Ibu mengangkat gagang telepon penuh keraguan. Sejenak ia menatap langit - langit rumah yang selalu bocor jika hujan itu. Bukan sedang meratapi tentang bocornya atap rumah tiap musim hujan, melainkan sedang memantapkan kembali niatnya menghubungi seseorang.
Bapak yang melihat kegundahan Ibu lantas mendekatinya. Kemudian seperti mendapat tambahan kekuatan, Ibu akhirnya mantap menekan nomor telepon tujuan.
"Assalamu'alaikum. Betul ini Nak Wid?" tanya Ibu dengan suara berat.
"Wa'alaikumsalaam. Iya betul. Ini siapa?"
"Ini dari Gombong. Bu Lik Nani"
"Oh njih, wonten nopo, Bu Lik?" balas Mas Wid dengan sopan karena tahu lawan bicaranya ternyata adalah Bu Liknya.
Setelah dialog basa-basi singkat, Ibu akhirnya memberanikan diri untuk mengutarakan niatnya menelepon interlokal itu.
"Nuwunsewu Nak Wid, ini... si Adi kan sebentar lagi mau selesai kuliah. Tapi..."
Ibu menghentikan ucapannya. Antara ragu dan malu bercampur menjadi satu. Ia pun tak kuasa menahan laju air matanya. Pipinya yang penuh kerutan karena termakan usia senja itu juga ikut memerah.
Bapak yang sejak tadi berdiri di belakang pun lantas memegang pundak Ibu. Seolah mengatakan, "kuatkan dirimu, istriku... demi masa depan buah hati kita."
"Tapi nopo Bu Lik?"
Panggilan Mas Wid dari balik telepon memecah keharuan itu.
"Oh, tap-tapi itu... uang tabungan saya sama Pak Lik sudah habis. Makanya... saya nekat ini mau pinjam uang ke Nak Wid. Tapi kalau tidak ada ya tidak apa-apa" sambung Ibu dengan penuh kerendahan hati.
"Oh, nggih, butuh pinten Bu Lik?"
"Kalau ada... dua juta, Nak Wid. Nanti kalau Adi sudah selesai kuliah, saya kembalikan"
Mas Wid setuju. Baginya, meminjamkan uang untuk kepentingan pendidikan pastilah tidak akan sia-sia. Apalagi ia seorang dosen di sebuah universitas ternama di Semarang.
Ibu menutup telepon dengan lega. Ia menatap Bapak dengan wajah sumringah.
"Alhamdulillah, Pak. Akhirnya setelah kesana kemari mencari pinjaman, Nak Wid ini mau meminjami kita uang untuk biaya Adi kuliah"
"Syukurlah, Bu. Nanti kalau gaji ketiga belas Bapak turun, bisa untuk nyicil Nak Wid" jawab Bapak yang pensiunan guru SD itu tak kalah sumringah.
Dua bulan kemudian, aku pulang. Ini adalah kepulanganku dari kuliah di Solo yang terasa paling manis, karena aku membawa kabar bahagia. Ya, aku dinyatakan lulus kuliah!
Sejak Ibu berhasil mendapatkan pinjaman uang dari Mas Wid itu, Ibu tak henti-hentinya untuk mengingatkanku supaya segera menyelesaikan kuliahku karena Ibu dan Bapak sudah tak punya uang lagi untuk kuliahku. Itulah salah satu lecutan terbesarku untuk secepat mungkin menyelesaikan kuliahku ini.
Ibu sepertinya sudah menantikan kepulangan putranya. Ialah yang membukakan pintu pertama kali.
Setelah mengetahui bahwa benar putra satu-satunya yang berdiri dihadapannya, ia lantas memelukku erat.
Jujur saja, aku sempat kaget saat Ibu memelukku, karena sejak dulu Ibu tak pernah memeluk putranya seperti ini. Kembali air mata Ibu menetes.
"Kamu...benar sudah lulus kuliah, Nak?" tanya Ibu memastikan kabar yang kubawa.
"Benar Bu, mudah-mudahan bulan April aku bisa ikut wisuda" jawabku.
"Alhamdulillah... "
Aku sebenarnya sempat heran mengapa Ibu sebegitu leganya mengetahui aku akhirnya lulus kuliah. Namun setelah Ibu cerita bagaimana sulitnya mencari uang untuk membiayai aku kuliah, disitulah aku memahami betul apa yang dirasakan Ibu.
Perjuangan belum berhenti sampai disitu. Sebagai seorang lelaki, dituntut harus segera mendapatkan pekerjaan mapan karena nantinya akan menjadi kepala keluarga.
Sejak dulu Bapak dan Ibu sangat menginginkan aku untuk menjadi PNS, karena tunjangan masa tua yang menurut mereka sangat membantu itu.
