BAGIAN 2

801 29 0
                                    

"Rangga...! Cepat ke sini...!"
Teriakan keras terdengar memecah keheningan senja di Lembah Intan. Terlihat seorang laki-laki muda berpakaian indah warna biru muda, berdiri di dekat sesosok tubuh berbaju putih yang tergeletak tak bergerak di tanah berumput. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang pemuda mengenakan baju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung tampak bertengger di punggungnya.
"Ada apa, Raden Antaka?" tanya pemuda berbaju rompi putih yang dipanggil dengan nama Rangga.
Dan memang, pemuda itu adalah Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju biru muda yang dipanggil Raden Antaka, hanya menunjuk saja ke tubuh yang tergeletak tak bergerak di depannya. Rangga memandangi beberapa saat.
Begitu mengenali orang yang tergeletak itu, Rangga buru-buru memeriksanya. Ditariknya napas panjang setelah memeriksa, dan diberikannya beberapa totokan di beberapa bagian tubuh orang yang tergeletak itu.
"Hanya pingsan, tidak apa-apa," jelas Rangga.
"Kau kenali dia?" tanya Raden Antaka.
"Namanya Rupadi. Dia anak Kepala Desa Pucung. Tidak jauh dari sini," sahut Rangga.
"Kenapa pingsan di sini?" tanya Raden Antaka.
"Entahlah. Pingsannya akibat terkena totokan tenaga dalam cukup tinggi juga. Sebentar lagi juga dia sadar," sahut Rangga.
"Berarti dia baru saja bertarung.... Begitu kan maksudmu, Rangga?" agak bergumam suara Raden Antaka.
"Dugaanku begitu," sahut Rangga kalem.
"Bertarung dengan siapa? Apakah dia punya musuh?" tanya Raden Antaka lagi.
"Maaf, Raden. Aku mengenalnya hanya dari cerita orang-orang di desa saja. Aku tidak tahu pasti, siapa dia sesungguhnya," sahut Rangga mulai terasa jenuh mendengar pertanyaan yang tidak ada habisnya dari anak muda yang baru berusia sekitar delapan belas tahun ini.
"Apakah kita tinggalkan saja dia di sini?" Raden Antaka meminta pendapat.
"Sebaiknya jangan, Raden. Terlalu berbahaya baginya berada di sini dalam keadaan tidak sadarkan diri," sergah Rangga kalem.
"Tapi perjalanan kita sendiri masih panjang, Rangga. Dan aku tidak ingin terhalang hanya karena mengurusi persoalan begitu saja."
"Sebentar lagi malam, Raden. Ada baiknya kalau kita bermalam di sini," tegas Rangga.
"Katamu Desa Pucung tidak berapa jauh lagi. Kita bisa mencari penginapan di sana, Rangga."
"Sama saja, Raden. Di sini atau di penginapan, tidak ada bedanya. Lagi pula, tujuan kita bukan hanya mencari penginapan yang baik. Tapi, ada tugas penting yang harus diselesaikan secepatnya," Rangga mengingatkan.
"Terserah kau sajalah," Raden Antaka mengangkat bahunya. "Kau yang dipercayakan Ayahanda Prabu untuk meringkus buronan itu, dan aku tinggal mengikuti saja."
Rangga hanya mendengus saja. Kalau saja bukan karena sahabatnya yang meminta, malas rasanya berjalan bersama anak manja seperti ini. Permintaan bantuan Prabu Ranakali saja sudah cukup berat. Pendekar Rajawali Sakti tahu, siapa yang harus dicarinya. Dengan adanya anak manja ini, bebannya semakin bertambah saja.
Tapi Rangga tidak ingin mengecewakan sahabatnya itu. Meskipun berat, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti menerima saat Raden Antaka memohon pada ayahnya untuk ikut serta meringkus buronan itu. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga mencari ranting-ranting kering. Kemudian ditumpuknya ranting itu di bawah pohon yang cukup besar, dengan daun-daunnya yang rimbun. Sedangkan Raden Antaka hanya diam saja, duduk sambil memandang ke sekitarnya. Rangga sempat melirik kesal pada pemuda manja itu, namun hanya dipendam di dalam hati.
"Sudah berapa lama kau menjadi pengembara, Rangga?" tanya Raden Antaka. Sedikit pun pemuda itu tidak menaruh rasa hormat pada Pendekar Rajawali Sakti, meskipun jauh lebih muda.
"Aku tidak pernah menghitung," sahut Rangga singkat.
"Kau pasti memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga Ayahanda Prabu begitu mempercayaimu," agak sinis nada suara Raden Antaka.
"Tidak juga," sahut Rangga merendah.
