Kopdar Bareng Teman Lama

94 19 16
                                    

Saya ucapkan terimakasih kepada semuanya saja. Pada daun, batu, angin, dan yang lain yang sudah setia (maaf tidak bisa saya sebut satu per satu). Dan tak lupa, tentunya; buat kalian semua. :)

Saya lanjut lagi ya?

Segitiga adalah suatu tempat favorit anak-anak muda komplekku. Tempatnya agak gelap karena kurang pencahayaan. Tak ada kursi, adanya tikar. Di sudut paling pojok kanan terdapat tukang tambal ban. Mirip kelelawar; siang hari tutup, sedang malamnya buka. Ada juga pepohonannya, banyak. Entah pohon apa, warnanya serba hitam. Mungkin karena ketika itu, bulan dan bintang sedang sibuk sendiri, sehingga tak maulah dia menampakkan diri. Tapi aku dan masyarakat sekitar yakin, yakin ainul yakin bahwa daun pohon itu berwarna hijau.

Seperti anak-anak muda biasa, aku dan juga teman-temanku sekalian, bermaksud untuk ngobrol bersama. Tentang ini, itu. Pokoknya ngobrol. Setelah melalui diskusi yang matang disepakatilah Segitiga menjadi spot dari pertemuan kami.

Ketika itu, besoknya sekolah. Ngantuk di sekolah bagiku tak menjadi masalah. Yang penting agenda kali ini bisa berjalan lancar. Sungguh ini hanya sekedar kumpul-kumpul biasa. Bukan perayaan atas dipindahnya diriku.

Aku pergi dengan si Blueky. Sebelum pergi saya memutuskan untuk mencari bensin terlebih dahulu. Kata Blueky dia haus. Kasihan kalau dipaksa tetap jalan.

Janjian jam 8 malam, aku datang jam setengah 9. Semuanya sudah menungguku, juga kopi yang masih menguap itu. Sebenernya aku tinggal meminumnya karena tadi sudah dipesankan temanku ketika aku masih di jalan. Tapi aku tidak suka kopi. Sehingga kopi itu kubiarkan, sedang aku beranjak dari tikar lalu kemudian meminta air hangat untuk kemudian dicampur teh celup yang telah ku bawa sendiri dari rumah.

"Mpok, saya di situ." kataku kepada Mpok Surti yang sedang merebus air hangat.

Mpok Surti sudah saya anggap sebagai keluargaku sendiri. Dia adalah penjual warung kecil-kecilan di Segitiga. Dia berjualan bersama anaknya. Mulai selesai Maghrib sampai dengan aku dan teman-temanku pulang. Kalau aku sampai larut malam, biasanya Mpok Surti pamit terlebih dahulu.

"Bro, Mpok pamit pulang dulu. Ngantuk." sembari melambaikan tangan dari tempatnya jualan.

"Hati-hati, Mpok!" kataku.

"Hati-hati, Ma!" sahut Ipung kepada anak Mpok Surti. Nama lengkapnya Ema. Tapi si Ipung senang manggilnya dengan sebutan Beb Ma yang artinya bebeb Ema.

"Huss.." timpal Ipul yang tidak begitu suka.

Itu sedikit reka ulang adegan satu bulan yang lalu. Ketika aku belum dikeluarkan dari sekolah lamaku.
Oh ya...ngopi malam ini, aku bersama teman-teman sekolah lamaku. Secara di sekolah baruku, aku belum begitu mengenal satu sama lain. Baru dia, Asih teman sebangkuku.

Diantarlah pesananku oleh anaknya Mpok Surti. Belum sampai ke tempat kami berkumpul, ku hampiri dia.

"Sudah, kamu balik saja." sambil ku minta pesananku itu. Bukan karena apa, ya karena aku melihat dari tadi matanya Ipul dan Ipung sudah jelalatan.

Ipul dan Ipung saudara kembar. Jarang sekali akur. Sama-sama tampan. Tapi, agak bedigasan. Juga sama-sama suka, kepada Ema.
Setelah mengambil pesananku itu, kemudian aku kembali ke tempat semula.

Selain Ipul dan Ipung, ada juga Baskoro. Nama lengkapnya Bagas Koro. Hobinya ngutang. Walaupun begitu, aku bersyukur punya teman semacam dia. Hobinya cuma ngutang bukan yang macam-macam. (Macam-macam di sini = nyakitin hati perempuan).

Selanjutnya ada Yubi dan juga Rendi. Tak usah ku beritahu info-info ataupun surat-surat kelengkapan mengenai mereka berdua. Karena, mereka telah mempunyai pacar. Sangat sering mereka berdua berantem dengan pacarnya. Jadi, tak maulah aku memperkeruh suasana.

"Ada korek?" sambil mengeluarkan rokok Baskoro mencari benda tersebut.

"Ini aku bawa." kata Rendi.
"Join lah." saut Ipul.

"Bagi Bas, lupa tak bawa tadi." Ipung ikut-ikutan.

"Rokok dari ngutang ini. Bisa-bisa belum ku isep sudah sesak duluan pernapasanku." jawab Baskoro.

"Sudah-sudah. Ini, aku bawa." ku keluarkan rokokku dari saku jaket yang masih ku kenakan itu.

Semuanya sudah memegang rokok di dalam mulutnya. Untuk yang pertama kali Baskoro menyalakan rokoknya tersebut. Dengan serentak disusul Ipul, Ipung, dan juga Rendi. Tidak dengan aku. Rokokku masih ku pegang di tangan kanan. "Ah lama. Sini biar tak nyalakan." Dialah Baskoro sangat peduli dengan nasib rokokku itu. Mungkin ia takut kalau nanti rokoknya melempem. Menyalalah semua rokok-rokok kami sebagai teman atas kopi tadi.

Dengan sangat piawainya semua memainkan asap rokok dari mulutnya. Ada yang membentuk lingkaran, cinta, dan sebagainya.

Semuanya sudah habis 1 putung, punyaku masih setengah. Itu karena dari tadi, ku biarkan rokokku habis dengan sendirinya. Aku tidak suka merokok, pun tidak pernah merokok. Dan juga tidak membenci orang yang merokok, karena ayahku seorang petani. Petani tembakau. Ketika selesai musim bercocok tanam padi, dari tembakau lah kami bisa hidup.

Itu adalah caraku menghargai teman-temanku yang suka akan rokok.

Sepuluh menit kemudian rokokku habis. Dan akhirnya, kamipun pulang.

Bersambung!

Berdo'a terus saja cerita ini akan sampai pada titik darah penghabisan.

RainBoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang