By : Rahayu Melika Utari
Dialog seputar kesehatan mental kini menjadi topik hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Mulai dari kalangan muda, dewasa, bahkan lansia. Pemerintah juga ikut andil dengan kegiatan-kegiatan yang diberi tema ‘Revolusi Mental’, dengan tujuan tak lain untuk menghidupkan bangsa yang tidak hanya sehat dari segi fisik, tapi juga dari segi psikis. Apalagi menimbang zaman yang semakin modern, dimana segala hal menjadi lebih kompleks, termasuk persoalan-persoalan yang makin beragam yang tak jarang membuat masyarakat tertekan.
Terutama semenjak penayangan film ‘Joker’ di Tanah Air. Film yang mengisahkan perjalanan hidup sosok musuh alami Batman. Film itu menjadi topik yang menarik dipebincangkan masyarakat hingga saat ini karena plot yang apik dan pemeranan yang memukau mata penonton. Semenjak film itu ditanyangkan, perbincangan seputar kesehatan mental semakin menjamur di seluruh kalangan bumi pertiwi. Masyarakat juga semakin peduli mengenai kesehatan mental. Dan itu adalah dampak yang bagus.
Tapi kepedulian itu juga sejalan dengan makin maraknya tren ‘Self Diagnosa’ di masyarakat. Orang-orang mulai suka mendiagnosa dirinya mengalami penyakit atau gangguan mental. Dan pikiran mereka diperkuat setelah membaca literatur dan melihat tontonan yang bisa jadi memiliki persoalan yang sebelas-dua belas dengan apa yang dialami olehnya. Pada dasarnya kita dilarang untuk mendiagnosa diri sendiri, atau orang lain, terlebih jika kita bukan tenaga medis yang tak memiliki sertifikasi untuk mendiagnosa gejala-gejala yang ada pada tubuh kita.
Apa sih itu Self Diagnosa?
Self Diagnosa adalah proses menilai, dan mendiagnosa kondisi yang ada pada diri sendiri tanpaadanya campur tangan pendiagnosa dari tenaga medis. Keyakinan diri bahwa dirinya mengalami gangguan mental apalagi tanpa adanya klarifikasi oleh tenaga yang tersertifikasi adalah tindakan gegabah dan berbahaya. Tapi orang-orang menganggap hal ini sebagai hal sepele. ‘Kan Cuma perkiraan’.
Resiko Kesalahan Diagnosa (Misdiagnosis)
Yang paling utama adalah kesalahan diagnosa. Ingat! Bukan berarti memiliki gejala yang sama, juga memiliki kesamaan penyakit. Bahkan dua orang dokter bisa memiliki dua diagnosa yang bertolak belakang dalam pasien yang sama. Bisa saja apa yang ia rasakan bukan merujuk kepada penyakit psikis, tapi efek-efek dari gejala yang bersifat fisik. Misalnya, ketika ‘A’ merasa lesu dan kurang bersemangat, selalu mudah lelah tanpa penyebab yang tak disadari. Dan dia berfikir bahwa ia mengalami depresi tanpa ada konfirmasi dengan dokter. Ditambah mendengar perkataan teman-temannya yang mendukung pikiran si ‘A’. Tapi ternyata, ia hanya mengalami kelelahan akibat terlalu sering kerja lembur. Dan yang ia butuhkan adalah istirahat teratur dan menjaga pola makan.
Resiko kesalahan penanganan
Kesalahan diagnosa bisa berlanjut kepada kesalahan penangan. Seperti yang kita bahas sebelumnya. Seseorang yang mencap dirinya depresi padahal ia hanya kurang tidur. Si A akan berlanjut untuk membeli obat-obat yang bisa saja obat-obat ilegal. Sudah lihat bahayanya? Dan hal yang perlu diperhatikan. Kita dilarang untuk meminum obat orang lain.
Bisa menjadi Sugesti yang membahayakan buat Tubuh
Penyakit memang tak ada yang tahu kapan datangnya. Dan penyebabnya memang karena virus, bakteri, dan perubahan iklim yang tak menentu. Tapi Self Diagnosa bisa menjadi salah satu penyebab timbulnya penyakit. Self Diagnosa bisa menjadi sugesti. Dan seperti yang sudah diteliti oleh para ahli, apa yang dipikirkan oleh otak terhadap diri memiliki dampak besar terhadap tubuh. Seperti yang dikatakan Dr. Yusi Capriyanti, “Sugesti ini bisa menimbulkan penyakit/gejala yang tidak nyaman pada tubuh. Hal itu biasa disebut sebagai Psikosematis.
Self Diagnosa yang menjadi Tren Kekinian
Belakangan ini, tindakan yang suka men-judge diri sendiri sebagai penderita penyakit kejiwaan seolah menjadi tren di masyarakat. Dan saya sendiripun melihat fenomena-fenomena yang tampaknya makin marak itu. Banyak orang yang mengakui diri sebagai pengidap depresi, bipolar, bahkan sampai psikopat tanpa konsultasi terlebih dahulu kepada dokter yang bertanggung jawab pada bidangnya. Biasanya kebanyakandari mereka terpengaruh oleh novel, atau film. Ada tokoh yang mereka idolakan di dalam sana, dan sadar tak sadar mereka menjadikan mereka sebagai ‘role model’ mereka karena rasa takjub dan merasa hal itu ‘keren’.
Dan perlu diperhatikan, bukan berarti kawan kita yang memang memiliki riwayat penyakit kejiwaan bisa mendiagnosa kita. Ingat! Hanya Dokter yang boleh mendiagnosa pasien, itu pun sesuai spesialisasinya. Seorang ahli pun butuh waktu dan tahapan-tahapan tertentu untuk bisa mendiagnosa pasien. Karena Diagnosa bukan hal yang sepele dan mudah. Butuh kehalian khusus dari orang-orang yang sudah terstandar.
Sebisa mungkin kita menghindari untuk mendiagnosa diri sendiri. Jika merasa ada yang tak beres dengan kondisi tubuh kita, akan lebih baik untuk langsung menemui dokter langsung, agar bisa mendapat diagnosa dan penanganan yang lebih akurat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Self Diagnose
Não FicçãoIni artikel mengenai tren self diagnosa yang lagi hits. Banyak disekitar kita, atau kita sendiri, mencap diri kita mengidap Bipolar, axiety, atau bahkan Psikopat tanpa ada konsultasi dulu sama ahlinya... Lelucon yang berbahaya, kan?