1

370 44 1
                                    

Satu jam sebelum toko dibuka, tetapi aroma vanila telah menyeruak, bersama dengan tepung yang mengepul di dalam dapur sebuah toko roti kecil.

Yeonjun mengangkat sebuah nampan besi penuh dengan adonan roti yang belum matang, kemudian memasukkannya ke dalam salah satu oven dan menutup pintunya tanpa melepas sedikitpun senyum.

Ia bersedekap, memandangi enam oven yang telah penuh, dua diantaranya siap diangkat, jadi dia mengambil cangkir kopinya yang sudah menghangat—dan tersisa separuh. Mulutnya yang semerah buah delima menyesap Americano, matanya terpejam khidmat menikmati rasa pahit yang menyegarkan turun di kerongkongannya, dan aroma kafeina yang menyeruak ke dalam indra penciumannya.

Setelah berapa sesapan, ia mengecap, untuk kesekian kalinya takjub bahwa rasa Americano semenyegarkan itu diminum dengan udara dingin musim gugur di Seoul. Baginya, kopi tersebut lebih ke "pahit tapi enak" daripada kehidupan percintaannya sendiri.

Ia terkekeh.

Seseorang—sepertinya seseorang itu bernama internet—pernah mengatakan bahwa, ya, namanya juga "jatuh" cinta, semenyakitkan itu rasanya. Banyak yang terjadi ketika seseorang sudah jatuu cinta, dan semua bermuara pada satu kata: diksi. Begitu, setidaknya yang ada dalam pola pikir Yeonjun.

Oven pertama dan kedua berdenting bebarengan, Yeonjun segera mematikannya dan mengeluarkan nampan-nampannya satu persatu. Asap dan aroma roti yang lezat mengepul saat Yeonjun mengeluarkannya dari dalam oven, sementara adonan-adonan yang tadi hanya berwarna kuning, telah berubah warna menjadi kecoklatan dan mengembang apik.

"Pagi, Bos," sapa sebuah suara yang memasuki dapur.

"Pagi, Hyerim." Yeonjun mengulas senyum, menyapa pegawainya.

"Ah, apa kau sudah mengecek ponselmu?" tanya Hyerim setelah menaruh tasnya di kapstok dan mengambil celemek.

Yeonjun hanya membelalak kebingungan.

"Pasti belum, ya?" Hyerim menghampiri pimpinannya yang sekaligus pemilik toko roti itu. "Taehyun sakit. Jadi kurasa kita akan bolak-balik jadi pelayan dan koki hari ini."

"Hah!" Yeonjun berteriak. "Taehyun yang itu?!"

"Kita cuma punya 1 Taehyun, Bos."

"Oke-oke, tenang," kata Yeonjun, panik, "tenang ... baiklah seperti biasanya, kita akan menyiapkan stok roti dan menyiapkan beberapa minuman terlebih dahulu sambil aku menelepon pegawai yang lain—terutama yang paruh waktu. Ayo, kurang dari satu jam lagi!"

Dengan begitu, dapur toko roti Fennec's Kitchen kembali mengepul, menunjukkan eksistensi mereka di tengah lautan gedung-gedung tinggi di Seoul.

*

Fennec's Kitchen pada awalnya hanyalah toko roti milik kakak perempuannya—dengan nama yang berbeda—sebelum kakaknya pindah dan menikah dengan laki-laki pilihannya dan memutuskan untuk tinggal di Inggris tahun lalu. Tidak ingin tokonya dijual, ia memutuskan untuk memberikannya pada Yeonjun yang juga sama jagonya dalam membuat roti ataupun kue.

Baginya, itu kesempatan yang bagus, dan meskipun tokonya berganti nama, lelaki berusia 22 tahun itu terbukti tetap mampu menggaet pelanggan dengan mengubah toko roti tersebut tidak hanya menjadi sekadar toko roti yang "beli-lalu bawa pulang". Ia menambahkan menu baru, dan mendekorasinya menjadi kafe roti dan kopi, dan beberapa jus serta susu.

Kursi-kursi di Fennec's Kitchen selalu penuh selama 12 jam dalam seminggu. Lalu, hari ini, meskipun kelabakan, Yeonjun yang kebetulan menjaga meja depan menerima seorang pelanggan yang bahkan lebih tinggi dari dirinya.

"Aku pesan, umm... " Yeonjun siap-siap mengetik pesanan saat laki-laki di depannya sedang sibuk membaca menu. Oh, ia baru sadar kalau laki-laki "tinggi" ini adalah pelanggan baru. "Red Bean Butter satu, dan Roti Bun dengan isian bluberi satu, lalu umm..."

A Right Place to FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang