Prolog

3 0 0
                                    

Jiwaku remuk tak berbentuk.
Hatiku suram dalam gelap malam.
Senyumku pudar diantara hiruk pikuk keramaian.
Ternyata benar, aku terjebak dalam kerinduan.

***

Dipuluhan detik yang lalu, ketika ujung pandangku terlempar pada sebuah pintu kecil di ujung ruangan--yang sialnya tidak kuketahui sama sekali di bagian belahan ruang manakah yang saat itu tengah kuinjak--tanganku tanpa repot meminta izin segera menyentuh kenopnya pelan. Menuruti rasa penasaran, terdengarlah decitan nyaring memelodikan hening yang cukup menyeramkan. 

Kriett...

Seolah dia tidak pernah tersentuh tahunan. Gesekan antara engsel besi yang mengarat terdengar begitu mencekam. Aku menyipit, menyesuaikan silau cahaya yang langsung menyerbu tanpa ampun, saat sebuah tempat aneh menerimaku ketika kuakan pintu telah membentuk sudut siku. Cukup lama aku diam, sembari menjelajah pandang sekitar.

Adalah hijaunya padang rumput dibawah naungan langit yang malam ini terlihat begitu cerah. Satu bulan purnama yang dikelilingi milyaran bintang-gemintang. Dengan udara dingin mulai terasa menusuk kulit yang baru kusadari hanya sebuah dress pastel melekat pada tubuhku.

Entah didetik keberapa ketika aku sadar tidak hanya aku satu-satunya makhluk yang bernama manusia menapak di tempat ini. Satu sosok lain yang berlawan jenis kelamin denganku tengah berdiri di radius sekitar tiga meter dari tempatku.

Otomatis radar pengenal wajah pada diriku langsung aktif. Memindai bak kode scan yang biasa digunakan oleh toko langganan Bunda. Ujung kaki menuju ujung kepala.

Dia seperti tidak asing.

Hingga saat ini pertanyaan tentang wajahnya yang serasa familiar oleh kacamataku itu membuat memoriku bekerja ekstra.

Apa orang itu pernah kukenal?

Berkali-kali aku menyipit, memastikan aku tidak salah kan? Karena memang, dalam perihal mengingat wajah orang baru aku cukup lemah. Tapi kali ini, sedikit keyakinan--kalau dipresentasikan terhitung tidak mencapai 10%--membuatku betah melempar berbagai adegan memori. Karena aku percaya suatu tempat mungkin pernah menemukan kami dalam satu kesempatan. Kesempatan yang diuntai oleh tangan-tangan beratas-namakan takdir. Meski teori ini masih berperang dengan logikaku yang entah mengapa cukup tumpul kali ini.

Sosok itu

Sosok yang kurangkum dalam satu deskripsi singkat. Makhluk keturunan Adam yang melapisi tubuhnya dengan setelan serba putih. Sebuah kemeja motif dengan celana kain begitu kontras berpadu dengan kulitnya. Seperti halnya baju itu dibuat khusus untuk dia pakai.

Bermodalkan sinar bulan, aku bisa melihat mukanya cukup jelas. Dia memiliki paras berbentuk serupa telur. Berhiaskan surai hitam legam yang tampak acak terkena semilir angin malam. Netranya agak sipit yang bisa kubayangkan akan hilang kedudukannya ketika dia tersenyum. Tonjolan menggunung terletak pada pangkal hidungnya. Sedang, tidak berlebihan. Kudengar mereka menyebutnya dengan istilah mancung. Bibirnya mengatup tipis, membentuk perpaduan yang pas.

Tapi, bukanlah visualnya yang menarik minatku untuk mengamatinya dengan beragam penilaian. Melainkan satu hal beda yang jelas tidak dimiliki pada anak Adam lainnya. Meskipun aku tidak benar-benar faham, dan mungkin akan terdengar sok tahu. Aku tetap berani memastikan kalau hal aneh itu adalah auranya. Terlalu terang dan tampak mendominasi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hembusan PenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang