1

42 4 0
                                    

Memoriku menyusuri detik di mana,
debaran jantungku mengalahkan deru motormu.
Angin membelai halus rambutmu.
Helaian daun berjatuhan dari dahannya, ibarat rasaku.
Deklarasi mimpi-mimpimu,
menemani 2 mil jarak yang akan kita tempuh.
Intermeso tingkah konyolmu, selalu menjadi favoritku.
Diam-diam, senyumku terbit di balik punggungmu.

•••

Malam itu bintang berhamburan di angkasa.  Langit berubah gelap sejak empat jam yang lalu, kulirik arloji di tangan kananku, pukul sepuluh lewat lima belas menit. Semilir angin menerbangkan rambut-rambut halus dibalik helm yang kamu kenakan. Dingin. Namun, menenangkan. Kurapatkan jaket yang membungkus tubuhku. Deru motormu mencipta irama merdu, walau kamu bilang belum sempat diservis sejak sembilan bulan yang lalu. Katamu, motormu sudah waktunya melahirkan. Aku terkikik mendengarnya.

Kupejamkan mata sambil tersenyum, sejenak merasakan aroma malam. Merasakan debar yang sudah sejak lama selalu hadir, jika harus berhadapan denganmu. Rasanya, ingin sekali kudekap sosok yang ada di depanku. Namun, aku tak bisa. Walau sekarang kita terasa dekat, hanya terpisah jarak 2 sentimeter saja, sebenarnya kita terentang jarak yang jauh.

Obrolan kita malam ini mengalir begitu saja. Selalu ada saja topik yang bisa kita bahas bersama. Andai jarak bisa memuai, maka memuailah, agar perjalanan ini menjadi sedikit lebih lama. Aku masih ingin menikmati malam, cahaya bulan, dan kerlip bintang bersamamu. Sosok yang mungkin tak akan pernah tahu. Bahwa aku, aku adalah pecundang. Pecundang yang tak bisa menjalankan persahabatan ini dengan tulus.

"Loh, kok jalannya ke sini sih, To? Kayak bukan jalan yang tadi." Tanyaku heran.

Sambil terkikik kamu menjawab, "Iya, gue mau culik lo."

"Kemana?"

"Ke Rengasdengklok." Jawabmu ringan sambil memutar kemudi ke arah kanan.

"Emang kamu tahu Rengasdengklok dimana?"

"Tahu. Sekarang ke sana yu?"

"Kan udah malem, To. Kayaknya, lebih jauh kalo lewat jalan ini."

"Gpp. Lo harus eksplor Bandung, Ra"

Lampu berubah merah. Kamu menghentikan laju motormu, kemudian menyenandungkan lagu yang sangat kukenal. Lagu yang resmi menjadi lagu favoritku juga, semenjak mendengarnya dari bibirmu untuk pertama kalinya. Lagu favorit kita.

"Hmmmmm. Eh, To. Aku tebak, kamu pasti suka warna...warna coklat?!"

"Salah! Engga deng, bener, hehe. Sekarang giliran gue. Lo pasti suka warna..."

"Apa?"

"Warna... hmmmm..."

"Ih lama. Aku aja langsung bisa nebak."

"Warna kuning!"

"Hahaha. Enggalah. Salah. Ngaco!"

Lampu berubah hijau. Kamu kembali melajukan motormu. Aku terdiam. 1 detik. 2 detik. 3 detik. Kemudian...

"Jmnasdkf ahdfjkh"

"Hah? Apa, To? Ga kedengeran"

"Ga jadi. Unsend deh."

"Ih nyebelin!"​

Kupukul pelan helm yang kamu kenakan. Kamu hanya terkekeh setelahnya. Aku pun ikut tertawa kecil. Akhirnya kita tertawa bersama. Kurentangkan kedua tanganku, merasakan angin bulan desember yang menerpa telapak tanganku, kemudian kupejamkan kedua kelopak mataku. Senyum kembali terbit dari bibirku. Sulit rasanya menekan perasaan yang semakin hari semakin membuncah. Kupandangi punggung yang ada di depanku. Senyumku perlahan memudar, menyadari bahwa bagimu, aku akan selalu menjadi Fahira, sahabat terbaikmu. Sedangkan bagiku, kamu adalah Dito, pengisi ruang khusus di hatiku.

