Part 1

7 0 0
                                    

Awan hitam membumbung tinggi di atas langit. Pertanda akan turun hujan. Angin berhembus kencang menerpa tubuhku.
Disinilah Aku berdiri..
Dengan kebahagiaan dan hanya tawa yang tersaji di dalam rumah ini. Namun hanya terlihat diluar saja melainkan didalam hatiku hanya lah kekosongan belaka.
Kehidupan ku mulai hancur..
Perlahan hati ini mengeras bagaikan batu karang yang tidak pernah tersentuh air.
Menghadirkan begitu banyak luka dan penyesalan yang aku rasakan di dalam hati ini.
Dulu sebelum peristiwa-peristiwa itu terjadi. Bahkan peristiwa-peristiwa itu bukan aku pelaku nya tapi kini malah aku yang di salahkan.
Mata ini hanya selalu menangkap kebencian dari orang-orang di sekitarku. Dalam diriku hanya terngiang-ngiang akan cacian dan hinaan dari mulut mereka, yang selalu menyebutku gadis pembawa sial. Aku hanya menyakini bahwa semesta hanya tengah bermain dengan ku walau begitu sering kali aku terjatuh lengkap dengan derai air mata yang pilu.
     Gadis cantik yang selalu berwajah teduh dan bagi yang melihatnya pasti merasa adem, tapi kini dia terlihat sendu karena selalu terngiang-ngiang kata-kata orang-orang yang di sekitarnya yang selalu mencaci dan menghinanya dengan sebutan gadis pembawa sial.
"Keinginanku untuk mengakhiri hidup atau kata kasarnya ya bunuh diri sering berputar bak kaset rusak di kepala ku, yang terus menghantui pikiran dan akal sehat ku. Namun aku beruntung hidup di keluarga yang harmonis dan selalu mendukung ku ketika aku terjatuh. Jika tidak mungkin aku sekarang hanya tinggal nama dan orang-orang yang mencaci dan menghinaku pasti tertawa bahagia."
      Takdir memang belum memihak kepada kisah cintaku. Kisah cinta yang baru saja di mulai di titik start, namun diawal itu juga harus menjadi akhir dari segalanya. Bukan ini bukan salah takdir, tapi semua ini sudah menjadi garis takdir ku saat ini.
"Kamu itu pembawa sial!! Lebih baik kamu pergi yang jauh dari sini daripada semua pemuda di sini mati mendadak gara-gara menikahi kamu."

     “Apakah salah ku, kenapa kalian semua sangat membenciku, bukan aku yang memilih takdir seperti ini, tapi aku hanya menjalani apa yang sudah menjadi ketentuan sang Maha Kuasa.” Cericitnya di dalam hati.
       Gadis yang tidak pernah memilih ingin memiliki takdir dan hidup seperti apa. Clarisya Chandra Winata putri seorang Ustadz dan pendiri pondok pesantren Nurul Iman di kawasan kota Santri. Dia menjalani hidupnya dengan selalu tawadu’ dan berprasangka baik kepada Allah. Tuhan yang Maha Segalanya. Sejak kecil gadis yang akrab disapa Risya itu sudah diajarkan dan ditanamkan tentang nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan  dalam hatinya.
“Ini semua terjadi gara-gara kamu!” Perempuan paruh baya itu menangis histeris menuding seorang gadis yang juga tengah menangis di depan jenazah yang terbujur kaku terbungkus kain putih. Isakan demi isakan menggema memenuhi setiap ruangan. Para pelayat pun seolah ikut larut dalam kesedihan dan meratapi seorang gadis malang yang di setiap hari pelaksanaan pernikahannya pasti mempelai pria nya meninggal dunia.
Perempuan paruh baya itu pun kembali menuding kearah gadis  itu..
“Kalau saja Hamzah mendengarkan kata-kataku, untuk tidak berhubungan dengan mu gadis pembawa sial seperti mu! Yang di setiap kau ingin menikah pasti mempelai laki-lakinya meninggal di hari itu juga, sama seperti hal nya putra ku sekarang. Pergi kau gadis pembawa sial!!!” Ucapnya sambil mengguncangkan bahu gadis itu dengan kasar. Sementara gadis itu hanya bisa terdiam dengan air mata yang terus mengalir di kedua sudut mata nya.
“Bu, sudahlah. Jangan menyalahkan seperti itu. Ini semua sudah takdir dari Yang Kuasa.” Laki-laki paruh baya yang berada tepat di sebelah perempuan itu mencba menenangkannya.
“Apanya yang takdir Pak..!! Gadis ini telah dikutuk.. Semua laki-laki yang ingin menikah dengannya pasti tiada pak sama anak kita juga menjadi korbannya. Atau mungkin juga dia ini mempunyai susuk yang membuat dia selalu cantik dan semua pria yang mendekatinya akan menjadi tumbal pak..!!” Ucapnya sambil mengacungkan telunjuknya kepada gadis yang menangis di dalam pelukan ibunya.
“Bu..! Ibu Aida jaga ya ucapan ibu putri saya bukan seperti itu. Semua ini terjadi karena takdir bu.!” Ucap umi Via dengan geram mendengar calon besannya merendahkan putrinya.
“Alah. Okay mungkin takdir ya Ummi.. tapi kalau takdir kenapa di setiap hari pernikahan putri anda pasti mempelai pria nya selalu meninggal.!! Jawab Ummi, diem kan umi karena umi nggak bisa jawab mungkin itu benar iya kan ummi..! Sudahlah pergi kalian dari sini! Jangan sekali-kali kamu menampakkan wajah gadis ini di hadapan kami lagi. Dasar gadis pembawa sial. Semoga saja setelah ini tidak ada lagi pemuda yang menjadi korban kesialanmu. Aku sumpahi kau, tak aka nada lagi laki-laki yang meminang mu untuk menjadikanmu istri. Cukup anak ku yang menjadi korban terakhir dari kesialanmu!!!”
Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan air mata yang terus mengalir dan perasaan bersalah yang mendalam. Mendengar sumpah serapah yang di ucapkan  perempuan paruh baya itu. Dan membuatnya teringat akan peristiwa-peristiwa yang membuat nya patah semangat selama ini tapi semangat itu bangkit kembali ketika dia bertemu Hamzah, tapi kini semangat yang bangkit kini telah hilang untuk selamanya.
Segala apa yang terjadi di dalam dunia yang fana ini tidak terlepas dari ketentuan Sang Khalik, semua sudah tertulis jelas di Lauhul Mahfudz. Umur, rejeki dan jodoh. Semua sudah tertulis jelas ketika kau masih di dalam kandungan ibumu.
****
Clarisya duduk termenung di pendopo sambil mengingat peristiwa-peristiwa yang menimpanya selama 2 tahun belakangan ini. Memori peristiwa-peristiwa itu kembali berputar bagai kaset rusak yang terus-menerus terekam dalam pikirannya. Angannya melayang pada awal pertemuannya dengan almarhum Alvian, calon suami yang pertama meninggalkannya selamanya.
“Sendirian aja dek??” Tanya pemuda tampan yang tengah mengendarai motornya dengan pelan mengimbangi jalan seorang gadis cantik.
“Eh.. Mas Alvian. Iya Mas, ini ummi nyuruh Risya ke supermarket, beli buat keperluan di café sudah abis Mas.” Sahut gadis itu tersenyum tipis.
Lelaki yang memanggilnya dengan sebutan ‘dek’ itu masih mensejajari  langkah Clarisya.
“Kok jalan kaki, biar aku anterin kamu ke supermarket ya Dek.” Tawar Alvian kepada Clarisya.
Clarisya menggeleng, merasa tidak enak dengan tawaran Alvian pada nya. “Nggak usah Mas, biar aku naik ojek saja. Lagi pula di depan sana kan pangkalan ojek Mas. Nanti  malah merepotkan Mas Alvian.” Tolaknya halus.
“Nggak ngerepotin kok Dek, lagian kamu belanja buat keperluan café. Kan mamanya Mas sama ummi Via berkerja sama dalam mengelola café Dek. Jadi nggak ada salahnya kan kalo aku bantuin kamu.” Kekeh Alvian tak menyerah.
“Tapi.. Mas Risya..”
“Udah ayo naik. Nggak boleh nolak bantuan lho Dek.”
Clarisya  tersenyum getir. Rentetan memori yang awal dari peristiwa yang membuatnya kehilangan segalanya. Sesak ikut meraungi hatinya saat nama-nama orang yang telah meninggalkannya, seperti Alvian, Chiko dan Hamzah terlintas di pikirannyadan membuat telaga di pelupuk matanya, siap mengaliri kedua pipinya.
“Sayang…  Ayo masuk ini sudah senja lho.. Tidak baik kalo anak gadis belum masuk ke dalam rumah.” Kata ummi membuyarkan lamunanku.
“Iya sebentar lagi aku masuk kok ummi..” Kataku dengan nada bergetar.
“Sayang kamu masih  memikirkan itu lagi.. Sayang ikhlaskan mereka, mungkin mereka belum jodoh kamu sayang..” ucap ummi menenangkan aku.
“Harus gimana lagi ummi, aku merasa bersalah. Di setiap mereka ingin menikahiku pasti..” kataku gamang
“Kamu nggak usah nyalahin diri sendiri, ini semua terjadi karena sudah takdirnya sayang.. Ya sudah ayo masuk bantu ummi masak buat makan malam.”
“Iya ummi..”
Gadis itu pun bergegas masuk ke dapur dan langsung membantu ibunya.
“Ummi hari ini kita masak apa,??” Kataku langsung bertanya sama ummi
“Terserah kamu saja”
“Emm.. Gimana kalau kita masak capcai aja, kan hari ini bang Raffa datang kan ummi?” Ucap ku sambil mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas.
“Iya sayang, tadi abang mu nelpon katanya sebentar lagi sampai..”
“Benarkah ummi kalau begitu, aku akan segera menyelesaikannya.” Kata ku dengan senangnya.
Ya hanya memasak lah hal yang membuat gadis itu lupa akan semua masalahnya. Walaupun hanya sebentar tapi kegiatan itu membuatnya bahagia bukan hanya itu saja abangnya lah yang selalu bisa membuat nya melupakan semuanya, walaupun itu hanya sementara tapi itu bisa membuat nya melepaskan beban di pundak nya.
“Assalamu’alaikum.. Ummi.. Abi. Tok ..tok..tok” Raffa datang dengan semangatnya dia mengetuk pintu dan menunggu orang rumah membukakan pintu.
“Wa’alaikumsalam.. Masuk sayang abi sama ummi sudah lama menunggu mu.” Kata abi sambil membuka pintu lebar-lebar menyambut anak tertuanya.
“Oh iya abi gimana keadaan Sya. Maaf ya abi minggu kemarin aku tidak datang soalnya kemarin aku ada rapat penting abi.. Maaf ya Abi.”
“Iya begitulah seperti 2 tahun yang lalu, cobalah nak buat adikmu itu seperti yang dulu.”
“Iya abi akan ku coba, sekarang dimana dia..”
“Di dapur sama Ummi..”
“Ya sudah abi kita ke dapur yuk..”
“Kamu saja sana abi masih ada kerjaan.”
Raffa pun bergegas masuk ke dapur untuk menemui ummi dan adik kesayangannya.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam.. Bang Raffa..” kata ku refleks aku langsung  memeluk bang Raffa.
“Emmm.. Ya ampun kalau abang nya datang ummi di lupakan..”
“Hehehe.. Maaf ummi..” kata Clarisya sambil tersenyum
“Kamu masak apa dek, wangi banget aromanya abang jadi laper nih.”
“Masak capcai bang, kalo abang laper nanti kita makan. Tapi abangnya mandi dulu, bau tau. Oh iya panggil abi sekalian  ya bilang kalo makan malam udah siap.” Kataku sumbringah.
“Waah.. enak tuh. Iya deh abang mandi, tapi jangan di habisin capcai nya atau jangan makan dulu sebelum abang selesai mandi ya..”
“Iyaaa… Pasti”
“Aduh.. Risya jangan teriak-teriak berisik, kok anak gadis teriak-teriak nggak ada lembutnya..”
“Eehh.. Abi sudah ada di sini aja, baru aja Raffa tadi mau panggil. Iya nih kebiasaan banget, emangnya abang kamu ini tuli ya.. pake teriak-teriak..”
“Hehehe.. maaf Bi..” Clarisya salah tingkah sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal “Iya maaf bang.. piss” Sambil mengacungkan dua jari.
“Udah sana kamu mandi.. kenapa juga masih di sini.”
“Iya Abi..”
Malam itu suasana di dalam rumah yang sederhana namun elegan itu sangat bahagia atas kedatangan putra tertua di keluarga itu yang bisa merubah suasana hati penghuni rumah itu salah satunya. Clarisya gara-gara abangnya yang datang pikiran-pikiran nya yang kalut seakan-akan sudah menguap dari permukaan hatinya walaupun diluar dia terlihat baik-baik saja tapi bila dia sendirian jauh dari atas baik-baik saja. Gadis itu sangat lihai dalam menyembunyikan lukanya tapi bisa di lihat dari mata nya yang selalu sendu.

Jalan Menuju Cinta Sang PenciptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang