-cerita ini hanya fiksi belaka. Saya ambyar N💚Min
©to owner
•
•
•Gedung SM lantai 04
Jaemin mendongak dengan netra agak menyipit. Keangkuhan gedung SM menyengat penglihatan. Dari sini saja Jaemin sudah merasakan debaran jantungnya menggila karena gugup. Genggaman pada tali ransel mengerat, perlahan masuk lewat pintu yang diarahkan sebelumnya.
Lorong-lorong terang bernuansa putih membuai Jaemin. Kesan ramah kentara, ditambah staff tak kalah ramah tanpa memandang. Oh, mungkin sosok sepertinya bukan pemandangan baru, Jaemin terlalu percaya diri.
Jaemin memastikan lantai 4 yang ia tuju sudah benar. Melewati beberapa belokan dan lorong sempit lainnya, Jaemin tiba didepan pintu putih yang terkesan berat.
"Baiklah. Ini hari pertamamu. Semangat Jaemin!"
Tangannya menyentuh kenop pintu, membuka dengan gerakan lambat. Hal pertama kali ia disambut tatapan lucu anak lelaki lain yang sudah tiba lebih dulu.
Hm. Tampak familiar.
Suasana dalam ruangan agak ramai. Salah satunya didominasi sosok berkulit tan dengan wajahnya yang berisi. Gembul. Lucu. Jaemin gemas, sama bocah lebih pendek dalam kepitan tangan si anak tan.
Jaemin menyapa seramah mungkin, sembari memperkenalkan diri.
"Halow. Na Jaemin immnidaa, 13 tahun," lengkap dengan aksen aneh yang disengaja. Jaemin pikir tidak ada salahnya mengetes ombak. Hehe...
Seperti yang diduga, Jaemin mendapat sambutan cukup manis. Sesi berkenalan terus berlanjut hingga akhirnya giliran sosok yang menarik perhatiannya pertama kali.
"Namaku Jeno."
Hari itu, kilas setahun yang lalu dengan nyeri pada lutut, Jaemin menemukan kembali sosok malaikat tanpa sayap, penolongnya. Bukan karena berlebihan, tapi kelembutan yang ditawarkan bocah lelaki itu menarik penuh atensi Jaemin.
"Jenossi, apa kau tak kesakitan sayapmu patah?"
Ingin rasanya Jaemin menghilang ditelan bumi setelah mengatakan itu.
•
•
•Insiden itu ternyata cukup mempengaruhi Jaemin. Pertemuan berjalan lancar. Jaemin besera empat lainnya sedikit canggung, namun mereka fokus melihat senior peserta pelatihan berlatih bersama.
Menjelang malam hari, mereka pulang.
Jaemin gencar mencari-cari ulah agar tak ada celah bagi Jeno untuk mendekatinya. Untuk sementara, terlalu memalukan jika bocah seumurannya itu bertanya lebih lanjut. Jelasnya, Jaemin belum siap terlupakan.
"Hei, ayo pulang bersama."
Pertama kali bagi Jaemin mempertanyakan sisi petakilannya yang lenyap begitu saja saat berhadapan dengan Jeno. Bibir terkatup, Jaemin mengangguk saja kemudian berjalan mendahului Jeno.
Seruan kaget dari mulut Jeno -dia kesal Jaemin meninggalkannya begitu saja- mengundang kurva manis Jaemin terbit diam-diam.
"Kupikir kita satu arah. Bukannya dulu kau tinggal di Busan sama sepertiku?"
Jaemin tertegun beberapa saat. Jeno-mengingatnya.
"Aku pindah, pekerjaan ayah," arlojinya menunjukkan pukul delapan malam. Pengalih perhatian dari debaran jantungnya sendiri.
Bus yang Jeno tunggu lebih dulu tiba. Ia melambai singkat pada Jaemin, lalu menghilang dibalik pintu bus. Jeno nampak memilih duduk dekat jendela yang mengarah langsung pada halte.
Jeno tertawa kecil, lalu melambai lagi pada Jaemin. Tidak tahu saja Jaemin yang agak bersemu karena itu.
"Tampan ya."
•
•
tibisi
•
•