"Teruntuk kamu; terimakasih sudah memilih pergi, dibandingkan tetap tinggal dengan setengah hati. "
[] [] []
Apa yang terlintas di kepalamu tentang 31 Desember?
Pergantian tahun? Kembang api? Terompet? Libur panjang? Ah, semua yang kau sebutkan itu benar, meski aku sendiri tidak pernah benar-benar merayakan malam pergantian tahun. Tahun baru sering kulewatkan begitu saja. Bagiku, 31 Desember tak ada bedanya dengan 364 hari lainnya.
Aku melangkah masuk ke dalam kafe di perempatan jalan dekat universitas. Kudapati hanya segelintir orang yang ada di sini. Jauh lebih sedikit dibandingkan penampakan kafe yang biasanya selalu penuh setiap harinya. Tidak ada yang mengherankan, semua orang sepertinya memilih pergi ke taman kota untuk melihat parade tahun baru. Semua orang, kecuali aku.
Kutinggalkan lantai dasar kafe, sesaat setelah matcha latte yang kupesan diberikan oleh pramusaji. Rooftop kafe menjadi tujuan utamaku. Tempat terbaik untuk menyelesaikan revisi novel yang sedang kukerjakan.
Menjejakkan kaki di sini, langkahku langsung disambut oleh angin dingin yang berhembus. Kurapatkan long sweater ke tubuhku, cukup untuk menangkal udara malam yang mungkin dapat membuat tanganku gemetar.
Berbeda dari biasanya, rooftop kafe malam ini juga tak begitu ramai. Beberapa meja terlihat tak berpenghuni. Lagi, acara tahun baru mengalihkan dunia orang-orang.
Langkahku terhenti, bersamaan dengan mataku yang tak sengaja menemukan seseorang tengah berdiri sendirian di dinding pembatas sebelah barat. Seseorang dengan jaket parka abu-abu yang sedang sibuk dengan kamera di tangannya. Seseorang yang sudah lama tak kujumpai lagi sosoknya.
Setelah menimbang sejenak, aku memutuskan untuk menghampirinya dan melupakan tujuanku sebelumnya. Revisi masih bisa menunggu, sedang rindu yang kupendam harus dituntaskan. Ada perasaan yang harus kupertanyakan.
Kuletakkan laptop di salah satu meja terdekat, dengan segelas matcha latte di tangan, aku melangkah ke arahnya. Berdiri di sampingnya, mengabaikan angin yang berhembus kencang dan membuat rambutku terbang ke segala arah.
"Hai." Berdiri dengan kaki yang gemetar, aku mendengar sebuah suara dari mulutku. Menyapanya.
Laki-laki itu menoleh, memicing sesaat setelah menemukan aku berdiri di sebelahnya. Seolah keberadaanku di sini tidak sesuai dengan harapannya. Seolah aku adalah sesuatu yang asing baginya ....
"Ada apa?" tanyanya sambil tetap terfokus pada kamera di depannya.
Suaranya yang tenang, membuatku sadar bahwa segala sesuatunya sudah sangat berbeda. Bahwa hanya aku yang masih berpikir kalau semuanya belum berakhir.
"Apa sekarang untuk menyapamu aku harus memberi alasan? Apa rindu saja belum cukup?" ucapku. Hanya mampu kusuarakan dalam hati.
Diam-diam aku sibuk merutuki diri. Setelah lama tidak bertemu, sebenarnya apa yang aku harapkan darinya? Apa yang membawa langkahku ke sini? Kata seharusnya mulai berhamburan di dalam kepala.
Seharusnya aku tidak menyapanya.
Seharusnya aku terus menulis saja.
Seharusnya aku tidak bertemu dengannya.
Seharusnya aku tidak datang ke sini.
Seharusnya ....
Sadar bahwa aku sudah terlalu lama diam, sambil menggeleng kuucapkan satu kata yang sama sekali tak mewakili perasaanku. "Tidak ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Percakapan Malam Itu
ContoPercakapan malam itu masih kusimpan, Yovan. Persis seperti kamu yang tetap nyata dalam sebentuk kenangan. -Zoe. . . . A short story by @putriraissa