Prolog

46 6 2
                                    

Dua anak kecil itu berjalan riang di taman nan indah itu.

Gadis kecil berambut panjang terurai dan memiliki manik ungu gelap itu menarik lengan pria kecil di belakangnya.

Sepasang tangan mungil itu saling tertaut, iris mereka saling bertumbuk, dengan bibir yang mengulas senyum lebar.

Tak perlu lagi kata-kata untuk mendeskripsikan kegembiraan mereka.

Ekspresi mereka sudah menjelaskannya.

Senyuman itu seakan melekat, tak bisa pudar lagi.

Senyap, tanpa suara.

Namun beratmosfir hangat nan cerah. Menyenangkan.

°

Suatu ketika, bunga bergradasi merah muda itu menarik perhatian gadis manik ungu itu.

Netra cerah itu mengedarkan pandangan, menelisik seluk beluk keindahan bunga yang dilihatnya saat ini.

Gadis kecil itu melepaskan genggaman tangannya dengan si pria kecil di sampingnya.

Pria kecil itu hanya menatap gadis kecil di depannya yang asyik sendiri.

Pria kecil itu tak tertarik.

Hingga kupu-kupu biru itu hinggap di hidungnya.

Pria kecil ini mencoba menangkapnya.

Gagal.

Kupu-kupu itu terbang dengan gesit.

Tak menyerah, ia mengejarnya.

Memperjauh jarak antara mereka berdua.

Tak sadar, tanah di antara mereka retak, membentuk suatu garis pemisah.

Seakan memberi batas antara kedua manusia mungil tersebut.

Keduanya terkejut.

Mereka berlari ke arah satu sama lain.

Namun batas itu sudah selayaknya kaca.

Tembus apabila dipandang mata, namun tak dapat digapai oleh raga.

Panik.

Rasa takut mulai menjalar.

Mereka berteriak memanggil nama satu sama lain.

Percuma.

Tetap saja senyap, tak terdengar.

Baik oleh diri sendiri maupun orang lain.

Mereka saling menatap dengan gelisah.

Menggedor-gedor pembatas antara mereka.

Berharap pembatas itu pecah, tidak dapat memisahkan mereka lagi.

Namun harapan itu hanya belaka.

Pembatas itu sudah berubah menjadi dinding.

Jangankan untuk saling menautkan tangan kembali, bahkan untuk saling menatap saja sudah tak bisa lagi.

Putus asa, kecewa, dan kehilanganlah yang tersisa.

Kini mereka hanya bisa bersandar pada dinding pemisah itu, pada dinding yang sama, namun sisi yang berbeda.

Kedua pemilik manik mungil itu bangkit ketika melihat keluarga masing-masing yang sudah di depan mata.

Mereka berdiri, saling memunggungi.

Lantas berjalan mendekati keluarga masing-masing, dan menjauh satu sama lain.

Senyum di bibir mereka kembali terukir.

Seakan tak pernah ada kenangan manis dan perpisahan pahit antara mereka.

Apa ini mimpi?

Mereka sudah saling melupakan, dalam waktu sesingkat ini.

Perbedaan dimensi yang memisahkan mereka, tak memberi kesempatan untuk saling mengenang satu sama lain.

Tersisa satu harapan untuk kembali menyatukan mereka kembali.

Dengan adanya seseorang yang mengingat ingatan ini dengan tulus.

Baik dari sisi penulis, pembaca, maupun hati nurani mereka sendiri.

" Ini akan menjadi kisah cinta dua dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Kisah cinta fantasi yang ternyata adalah kisah cinta yang nyata...

Akankah semesta menyatukannya? "

Kim Dae Hwa & Yuura Rianna

Dimention Love

Sabtu, 1 Februari 2020

Dimension LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang