.
.
.
.
.
BRAK!
Jaemin mengerang. Titik putih memenuhi pengelihatannya dalam sentakan kasar kala matanya terpejam atas rasa sakit yang berdenyut. Bibir bawahnya digigit, merasakan badai, hujan, banjir di dalam mulut. Napas pria itu berburu lemah bersamaan tawa jenaka yang melongos tanpa izin melewati telinga. Perlahan, tubuh Jaemin merosot lemah di dinding, berbekas noda darah pada jalur yang dilalui.
“Aw, Nana.”
Jaemin perlahan membuka kelopak mata, berkedip - kedip lemah pada sang pelaku pelemparan. Ia ingin berkata sesuatu, namun rasa sakit yang mendera bagian belakang kepalanya mengalahkan semua niat yang tersemat. Usaha untuk melarikan diri bahkan tidak dapat ia lakukan. Sepatu merah menyala telah menipiskan jarak.
“Mengapa kau melakukannya?”
Bersimpuh, sosok itu menatap polos Jaemin yang masih berjuang mempertahankan kesadaran dirinya. Aliran darah yang menghiasi tengkuk pria itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tanpa sadar, tangannya telah bergerak mengusap pipi milik Jaemin.
“Kau cantik.”
Jaemin menggeleng. “Menjauh.”
“Na Jaemin.”
Dua netra bertemu memaknai setiap detik yang berdenting. Polos dan iba.
Jaemin menahan napas sebelum menguatkan diri untuk mengangkat salah satu tangannya untuk menggenggam tangan sang pelaku yang masih bermain dengan pipinya. Dari lengan, tangan itu bergerak mendekati jari lalu menautkannya.“Kak Irene.”
Irene hanya tersenyum.
“Kau cantik untuk mati hari ini. Aku suka.”
Jaemin bisa rasakan tremor memenuhi seluruh tubuhnya kala Irene bangkit dan mengeluarkan sesuatu dari balik mantel yang ia kenakkan. Hitam legam dengan ukiran bunga mawar yang indah. Pistol Keluarga Bae. Ketakutan lantas mencegah pikiran Jaemin untuk berpikir jernih, juga napas yang tertahan bak tercekik atas moncong senjata yang mengarah pada dadanya. Tanpa sadar pria itu menangis.
“Bagus. Aku senang kau menangis. Renjun pasti tidak akan memaafkanku.”
Jaemin menjadi lebih histeris saat Irene menarik pelatuknya.
“Kak Irene-”
DOR!
Semuanya berlangsung dengan cepat. Peluru membelah udara dengan telak lalu berakhir tertanam di dalam dada Jaemin. Tersentak, pria itu seketika memuntahkan darah dan terdorong akibat tekanan hingga kembali terbentur dinding. Luka yang tercipta lantas menciptakan pemandangan darah yang merembes turun, terserap oleh setiap benang lugu yang membalut tubuh milik Jaemin. Bersamaan dengan tatapannya yang melemah, bibir pucat Jaemin menjadi sangat kontras di antara bercak - bercak merah.