Day 1

7.7K 646 133
                                    

"Karma, apa kau ingin sesuatu saat ulang tahunmu?"

Karma memandang langit malam kota Tokyo, kemudian terkekeh. Ingatannya akan pertanyaan orang tuanya saat dia masih kecil dulu kembali berputar di kepalanya, setiap tahun saat ulang tahunnya.

"Aku tidak ingin apa pun."

Setiap tahun juga, jawaban yang sama selalu Karma berikan. Sejak kecil hingga sekarang. Karma menutup matanya, lalu terkekeh mengingat jawabannya.

"Karma, apa kau percaya pada Santa?"

"Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku mempercayai adanya Santa."

Komentar terlontar, bersamaan dengan keluarnya uap dari mulut Karma. Dia sedang berada di teras rumahnya, melihat salju yang turun. Setiap tahun, setiap ulang tahunnya, dia selalu merayakannya dengan cara yang sama.

Duduk di teras rumah, dengan sepotong strawberry shortcake dan dua kotak susu strawberry menemani dirinya.

Karma sudah mendapat banyak ucapan selamat dari teman-temannya, baik lewat email ataupun saat bertemu di sekolah. Tidak jarang juga dia menerima hadiah dari mereka. Karma membuka matanya, dan kedua tangan Karma terentang ke depan—seperti dirinya sudah siap menerima sesuatu.

"Tapi jika aku boleh meminta pada Santa, aku ingin seorang malaikat."

Karma terdiam cukup lama, sebelum akhirnya mendengus geli.

"Pft, mana mungkin Santa mengabulkan permintaanku, Tuhan saja belum tentu—"

Namun iris emasnya melebar kaget saat kedua tangannya menangkap seorang gadis yang terjatuh dari atas.

Hal pertama yang Karma lihat adalah sepasang sayap putih yang dipenuhi darah, menempel di punggung gadis itu.

.

.

.

Rain Victoria Eastaugffe
present:

"One Week"

Pair:
Karma x Angel!Reader

Genre:
Romance
Alternate Universe
Angst

Book Type:
Multi-chapter

Total Chapter:
7 chapters

Status:
Completed
(updated from 25 – 31 Dec'19)

.

.

.

"Happy" Reading!

.

.

.

Karma tidak bisa menangkap situasi sepenuhnya. Bagaimanapun, situasi ini tidak bisa dinalar dengan logika apa pun. Karma hanya tahu bahwa sayap yang penuh darah itu bukanlah mainan, karena Karma seperti memegang sayap burung.

"Ugh."

Karma menoleh ke sumber suara, dan melihat sang gadis ternyata sadar sepenuhnya.

"Oh, terima kasih sudah menangkapku," ucap sang perempuan tersenyum lebar, "em—bisa kau turunkan aku?"

Karma melakukan apa yang sang gadis inginkan. Saat itu Karma menyadari bahwa gadis itu tidak memakai alas kaki, dan hanya memakai sebuah gaun putih.

Seperti penampilan malaikat.

"Apa kau baik-baik saja?" Karma tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya—terlebih lagi tidak lama gadis itu berdiri, darah yang ada di sayapnya mengalir begitu deras, jatuh ke lantai—mewarnai salju seputih kapas jadi semerah darah.

"Oh," gadis itu menyadari arah mata Karma, "aku baik-baik saja, tapi darahnya tidak berhenti mengalir."

Karma meraih tangan gadis itu, kemudian menariknya masuk ke dalam rumahnya.

"Kalau begitu tutup dulu lukanya. Aku punya perban di rumahku."

Namun Karma nyaris tersungkur ke belakang saat gadis itu menariknya.

'Apa-apaan kekuatan gadis ini!?' pikir Karma menoleh ke belakang.

"Aku akan mengotori rumahmu," ucap gadis itu terkekeh.

"Jangan pikirkan itu. Selain itu, lihatlah—karena kau tidak memakai alas kaki, kakimu jadi semerah itu."

"Tidak apa-apa," sahut gadis itu mengibaskan tangannya, "lagi pula jika kau merawat lukaku, maka aku harus tinggal denganmu selama seminggu."

"Hah, kenapa begitu?"

"Sebagai ucapan terima kasihku sudah mau merawatku, pastinya."

"Hm, tidak masalah bagiku," sahut Karma cuek.

"Eh?"

"Kau dengar aku, Miss Angel," sahut Karma.

"Tapi—"

Ucapan gadis itu terpotong saat Karma tiba-tiba menghilangkan jarak wajah mereka. Ekspresi serius terlukis di wajah Karma, kedua alisnya berkerut dan iris emasnya menatap intens iris (e/c) gadis itu.

"Apa perlu aku bujuk dengan cara lain agar kau mau masuk ke rumah?"

Pipi sang gadis memerah, sebelum akhirnya dia membuang pandangannya. Karma yang tidak menduga reaksi yang diberikan gadis itu hanya bisa berkedip beberapa kali.

"Baiklah—aku akan masuk jika kau bersikeras."

Senyum jahil terlukis di wajah Karma.

"D'aww, apa kau malu?"

Gadis itu menoleh ke arah Karma lalu mengembungkan kedua pipinya, melepas genggaman tangan Karma lalu masuk ke dalam rumah Karma dengan kesal.

"Jangan tanya jika kau sudah tahu jawabannya."

"Hee, tapi aku tidak tahu tuh?" sahut Karma mengangkat kedua bahunya.

Namun tiba-tiba sang gadis berhenti, menoleh ke arah Karma lalu mengerutkan alisnya.

"Wajahmu sudah mengatakan semuanya—ngomong-ngomong, namaku (Name)."

"Hm, salam kenal (Name), aku Karma."

One Week » Akabane KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang