Seorang wanita berpenampilan rapi. Memakai kemeja berwarna tosca serta celana panjang berbahan jeans sedang berdiri menatap cermin. Wajahnya terlihat sendu, berkali-kali matanya berkedip, mengadah ke atas. Sayang, jika polesan bedak dan maskara luntur terkena cairan bening itu.
"May, tamunya sudah datang," ucap wanita paru baya membuka pintu lalu masuk ke kamar, "Jangan buat mama dan Papa kecewa, May." Ia mengelus kedua lengan wanita itu. "Yuk, kita keluar!" katanya lagi.
"Mama, duluan aja dulu, nanti maya menyusul," pinta Maya sembari tersenyum, "mau beresin riasan sebentar."
Wanita itu bernama Maya Lestari, usianya 22 tahun. Ia bekerja di perusahaan jasa pelayaran daerah Jakarta. Sekarang ini, ia sedang merasakan apa yang dirasa oleh Siti Nurbaya, dijodohkan dengan pilihan orang tuanya.
Seminggu yang lalu, orang tua Maya sedang serius berbicara. Entah apa yang dibicarakan tetapi samar terdengar tentang pernikahan. Ia pun tidak terlalu menanggapi. Namun, ternyata yang mereka bahas adalah pernikahan dirinya.
Kata mereka 'pilihan yang terbaik adalah menerima perjodohan ini'. Mungkin karena calonnya berasal dari teman Sang Ayah. Namanya Prawira.
Maya tidak habis pikir di zaman yang semoderen ini masih ada yang namanya perjodohan. Sebenarnya ia tidak ingin ini diteruskan tetapi tidak ada alasan yang kuat untuk menolaknya karena sebulan yang lalu kisah percintaan Maya telah usai.
Maya menarik napas panjang membuangnya perlahan lalu keluar dari kamar, berjalan menuju ruang tamu. Di sana terlihat kedua orang tuanya, sepasang paru baya, dan satu orang lagi, mungkin itu yang bernama Prawira sedang bercengkrama. Ia mendekat-memasang sebuah senyuman.
"Wah ... ini 'nak Maya, ya? ternyata sudah besar ... cantik lagi," kata wanita paru baya yang diyakini Ibu dari Prawira.
Maya tersenyum-duduk di samping Ibunya. Raut wajah berubah total saat tadi sekilas menatap seseorang duduk di pojok sana. Ia berpikir, bagaimana bisa orang tuanya memilih calon yang berpenampilan seperti anak kuliahan? Bisa-bisa ia akan diejek oleh teman sekantornya karena calonnya berondong.
"Kerjanya bagian apa, 'nak Maya?" tanya Ibunya Prawira
"Bagian Keuangan, Bu," jawab Maya tersenyum.
"Jangan panggil ibu, Nak. Panggil aja 'bunda'. Bisa?" Maya mengangguk, menirukan panggilan calon mertuanya.
"Kalau om, panggil aja 'ayah', okey!" Lagi-lagi Maya mengangguk lalu mengikuti. Canggung dan gugup yang dirasa oleh Maya. Mereka tertawa saat mendengar suara Maya yang terbata-bata, tidak kecuali si Prawira.
"Makan malamnya sudah siap, Nyonya, Tuan." Suara Mbok Win mengalihkan pandangan mereka semua.
Orang tua Maya dan calon mertuanya beranjak menuju dapur, meninggalkan Maya dan Prawira yang fokus pada ponselnya. Tidak lama kemudian ponsel itu berbunyi.
"Hallo, Sayang," ucap Pria itu.
Bibir Maya ternganga saat mendengar panggilannya. Sayang? Bagaimana bisa yang seperti ini dijadikan calon suami. Maya menggeleng tidak percaya ini nyata.
"Ra, ayo makan!" ajak Maya.
"Iya, duluan aja. Pacar aku telpon," jawab Prawira dengan santai berlalu meninggalkan Maya.
Alis Maya terangkat sebelah merasa heran. "Dia mau menikah tetapi masih punya kekasih, Bagaimana nasip pernikahan ini?" tanya Maya di dalam hati.
🌷🌷🌷
Waktu menunjukkan pukul 5.00 WIB. Maya terbiasa bangun pagi untuk mempersiapkan segala sesuatu dari aktivitas sibuknya. Setelah solat subuh, ia membersihkan diri. Biasanya di kamar mandi Maya memerlukan waktu paling cepat setengah jam.