Klise 1

18 0 0
                                    

Azan Subuh sudah mampir di jendela rumah penginapanku. Ini hari ketiga aku berada di Koto Gadang, Agam - Bukittinggi, masih dalam proyek Lokakarya Oesman Effendi dan Kampung.

Biasanya kalau azan subuh sudah berkumandang, aku sudah bisa untuk tidur. Mungkin setan di telingaku membuat suara azan menjadi seperti musik folk yang sering, bahkan acap kali aku putar diam-diam, biar tidak di bilang anak indie atau hipster.

Oh Good, mataku enggan berbaring dengan badan. Bukan karena surau dengkuran teman sekamarku yang sudah seperti balapan liar, bukan juga serangan kutu yang di jembatani bantal guling ini, dan bukan pula perkara skripsi yang tak kunjung selesai.

Tapi isi dalam kepala tetap saja menggiringku untuk mengingatnya. Iya! Dia. Dia yang kita tidak lagi kita. Bahasaku.

Lama betul aku tak melihat kau. Terakhir aku masi ingat. Saat kau datang dan meminta gelang yang dulu pernah kau berikan padaku, dan beberapa buku kiri yang kau kembalikan lagi padaku. Simpan saja! Kau terlihat cantik bersamanya.

Oh iya, apa kabar kamu sekarang, memang kita tak lagi berbalas apapun, tapi aku masi berbalas kenangan tentangmu. Terakhir aku lihat postingan mu di media sosial, tampak jelas lipstik merah muda menutupi bibirmu yang pernah menenggelamkanku. Dan kau tampak kurus sekarang. Dan aku sebenarnya tidak begitu peduli dengan apa yang berubah dari dirimu, bagiku kau tampak begitu cantik saat bangun tidur.

Apa yang sebenarnya memisahkan kita? Jarak; atau waktu atau mungkin permainanku dibelakangmu. Sejujurnya aku tidak selingkuh. Tapi aku ingin mengetahui bagaimana wanitaku yang sekarang. Kau sudah bergincu, berbedak, bahkan sudah kurusan. Aku harus bertanya pada teman wanitaku, dan kau sangat membencinya.

Setelah kita berpisah, banyak mungkin yang belum terjawab oleh ku, apakah itu cinta, jatuh cinta, kecantikan, ketampanan, pertemuan dan perpisahan. Semuanya masih klise.

KliseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang