Angkringan Simbah

8 0 0
                                    

Lalu lalang kendaraan tak menyurutkan niat Simbah untuk tetap mendirikan gerobak. Gerimis jadi hal paling manis baginya. Kala itu, sang istri setia menemani Simbah. Namun, hari ini berbeda.

Di sebuah ruko tak berpalang ia turunkan tali, lalu terpal terbentang. "Angkringan Simbah" begitu nama yang ia berikan untuk dagangan kecil-kecilan guna menyambung beberapa babak kehidupan yang akan datang.

Waktu masih menunjukkan pukul empat sore. Langit mulai remang-remang. Padahal belum waktunya matahari untuk bersembunyi, lalu hilang. Perlahan ia siapkan segala alat bahan sendirian. Membakar arang hingga kemerahan. Bergelut dengan asap abu dan debu. Mengelap perlahan tatakan gerobak angkringan. Sabar dan penuh kehati-hatian. Tak lupa ia tata gelas demi gelas, gorengan, sate-satean, dan sego kucing, si menu andalan.

Matanya sudah mulai kabur. Kemerahan. Berjalan pun tak lagi bisa tegap. Sedikit membungkuk namun masih kuat. Kakinya kokoh, tak mudah roboh. Kali ini, Simbah tak ditemani istri. Ia persiapkan semuanya sendiri.

Beberapa waktu lalu, sang istri mengalami muntah darah. Simbah hanya bisa pasrah. Tak punya biaya, memaksa Simbah untuk merawat istrinya di rumah.

"Tak mengapa, di halaman belakang terdapat tumbuhan penambah darah", katanya waktu itu.

Sebenarnya, bukan itu obatnya. Bukan sekedar daun tanaman yang dibutuhkan. Tetapi benar-benar medis yang dapat memberi pertolongan.

"Uhuk.. uhukk. Duh", di samping rumah sang istri mengeluh kesakitan.

Lantas Simbah tergopoh dari ruang tengah menuju samping rumah.

"Kenapa wahai istriku? Apakah kau baik-baik saja?", tanya Simbah dengan bibir gemetar.

Bagaimana tidak, ia sangat menyayangi istrinya. Mereka hanya tinggal berdua di rumah yang bisa terbilang sederhana. Dengan halaman depan seluas dua kali tiga meter. Tak ada tanaman hias di sekeliling rumah. Pintu kayu tak terlalu tinggi. Kursi meja tamu berdiri sendiri tanpa pemanis taplak maupun vas.

Kedua anaknya telah pergi menghidupi diri mereka sendiri. Dua tahun lalu, mereka memutuskan untuk pergi merantau. Mungkin, sudah menikah. Simbah dan sang istri tak pernah mendapat kabar dari kedua anaknya. Tetapi Simbah tak pernah mengeluh. Ikhlas menjalani apa yang ia hadapi.

"Aku tidakpapa.. tenanglah. Ambilkan saja aku tanaman obat di belakang rumah", jawab sang istri pada Simbah.

Simbah pun bergegas memapah sang istri ke dalam rumah. Perlahan mereka lewati tanah. Melewati pintu masuk, ruang tengah, hingga bilik kamar. Dipegangnya erat-erat bahu sang istri.

"Duduklah di sini dulu.. akan aku ambilkan air putih dan tanamannya", kata Simbah.

Sang istri hanya tersenyum simpul pada sang suami. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Kasih sayang yang Simbah berikan padanya tak ada duanya.

"Aku mencintaimu, akan terus tetap mencintaimu", ucap sang istri sambil memegang pergelangan tangan Simbah. Mesra.

Simbah menatap mata sang istri lekat. Dibalaslah sang istri dengan genggaman penuh cinta.

"Aku juga mencintaimu sayang", tangkas Simbah pada sang istri

**

Desau angin menemani Simbah yang sedang menggelar tikar. Hujan semakin turun deras. Air sudah mendidih. Pertanda pelanggan mulai datang. Mudah-mudahan, kami diberi ampunan. Begitu pikir Simbah dalam hatinya.

Meskipun hujan turun cukup deras, angkringan Simbah tetap terbilang ramai. Tak hanya berteduh. Mereka juga memesan segelas kopi dan teh panas. Gorengan yang dibakar, atau sate puyuh tiga ribuan.

"Mbah, sego kucinge tigo, teh panas, sate usus kalih. Pinten Mbah?", kata salah satu pelanggan bertanya.

"Kalih welas, Mas", jawab Simbah padanya.

Dengan telaten Simbah melayani pesanan demi pesanan. Terkadan banyak orang pula menanyakan Simbah yang masih bekerja keras di usia yang telah renta. Meski hanya berjualan angkringan yang tak perlu banyak tenaga, tetap saja namanya bekerja. Namun, Simbah tak pernah masalah. Memang sudah seharusnya.

Desau angin yang beradu dengan langit kelabu, sebagai cinta yang mendalam. Semilirnya dirasakan bagai pelukan hangat sang istri yan meski tak selalu bertemu atau bergumul untuk mempersatukan diri. Tetapi membuatnya saling memikirkan dan merindukan. Begitulah cara malam menemaninya akhir-akhir ini.

Beberapa saat sebelum menjelang tengah malam, Simbah selalu keluar dari deklit merahnya, berjalan mengamati bias bulan menyembul dari aspal jalanan, sebelum akhirnya ia mengemasi barang-barang dagangan dan menutup gerobak ankringan.

***

Dari kejauhan kulihat seksama, perlahan Simbah mengemasi semua miliknya. Malamnya mengambang, hambar. Lalu ia terduduk di pinggir gerobaknya. Di atas kursi panjang. Melamun. Debu malam yang menyesakkan. Sesaknya bersahutan, meruntuhkan. Runtuhnya bersamaan, mematikan.

Aku melihatnya sangat berbeda. Malam menyapa bersamaan hujan air mata. Isaknya mengguntur menggelegar. Menciptakan getaran perpisahan. Denyut nadinya bergetar, mengalir perlahan.

"Malam yang dingin, oh", desahnya.

Terkdang aku bingung memahami maksutnya. Entah kenapa kali ini aku ingin lebih dekat dengannya. Meski ia hanya penjual angkringan paruh baya. Ia tetap istimewa. Bukan karena ia punya banyak harta., melainkan tentang caranya menyikapi kejadian. Aku terkesima.

Satu pesan yang selalu aku ingat darinya, sewaktu aku berteduh dan memesan kopi panas.

"Tuhan seperti guru. Dia diam saat ujian berlangsung. Yang bisa menyelesaikan ujian hanya yang berhati tenang", kata Simbah padaku.

Ada benarnya perkataan itu. Sang istri telah meninggalkan Simbah beberapa bulan lalu. Saat ia sedang berkemas untuk pulang. Dagangannya habis. Ia merasa senang. Simbah berharap ini adalah kabar baik untuk istrinya. Dibawanya oleh-oleh tahu bacem kesukaannya. Namun, sesampainya di rumah, Simbah menemui istrinya yang sudah terbujur kaku di atas ranjang persetubuhan mereka. Kakinya dingin. Bibirnya pucat, sedikit tersenyum. Istrinya berbaring tak bernafas. Simbah tak tau harus berbuat apa.

Ia hanya menatap lekat sang istri. Tak ada jawaban ketika Simbah mengucap salam. Ini benar-benar mimpi buruk bagi Simbah. Tak ada lagi yang menemaninya di angkringan tiap malam. Tak ada lagi yang merindukan Simbah selepas pulang. Tak ada lagi sang istri yang cintanya begitu mendalam.

Bibir Simbah melengkung tersenyum.

"Ternyata, malam itu adalah malam terakhir kita di angkringan, sayang", tutur Simbah dengan mengelus kepala sang jasad.

***

Simbah tak pernah menyesal atas kepergian istrinya. Tak ada yang dapat menolak kematian. Saat ia memasuki ruangan, semua kesenangan hilang. Bahagia berbalik duka. Hitam awan gelap menyelimuti setiap relung jiwa. Tak ada yang bisa menghindarinya.

Kali ini bukan hanya sehari Simbah berjualan sendiri. Setiap hari ia harus menerpa hujan dan panasnya terik matahari. Meski begitu, Simbah tak pernah mengeluh. Ia selalu menebar senyum saat menyajikan kopi panas padaku. Aku tahu, jiwa Simbah sudah remuk. Tetapi cintanya pada sang istri, membuatnya lebih kuat. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 24, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Angkringan SimbahWhere stories live. Discover now