"Jadi seorang pengembara, setidaknya harus memiliki bekal kepandaian dalam ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Aku tidak percaya kalau kau hanya sedikit saja memilikinya. Padahal julukanmu Pendekar Rajawali Sakti."
"Sebuah julukan belum pasti memiliki tingkat kepandaian tinggi, Raden. Kau sendiri juga bisa memperoleh julukan itu. Terserah saja, apa julukan yang kau sukai. Asalkan, cocok dengan segala tingkah laku dan perbuatanmu," sahut Rangga.
"Menurutmu, julukan apa yang pantas untukku?" tanya Raden Antaka meminta pendapat.
Sedikit pun pemuda itu tidak merasa kalau kata-kata Rangga tadi mengandung sindiran sinis pada dirinya. Bahkan seperti mendapat pujian saja, sehingga meminta pendapat Pendekar Rajawali Sakti untuk mendapatkan sebuah julukan baginya.
"Hanya Raden sendiri yang bisa menentukannya," sahut Rangga enggan.
"Tapi menurutmu, aku pantasnya pakai julukan apa?" desak Raden Antaka tidak puas dengan jawaban Rangga.
"Maaf, Raden. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Aku belum tahu persis, bagaimana kehidupanmu sehari-harinya. Sebuah julukan dalam kalangan persilatan, biasanya ditentukan tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Atau bisa juga dari nama jurus andalannya. Bahkan ada yang mengambil dari senjata pusakanya, atau dari tempat asalnya. Berbagai macam bisa digunakan untuk mengambil nama julukan, Raden. Dan itu tergantung dari yang menginginkannya," jelas Rangga dengan rinci.
"Lalu kau sendiri, kenapa memakai julukan Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Raden Antaka ingin tahu.
Sukar bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu. Karena julukan Pendekar Rajawali Sakti bukan kehendak dirinya sendiri, melainkan memang pemberian gurunya yang sudah meninggal seratus tahun yang lalu. Tidak mungkin Rangga menjelaskannya pada Raden Antaka, karena itu sama saja dengan membuka rahasia dirinya sendiri yang selama ini tertutup rapat.
Memang kadang-kadang rasa keingintahuan Raden Antaka membuat Rangga jadi kepusingan sendiri. Terkadang pertanyaannya terlalu sulit dijawab. Tapi Rangga memang mengakui kalau Raden Antaka memiliki otak cerdas, di samping daya tangkap dan daya ingatnya sungguh tajam. Dan paling tidak, melebihi pemuda-pemuda lain seusianya.
"Dari mana kau ambil julukan itu, Rangga?" desak Raden Antaka belum merasa puas kalau pertanyaannya belum terjawab.
"Maaf. Aku tidak bisa menjawabnya," sahut Rangga.
"Kenapa?"
"Karena itu merupakan rahasia seorang pendekar yang tidak boleh diketahui orang lain," Rangga mencoba menjelaskan, meskipun terasa sulit sekali.
"Apakah semua orang-orang persilatan juga merahasiakan julukannya?" tanya Raden Antaka lagi.
"Ya. Tapi ada juga yang tidak."
Raden Antaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin bisa mengerti atau mungkin juga merasa tidak ada gunanya lagi mendesak. Kalau saja yang dihadapi bukan Pendekar Rajawali Sakti, pasti sudah didesaknya dengan mempergunakan kekuasaan sebagai putra mahkota. Namun karena Rangga adalah sahabat karib ayahnya, tidak mungkin terus didesak. Apalagi memaksa kehendaknya. Entah kenapa, Raden Antaka merasa sungkan pada Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Sebaiknya malam ini Raden tidur saja. Biar aku yang menjaga," kata Rangga.
"Aku memang ingin tidur. Penat rasanya seluruh badanku, setelah seharian berada di punggung kuda."
"Nanti juga akan terbiasa kalau sering-sering mengembara mencari pengalaman, Raden," ujar Rangga seraya tersenyum.
"Kalau bersamamu, selamanya pun aku mau."
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya kali ini. Mungkin karena sikap Raden Antaka yang mulai berubah selama ikut mengembara dengannya, mencari seorang pelarian yang kabur dari dalam penjara. Memang kehidupan di alam bebas bisa merubah seseorang dalam waktu singkat. Mereka yang hidup di alam bebas, mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Karena bagaimanapun kuatnya seseorang, tidak akan mungkin bisa menaklukkan alam yang banyak menyimpan misteri ini.

47. Pendekar Rajawali Sakti : Buronan Singo WulungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang