kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?

959 211 83
                                    

Umurku baru menginjak sembilan tahun, dan entah kenapa semua orang gede selalu bertanya padaku tentang kalau sudah besar aku mau jadi apa. Pertanyaan itu terus bermunculan. Ditanyakan bergiliran oleh Ayah, Bunda, Opa, Oma, Om, Tante, bahkan Guruku menanyakannya!

*

Saat itu, di dalam kelas, Ibu Guru bertanya kepada murid-murid tentang cita-cita apa yang akan akan kita capai saat sudah besar. Teman-temanku ada yang ingin jadi dokter, aktor, pembalap mobil bahkan ada yang berkata ingin membuat robot buat melawan orang jahat! Aku bilang, aku nggak tahu apa cita-citaku, karena aku bingung ingin menjadi apa jikalau besar nanti. Lalu Ibu Guru memberi kita peer, membuat cerita tentang besar nanti ingin jadi apa. Aku mengangguk-angguk saja, paling nanti malam baru aku kerjakan.

Sepulang sekolah, aku tidak langsung mengerjakannya, aku ganti baju lalu main bersama teman-teman. Kita bisa main apa saja, kadang terpikir secara tiba-tiba. Seperti kelereng, bola sendal, bola gebok, gerobak sodor, sampai polisi maling. Biasanya kalau aku dan teman-temanku bermain polisi maling, kita semua nyeker, karena lebih enak kalau kaki nyeker diajak lari. Soalnya kadang kalau lari pakai sandal, sandalnya suka putus, daripada dimarahin Bunda kenapa sandalnya bisa putus, jadi lebih baik nyeker. Aku biasa bermain hingga sore hari, waktu adzan berkumandang baru pulang, dengan kondisi tubuh sudah berkeringat dan sudah pasti dekil.

"Bundaaa! Iyo udah selesai main!" teriakku sambil melempar sendal ke teras secara asal, lalu masuk ke dalam rumah dengan berlari. Sebenarnya namaku Dio, cuma aku suka dipanggil Iyo.

"Kamu langsung mandi, ya! Jangan naik ke kasur! Kaki kamu pasti kotor habis main."

"Iya, Buuuun!"

*

Sekarang jam delapan malam. Berarti saatnya duduk di meja belajar dan bikin peer. Aku agak bingung sebenarnya, karena aku betul-betul nggak tahu mau jadi apa kalau sudah besar. Aku ingin sekali menulis kalau aku mau jadi pawer renjer karena suka main pawer renjer-pawer renjer-an sama temen-temen pake helem dan sapu ijuk nenek. Aku juga mau jadi jagoan kayak kura-kura ninja. Oh, iya, kura-kura ninja itu katak apa kodok, ya? Kata temen, sih, kodok, tapi kok menurutku katak, ya?

Pas aku lagi mikirin itu, tiba-tiba pintu kamar ke buka, terus tahu-tahu Ayah masuk, terus duduk di kasur samping meja belajar sambil nanya, "Lagi ngerjain apa, Yo? Kok, belum tidur."

"Ini, Yah, tugas," kataku, lalu aku pun bertanya, "Ayah, dulu cita-citanya Ayah apa?"

"Hmm ... kenapa nanya gitu? Kemarin pas ditanya sama Ayah sama Bunda kamu bilang nggak tahu," jawab Ayah.

"Itu beda, Yaaah. Sekarang Iyo ada peer dari Ibu Guru," kataku, "Disuruh tulis kalau udah besar aku mau jadi apa."

"Ya, kamu maunya jadi apa?"

"Kira-kira, kerenan jadi pawer renjer apa kura-kura ninja, ya, Yah?"

Tapi Ayah malah ketawa, nggak tahu deh apa yang lucu. "Kok, ketawa, Yah?"

"Kenapa gitu kamu kepikiran jadi itu?" tanya Ayah.

"Soalnya keren aja, Yah! Mereka jago gebuk-gebukan!" jawabku, "Nanti aku mau kayak gitu, Yah, jadi jagoan."

"Nggak mau jadi yang lain gitu? Misalnya jadi Dokter? Atau Polisi?"

"Emang nggak boleh, ya, jadi pawer renjer sama kura-kura ninja?"

"Bukan nggak boleh, tapi nggak cocok sama kamu."

"Kenapa nggak cocoknya, Yah?"

"Power ranger sama kura-kura ninja itu khusus untuk orang gede," jawab Ayah. "Sementara Iyo, kan, masih kecil, masih harus belajar, jangan mikir jadi jagoan dulu."

"Oooh." Lalu mataku pun melihat-lihat tembok kamar. Kamarku ditempeli banyak gambar-gambar. Ada pesawar, roket, sampai balon terbang. Terus juga ada bangunan-bangunan dari seluruh dunia yang nggak aku hafal nama-namanya. Tapi aku inget satu menara yang mirip menara sutet itu letaknya di Paris. Dan tiba-tiba aku dapat ide!

"Aku mau jalan-jalan ke tempat-tempat itu, Yah!" kataku sambil menunjuk gambar-gambar yang menempel di tembok.

"Jalan-jalan? Menjelajah maksud kamu?"

"Iya! Aku mau jadi Penjelajah! Biar kayak Si Bolang!"

"Wah, bagus, tuh," kata Ayah. "Tapi ingat, ya, kalau kamu sudah menjelajahi semua tempat di seluruh dunia, jangan lupa pulang," kata Ayah.

"Kenapa gitu, Yah? Kalau aku nemu rumah yang lebih bagus pas aku keliling dunia gimana?"

"Ya, nggak boleh dong. Kamu nggak boleh lupa sama Ayah sama Bunda," kata Ayah. "Karena nggak masalah kamu melakukan perjalanan keliling dunia, rumah tetap menjadi tempat di mana kamu selalu ingin pulang. Rumah bukan rumah tanpa keluarga. Rumah juga bukan rumah tanpa Ayah dan Bunda."

"Bisa gitu, ya, Yah?"

"Iya. Karena rumah dan keluarga adalah titik awal kita, tetapi juga selalu menjadi tujuan akhir kita."

"Oooh gitu," kataku, "Tapi kalau aku gagal jadi penjelajah gimana, Yah? Kan, katanya masa depan nggak ada yang tahu."

"Alasan mengapa kita takut akan masa depan sebenarnya karena kita takut gagal," jawab Ayah, mengacak-acak rambutku. "Semuanya membutuhkan keberanian untuk hasil yang baik. Paham?"

"Paham, Yaaah!"

Dan tiba-tiba Ayah mengambil bingkai berisi fotoku dan juga spidol berwarna silver dari meja belajar. Itu fotoku saat aku baru pertama kali masuk sekolah. Lalu tiba-tiba Ayah menggambar sepasang sayap di pungguung fotoku.

"Kok, digambar sayap, Yah?"

"Iya, digambar sayap dengan harapan mimpi-mimpi dan cita-cita kamu bisa terbang setinggiiii mungkin. Jadi, jangan pernah menyerah, oke?"

"Siap, Yaaah!"

Aku pun buru-buru menulis di buku peer kalau aku ingin sekali menjadi Penjelajah! Menjelajahi banyak tempat di seluruh dunia! Tapi juga jangan pernah lupa pulang buat ketemu Ayah sama Bunda! Yeaaay!

Jadi ... kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?


***

untuk huang renjun dan perkataan baiknya, terima kasih!
untuk diri sendiri, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?

- Birgie

23-03-2020

Kalau Sudah Besar, Kamu Mau Jadi Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang