

Catatan kaki.
Seppuku : kegiatan merobek perut dengan pisau lalu kepala dipenggal oleh lawan, merupakan tradisi orang Jepang. Bagi mereka cara mati seperti ini lebih terhormat ketika sudah kalah dengan lawan.

Jugun Ianfu No Kunoichi (21+) (End) (Versi Pendek) Where stories live. Discover now