Memoriku kembali ke detik di mana,
debaran itu masih tinggal di jantungku.
Angin semakin membuatku cemburu.
Helaian daun berjatuhan dari dahannya, ibarat harapku.
Nyatanya, jarak 2 mil tak sejauh antara kau dan aku.
Suara yang memunggungiku, sekarang menjadi favoritku.
Diam-diam, senyumku tenggelam di balik punggungmu.

"Oy, Ra. Lo dengerin gue kan? Jadi gimana menurut lo kalau gue lamar Nesha setelah dia balik dari Jepang lusa?"

Lamunanku akan malam itu seketika buyar. Rasanya, dadaku seperti terhimpit puluhan jurnal Hukum Bisnis yang halamannya bisa sampai beribu-ribu. Kugigit bibir bawahku. Kueratkan genggaman kaset Twenty One Pilot di tangan kananku. Kupasang senyum palsu, kumohon, jangan menangis.

Rasanya, waktu begitu cepat berlalu. Sudah lima tahun rasa ini tetap berdiam diri, tak pernah memudar, apalagi hilang. Justru, semakin mengakar, memilih menetap. Kuteguk milkshake vanilla yang sudah kupesan sejak setengah jam yang lalu. Kenapa rasanya pahit? Kulemparkan pandanganku ke arah jendela di sebelah kiriku, awet sekali rintik hujan di bulan september ini. Miris sekali menjadi mereka, harus jatuh berkali-kali.

Kembali kutatap sosok yang berada di depanku, kucoba mengulas senyum setulus mungkin. Tatapanmu mengapa serius sekali? Mata itu, berwarna hazel, warna kesukaanku.

Kucoba memasang ekspresi wajah sejenaka mungkin, agar suaraku tidak terdengar bergetar karena menahan tangis. "Sikat aja kali, To. Kamu kebanyakan mikir deh. Kalian itu kan udah pacaran empat tahun. Lagian nih ya, Nesha tuh udah yang paling cocok buat kamu. Susah To cari yang kayak Nesha, dia kan satu-satunya cewek di dunia ini yang mau sama kamu."

"Kurang ajar Lo!" Kamu tertawa kecil sembari menoyor pelan keningku.

Kumasukkan kembali kaset Twenty One Pilot di tanganku ke dalam tas tanpa sepengetahuan Dito dari balik meja. Dulu, aku masih baik-baik saja mendengar ceritamu tentang Nesha. ​Bahkan hampir setiap hari. Namun, kini rasanya sungguh sesak. Aku memang selalu kalah, To. Aku jatuh. Aku tenggelam semakin dalam pada perasaan ini.

"Oh iya, katanya lo mau ngomong sesuatu ke gue? sorry ya, Ra. Malah gue yang cerita duluan." Ucapmu dengan nada bersalah.

Aku gelagapan. "Ah iya? Aduh, To. Aku lupa mau cerita apa, hehe."

Kamu menggelengkan kepalamu. "Ckckck. Banyak dosa sih lo sama gue."

Aku kira rencanaku akan berjalan mulus sore ini. Aku akan mengatakan semuanya kepadamu, "To, sebenernya aku sayang sama kamu. Udah lima tahun, To." Lalu, kamu akan tertawa mendengarnya, mengatakan bahwa candaanku tidak lucu. Aku yakin, setelah itu kamu akan kembali menetralkan suasana yang mendadak canggung dan kaku itu. Lalu, setelahnya kita akan kembali tertawa karena candaan yang kamu lontarkan.

Dengan begitu, setidaknya aku bisa merasa lega. Tidak ada lagi beban yang harus kubawa terbang ke negeri kincir angin, Belanda. Walaupun aku tahu, setelah aku menyatakannya, akhir kisah kita akan tetap sama. Sejak dulu hingga sekarang, aku tetaplah Fahira, sahabat terbaikmu. Dan, mungkin, sampai hela napas terakhirku pun, kamu takkan pernah tahu. Bahwa aku Fahira, sahabatmu, menyayangimu.

•••

Layaknya salju,
yang tak pernah berani menyatakannya pada musim dingin.
Layaknya angin,
yang tak pernah sempat mengatakannya pada musim gugur.
Layaknya rasa,
yang tak pernah bisa mengungkapkannya dalam untaian kata.

Rengasdengklok[2/2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang