'Dengan ini aku katakan padaku. Beribu penyesalan dan maafku-mungkin tak akan pernah kau maafkan. Namun, apalah dayaku. Kak Haris meninggal dunia. Dan aku, aku terpaksa menikahi Luna karna anak di dalam kandungannya. Dan ... itu bukan anakku. Dia anak Kak Haris. Tolong maafkan aku sekali lagi, Yasmine.'
Kuremas surat itu dan membuangnya kesembarang tempat. Hatiku hancur. Dua hari lagi adalah hari bahagia kami. Namun takdir berkata lain. Dia pergi begitu saja dengan meninggalkan sejuta luka yang mendera di dalam dada. Apa tanggapan Abi jika mengetahui semua ini?
Keluargaku pasti akan menanggung malu karna pembatalan pernikahan secara sepihak oleh calon mempelai pria. Pasti tetanggaku yang hobinya nyinyir akan menggunjingku dengan berbagai fitnah kejam yang siap menghunus diriku.
Pintu terbuka lebar. Derap langkah seolah mendekatiku. "Yasmine, kamu kenapa, nak? Apa yang terjadi padaku? Cerita sama Umi ...,"
Aku mulai bercerita tentang surat yang di berikan mas Arman padaku. Umi begitu syok hingga serangan jantungnya kumat. Aku berteriak histeris sambil menangis. Abi dan Kak Herman tergopoh-gopoh datang dan syok melihat Umi kejang-kejang.
Kak Herman menggendong Umi dibantu Abi membawanya ke mobil. Aku masuk duluan sebelum Umi dimasukan ke dalam mobil. Mobil melaju kencang meninggalkan rumah. Aku terus menangis, sedangkan Kak Herman mulai terlihat cemas. Sedari tadi, dia menoleh kebelakang melihat kondisi Umi.
Abi menasehatiku agar jangan menangis. Namun apalah diriku. Aku bukan lelaki yang pantang menitihkan air mata. Aku seorang wanita yang menggunakan hati dan perasaan. Bukan pria yang selalu mengunakan logika.
Dari arah pertigaan jalan, sebuah mobil Xenia melanju dengan kecepatan tinggi. Kak Herman yang terus mengoceh memekik keras melihat mobil dari arah berlawanan. Tabrakanpun terjadi. Mobil yang kutumpangi terseret mobil tersebut hingga beberapa meter lalu terbalik.
"Umi, Abi, Kak Herman ...," panggilku. Sepasang kaki berbalut sepatu mahal mendetak lalu berhenti. Dia terlihat sedang menelpon entah siapa. Kegelapan menyergapku hingga aku terbang kealam mimpi.
Yasmine Hendrawan Wijaya, itulah namaku. Wanita malang yang harus menjalani manis pahitnya kehidupan dunia. Aku mengalami kecelakaan yang merenggut satu kakiku dan mengharuskan harus di amputasi. Sedih, marah, dan emosi menjadi satu. Namun apalah dayaku. Takdir tak ada yang tau. Aku, Yasmine. Wanita cacat yang hanya bisa meminta belas kasian orang yang menatapku dengan perasaan iba.
Seminggu setalah kecelakan aku di kabarkan meninggal di berbagai tayangan tv nasional. Terkejut. Aku sangat terkejut. Berani-beraninya ada yang menyiarkan aku sudah mati. Dan berita itu juga menjelaskan keluargaku yang tak selamat dari kecelakaan maut itu.
Pintu terbuka. Aku menoleh kearahnya. Danish, mau apa dia kemari!
"Assalamu'alaikum," Aku hanya bergeming. Derap langkah kakinya terdengar nyaring di telingaku.
"Mengapa kau tak menjawab salamku, Yas? Dan, apa ini? Mengapa kau tak memakai kerudungmu?" tanyanya.
Dialah Danish, pria yang selalu mengejar-ngejarku. Dia memang tampan. Lebih tampan dan lebih sekaya dia ketimbang mas Arman. Dia pria berwajah tegas. Namun berbeda ketika di dekatku. Dia akan berubah menjadi kucing manis yang tadinya menjadi singa buas yang siap menerkam mangsanya.
Aku heran padanya. Mengapa dia begitu kekeh mengejar cintaku padahal aku bahkan tak pernah menyimpan cinta atau kekaguman berlebih padanya. Ya, aku memang mengaguminya dalam diam. Entah sadar atau tidak dia. Aku kagum padanya ketika dia pada usianya menginjak 20 Tahun sudah membangun kerajaan bisnis yang melambung hingga ke manca Asia dengan kerja keras dan keringatnya sendiri.
Perusahaanya bergerak di bidang properti dan teknologi jaringan. Bisa di bilang bagian IT. Perusahannya bisa di bilang server yang sangat di butuhkan oleh client dalam komputer. Ibarat jaringan, perusahannya merupakan ISP atau Internet yang menyediakan sumber daya untuk menunjang kebutuhan client-nya. Client-nya, ibarat komputer yang meminta IP untuk mengakses jaringan internet.
Aku liat dia mengambil kerudungku dan berjalan kearahku. "Jangan harap aku akan memakainya!" Tangannya terhenti di udara. Dia mendekat dan berdiri tepat di sisiku dengan ikut memandang ke depan.
"Apa hanya karena kejadian ini kamu menyerah, Yas?" Aku tetap bergeming tanpa menoleh padanya.
"Yasmine yang kukenal dia wanita tangguh dengan tameng bajanya. Lantas, dimana Yasmine yang kukenal?" tanyanya dengan menoleh kearahku.
"Yasmine yang dulu sudah mati bersama Abi dan Umi. Yasmine yang sekarang dia hanya wanita ca-cat yang tak bisa apa-apa!" ungakapku. Air mataku menetas begitu saja. Aku rasakan, tangan besar menyentuh wajahku dan menghapus air mataku dengan begitu berhati-hati.
"Bagikan tukan emas, kaulah emasnya dan aku adalah tukangnya. Satu tetes airmu jatuh, maka itu bernilai 10 gram emas di pasaran. Namun jika banyak seperti ini, aku sangat kebingungan mau menimbangnya seberapa berat dan mahalnya."
Mulai, 'kan jurus filosofinya itu! Aku paling muak dan paling suka ketika dia memperlakukanku seperti ini. Dia pria yang baik. Dulu, waktu SMA, aku selalu menangis karena pacarku. Dia datang bagikan pangeran berkuda paling tampan yang menghipnotisku dengan karismanya yang luar biasa menghapus air mataku dan menasehatiku dengan lembut.
Jujur, dulu aku sangat menyukainya. Diam-diam aku mencuri pandang padanya ketika dia datang ke rumah bersama orang tuanya. Orang tuanya dan orang tuaku adalan sahabat sewaktu kecil. Namun cintaku untuknya telah lenyap dengan tingkah-lakunya yang bikin naik darah setiap acap kali bertemu. Kami selalu ribut, ribut, dan ribut. Umi dan Ibunya Danish selalu menjuluki kami sebagai Tom and Jerry seperti di serial anak-anak.
Namun masa kecil tetaplah masa kecil. Aku tidak bisa mengubah itu semua menjadi cinta. Tidak bisa. Aku, Yasmine. Akan membunuh rasa cintaku selamanya.
B E R S A M B U N G

KAMU SEDANG MEMBACA
Menjemput Rahmat-Mu
RomanceCinta, bagiku hanyalah karangan novel tak berguna yang kualami.