SMA kelas 3, menjelang semester 1. Tahunnya 2019, bulan November. Aku berprofesi sebagai calon siswa baru. Baru dipindah oleh guru-guru tercintaku itu. Ada pak Sahlan, pak Darwis, pak Asep; yang menurut teman-temanku, beliau semua ini adalah jajaran guru yang sangat kejam. Senang sekali bermain dengan angka-angka skor di kertas tebal yang berjudul "Perolehan Skor Siswa Akibat Pelanggaran Sekolah Tahun Ajaran 2019/2020" itu. Tapi menurutku pribadi, beliau baik. Kalau tidak mana mungkin beliau menyuruhku hijrah ke sekolah lain. Ini sedikit kutipan kata yang dituturkan pak Asep kepadaku, "Sampai detik ini, kamu sudah cukup menimba ilmu di sini. Kamu boleh hijrah di sekolah manapun yang kamu sukai. Semoga ilmu yang telah kamu peroleh dapat bermanfaat."
Mungkin tujuan beliau semata-mata karena aku sudah menguasai ilmu-ilmu yang telah diajarkan. Hingga sampai seterusnya aku diberi mandat untuk bebas memilih sekolah manapun. Oh ya...telah tercatat di buku tersebut perolehan skorku melebihi nilai sempurna. Tepat 150 lebih sedikit.
Detik itu juga, aku disibukkan untuk mencari sekolah yang saya sukai. Sekolah baru. Agak sulit memang, karena SMA N Primadonalah yang masih menduduki sebagai peringkat teratas dari berbagai banyak sekolahan yang saya tahu. Dengan bermacam-macam karakter gurunya. Yang masih sangat terkenang dalam ingatanku; beliau tiga serangkai, Pak Darwis, Pak Sahlan, dan juga Pak Asep. Terimakasih atas semuanya, pak.
Syukurlah tidak perlu menunggu sampai bertahun-tahun aku telah menemukan sekolah baru. Yang jauh lebih baru dari sekolah lamaku. Teman baru, guru baru, ada juga pak bon, kucing di kantin, sampai cat dinding. Semuanya baru. Tentunya dengan merek yang tak kalah saing.
Selesai melengkapi semua hal yang perlu, Aku dinyatakan sah menjadi warga baru di sekolah dengan ukuran luasnya 1 hektar ini. Lengkap dengan taman mini di belakang dekat lapangan upacara, 7 kantin yang berjejer, tempat parkir yang sudah penuh akan trend motor baru, dan juga satu siswa asing itu. Iya aku; Bakri, manusia yang dilahirkan 18 tahun lalu dari rahim ibuku sendiri.
Hari Jum'at, hari pertama diriku masuk ke kelas. Sebelum kubuka pintu tersebut, kubaca papan kelas yang menggantung itu, XII MIPA 4. Sama namanya seperti kelasku yang dulu. Nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan, batinku.
Masuklah aku dengan ekspresi sok bingung. Padahal aslinya memang sok-sokan wajahku ini. Sok semuanya. Sok tampan, sok pintar, sok beraura, sok sempurna, padahal sebenarnya jauh dari sasaran.
Di dalam kelas itu, 31 anak manusia tengah memandangiku. Di barisan paling kanan, terdengar suara yang intinya berakhiran tanda tanya besar.
"Siapa ya?" Itu terjemahan dari survei telingaku. Di pojok belakang sebelah kiri, tak terdengar apa-apa. Di barisan paling depan, semuanya juga sama. Diam, melolong.
Bu Nana ketika itu mempersilakan aku untuk mengenalkan diri. Aku kenal Bu Nana baru saja, dari papan nama yang menempel di bajunya. Papan nama itu sangat membantu sekali, terutama bagi murid baru sepertiku ini.
Akupun tersenyum sembari menundukkan kepala sebagai isyarat penghormatan sekaligus meminta izin kepada Bu Nana untuk mengambil spidol di dekat papan tulis. Sebenarnya Bu Nana tidak menyuruhku untuk menulis. Tapi tidak apalah, itung-itung menjajal papan tulis baru. "Eh...rasanya ternyata sama." kataku pelan.
Nama : Bakri
Alamat : Rembang, Jawa Tengah
Umur : 18 tahun
Alasan pindah : Hijrah
Cita-cita : Pembantu yang suksesKutulis sedikit identitas ku. Tanpa banyak basa basi lagi, "Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Sebelumnya minta maaf. Perkenalkan nama saya Bakri. Alamat, umur, alasan pindah, dan cita-cita bisa dilihat sendiri. Terimakasih. Wassalamualaikim Warahmatullahi Wabarokatuh."
Selesai sudah aku melakukan tradisi sebagai anak baru. Belum sampai duduk, Bu Nana menyuruhku menjelaskan mengenai cita-cita yang aku tulis. "Apa tidak salah dengan cita-citamu itu?""Yang mana, buk?" sambil melihat papan tulis. "Oh...itu benar buk."
"Bisa dijelaskan alasannya?"
"Yaaa...karena supaya bisa jalan-jalan keluar negeri buk." semuanya ketawa. "Kenal Rafi Ahmad?" lanjutku memberi pertanyaan kepada semua saja yang ketawa.
"Tuh pembantunya...sukses." kataku sambil tersenyum.
Kini Bu Nana yang tertawa.
Selesai sudah syarat-syarat untuk menduduki bangku kelas untuk pertama kali, Bu Nana mempersilakanku duduk.
Berhubung tak ada kursi kosong kecuali hanya satu itu, dengan amat terpaksa, aku pun duduk bersebelahan dengan siswi cantik itu. Dia tulus. Buktinya saja dia mau duduk bersebelahan dengan cowok sejenis aku ini."Eh...boleh pinjam buku tulisnya?" kataku.
"Mmm...boleh," sambil menyodorkan bukunya.
"Ini sudah. Terimakasih."
"Kok cepat. Emangnya untuk apa?"
"Untuk...kenalan." jawabku. "Tidak mungkin kan bukumu tidak tahu nama pemiliknya siapa?"
Dia tersenyum.
"Asih." kataku seolah memanggilnya. Spontan dia pun melirik lalu kemudian kembali ke posisi semula, menghadap ke depan dengan pikiran rada ambyar, mungkin saja.
"Satu semester ini kita akan bersama, sampai seterusnya." bisikku kepadanya.
Terlihat jelas, mukanya memerah, bibirnya pun juga tak mau kalah. Itu mungkin karena dukungan dari make up yang dikenakannya itu.
Hingga pada akhirnya, ceritaku berlanjut sampai di rumah.***
Sekian dulu. klik ikon bintang di pojok kiri bawah dan nantikan apa yang akan terjadi, 3 hari lagi.
Yang ingin lanjut. Jangan sungkan-sungkan bilang. :)
KAMU SEDANG MEMBACA
RainBoy
Teen FictionJangan paksakan untuk membaca cerita ini. Banyak adegan yang tidak wajar.