Namun apa daya, aku diberi rezeki oleh Allah Swt bukan sebagai PNS, melainkan sebagai guru di salah satu sekolah swasta. Aku bisa membaca sekilas dari gestur tubuh Bapak dan Ibu, bahwa mereka sebenarnya tak begitu puas dengan pencapaianku. Meskipun tak pernah ditunjukkan dihadapanku.
Satu kejadian yang tak pernah aku lupakan, ketika aku mendapat tawaran untuk memasukkan lamaran di salah satu sekolah negeri. Kemudian aku memberi informasi itu kepada temanku yang satu jurusan denganku, sehingga kemudian kami berdua memasukkan lamaran untuk satu lowongan yang sama.
Meskipun akhirnya kami berdua sama-sama tak dipanggil untuk mengajar disana, namun saat itu Ibu benar-benar kecewa dan marah saat mengetahui aku memberi informasi kepada temanku yang notabene adalah 'sainganku' itu.
Aku kaget, Ibu yang terkenal akan kesabarannya itu bisa se-kecewa itu terhadapku. Dari situ aku bisa menyimpulkan, tindakanku itu seolah menyia-nyiakan semua perjuangan yang ia berikan saat dulu aku kuliah.
Enam tahun kemudian, Bapak wafat. Beliau sakit selama sekitar tiga bulan lamanya. Selama sakit itu, Ibu-lah yang lebih sering mendampingi Bapak kesana kemari. Mulai dari berobat ke dokter, opname di rumah sakit, bahkan saat hari terakhir sebelum Bapak menghembuskan nafas terakhir, Ibu-lah yang selalu setia menemani Bapak. Padahal Ibu sendiri usianya pun sudah lanjut.
Lalu dimana aku?
Aku terlalu sIbuk dan larut dalam pekerjaanku. Ya, pekerjaan yang sama seperti dulu yang Ibu pernah kecewa karenanya.
Dihadapan Ibu aku menyesali ketiadaanku dalam merawat Bapak, sehingga dampaknya Ibulah yang harus kerepotan.
Sungguh tak tahu diri aku ini, membiarkan Ibu yang sudah renta melewati hari-hari tuanya dengan merawat suaminya sendirian. Padahal aku tak berada jauh dari mereka. Aku tinggal bersama mereka! Mungkin jika aku bekerja di perantauan, semua itu bisa dimaklumi.
Namun Ibu dengan sabar tetap mengatakan, "tidak apa-apa"
Bahkan sampai dua tahun Bapak wafat pun, Ibu tak pernah sekalipun menyalahkanku dihadapan orang lain. Tidak pernah sekalipun.
Dua tahun?
Ya, dua tahun. Karena dua tahun setelah Bapak wafat, Ibu menyusul.
Selama dua tahun pula Ibu sering termenung. Kadang tatapannya kosong, karena hanya tinggal beliau seorang kini. Dua orang kakakku sudah lebih dulu menghadap Sang Khalik jauh sebelum Bapak wafat.
"Lihatlah Kartu Keluarga ini, Nak. Disini hanya tinggal tertulis nama Ibu seorang" ucap Ibu berkaca-kaca waktu itu.
Dengan segala upaya kukalahkan rasa haruku, hanya sekedar untuk menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Toh, di sekitar sini juga banyak yang seperti ini, kalau mereka bisa kenapa Ibu tidak"
Aku tak tahu apakah benar atau salah atas jawabanku itu. Namun memang aku benar-benar bingung harus berkata apa untuk sekedar menghibur kesendirian Ibu.
Aku tak bisa menahan tangis keharuan. Belum cukup rasanya segala perbuatanku untuk membalas semua kepahlawanan Ibu. Semua kenangan saat aku dipeluk hangat olehnya dulu di depan pintu, saat Ibu kecewa dengan keputusanku membuang peluang menjadi PNS, hingga saat Ibu bersedih dengan kesendiriannya, berkali-kali muncul di benakku begitu saja. Seolah mengingatkan, bahwa segala apa yang kuperbuat, takkan pernah bisa menggantikan perjuangannya untukku.
Aku merindukanmu, Ibu.
Sungguh merindukanmu.
Andaikan waktu benar bisa diputar, aku ingin memperbaiki segala kesalahanku dan berusaha berada di sampingmu saat kau butuh.
Bagiku, kaulah pahlawan sebenarnya.
Semoga kau mendengarnya, dan sampaikan salam rinduku pula untuk Bapak. Akupun sangat merindukannya.
Mudah-mudahan kita berkumpul kembali di Jannah-Nya Allah nanti. Aamiin.
YOU ARE READING
HERO
Short StoryIni sebuah cerpen tentang hebatnya seorang manusia bernama Ibu. Tak perlu kekuatan super macam Wonder Woman, namun bagi kita Ibu adalah orang yang kuat. Berbahagialah bagi yang masih memiliki Ibu, sayangi dan berbaktilah padanya. Karena salah satu l...