Bocah Halte Bus

108 9 2
                                    

Dengan langkah gontai Asya menyusuri jalan menuju halte bus ke arah rumahnya.
Sore itu, angin kencang menyibak rambut indahnya, Asya tahu betul ini pertanda akan hujan.
"Aku harus sampai di halte secepat mungkin. Atau aku harus mandi hujan lagi," pikirnya.
Asya mempercepat langkah kakinya, "rasanya lelah seusai pulang sekolah harus les,"
keluhnya. Tapi kali ini dia harus semangat ada seseorang yang sudah menunggu
kedatangannya, tak boleh terlihat sedikitpun oleh bocah kecil itu betapa lelahnya dia. Ia
sudah membayangkan wajah kecil polos itu tersenyum hangat padanya. "Kak Aca datang
lagi?" suara itu selalu terngiang di telinganya.

Tapi sore ini kenapa halte tempat ia menunggu bus dipenuhi keramaian masa. "Apakah
yang tejadi? Apa terjadi kecelakaan di sana? Tapi kenapa tidak ada kendaraan apapun di
sana? Mungkinkah tabrak lari? Apakah mungkin bocah itu?" ujarnya dalam hati. Asya
berlari sekuat tenaga menghampiri keramaian itu. Matanya terbelalak melihat seorang bocah
kecil bersimbah darah di hadapannya.
"Rayhan...?" pekiknya tak percaya.
"Ray, kamu kenapa? Bangun Ray!" teriaknya semakin histeris.
"Bawa ke rumah sakit aja Neng, biar Bapak cari taksi," ujar laki-laki paruh baya
padanya.
"Kenapa nggak dari tadi, Pak?" umpatnya kesal.
Begitulah orang-orang, mereka terlalu takut untuk membantu korban tabrak lari,
mereka terlalu takut merusak TKP, sebagian lagi takut menjadi saksi jika Polisi datang, dan
lebih parahnya lagi mereka hanya mengabadikannya untuk diposting media sosial mereka. Tapi Asya
tak peduli dengan semua itu, yang terpenting adalah nyawa manusia.
"Neng taksinya sudah sampai, biar Bapak bantu angkat."
"Buruan Pak, jangan sampai terjadi hal yang lebih buruk lagi."
Dari segitu banyak manusia yang ada di sini kenapa hanya mereka yang peduli. Apakah
hati mereka sudah mati hingga tak ada sedikitpun rasa belas kasih? Ya, siapa yang akan
peduli pada anak jalanan yang muncul entah dari mana. Bagi Asya yang dididik dengan
kasih sayang dan perhatian yang cukup membuatnya selalu tersentuh, kenapa harus
memandang mereka rendah hanya karena mereka tak punya rumah? Toh, mereka tak
meminta-minta mereka masih berusaha dengan kemampuan mereka. Begitupun Rayhan
meski hanya menjadi penjual koran, setidaknya dia tak seperti anak lain yang mengemis
dengan mengharapkan rasa iba dari orang-orang. Rayhan berbeda, itulah yang ada
dipikirannya, meskipun hasilnya tak seberapa tapi dia berusaha.

Asya memang tak mengenal Rayhan begitu dekat, tapi dia selalu membeli koran yang
Rayhan jual. Meskipun koran itu tak pernah ia baca. Asya hanya membawa koran itu ke
rumah dan menaruhnya di meja kerja Papanya. Itupun kadang tak terbaca oleh Papanya, tapi
Asya selalu ingin membelinya, hanya untuk membantu Rayhan. Karena Rayhan tak pernah
mau menerima uang dari siapapun tanpa orang membeli koran miliknya. Itulah Rayhan bocah
kecil yang tak mau orang lain mengasihaninya. Meskipun dia tak memiliki ikatan darah
apapun dengan Rayhan tapi dia sangat menyayangi Rayhan seperti adik kandungnya sendiri.

Asya memang lahir dari keluarga yang sangat berkecukupan dan bahkan lebih. Tapi dia
adalah anak satu-satunya dari keluarga itu. Tumbuh dan besar di lingkungan seperti itu Asya
merasa kesepian, meskipun kasih sayang yang ia dapatkan cukup, tapi dia menginginkan
seorang adik setidaknya untuk teman bermain. Ia sudah sangat lama mendambakan sesosok
bocah kecil menghiasi rumahnya. Namun hal itu tak mungkin terwujud, beberapa tahun lalu
Mamanya menderita kanker ovarium dan rahimnya harus diangkat. Sejak saat itu Asya harus
mengubur impiannya dalam-dalam. Bukan hanya Asya, tapi Mamanyalah orang yang paling
terluka atas kejadian ini. Asya tak pernah mengungkit tentang keinginannya itu lagi pada
kedua orang tuanya.

Hari itu Asya pulang sekolah seperti biasanya, hanya saja kali ini jadwal lesnya kosong
jadi dia bisa pulang lebih awal ke rumah. Dia sangat bersemangat karena hari ini bisa
beristirahat lebih lama di rumah melepas penatnya dari minggu kemarin yang di penuhi oleh
jadwal les ini dan itulah. Baginya itu sangat melelahkan, tapi Asya lah yang meminta itu pada
orang tuanya.
"Sya, lo nggak bawa mobil lagi?" ujar Andin teman sekelasnya.
"Nggak Ndin. Males enakkan naik angkutan umum, bisa sosialisasi," jawabnya
cengengesan.
"Dasar, cuma lo aja kali anak orang kaya yang nggak bawa mobil ke sekolah."
"Lo cobain deh Ndin, sekali-kali aja gitu! Mana tau lo ketagihan kayak gue."
"Gue sih nggak mau ya, udah panas, sumpek, belom lagi bau keringat bapak-bapak
pulang kerja. Aduuh pasti asem banget," keluhnya.
"Lo cobain aja dulu!" ujar Asya tersenyum.
"Gue mah ogah. Biar lo maksa gue sampe semut sebesar gajah gue juga nggak bakal
mau Sya. Mobil di garasi lo buat apaan? Pajangan?"
"Gue bakal pake kalo butuh, tapi sekarang gue belom butuh, Andin."
"Yaudah gue duluan, lo juga nggak bakal mau gue tebengin."
"Sana gih duluan. Bosen gue liet muka lo mulu."
Andin berlalu tanpa mengatakan apapun. Asya terus berjalan, matanya teralihkan oleh
pemandangan di seberang jalan. Seorang anak laki-laki membawa segepok koran di tangan
kirinya, dan sebuah koran di tangan kanannya. Dia menawarkan koran-koran itu kepada
setiap orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Tapi tak ada yang mau melihatnya. Bajunya
terlihat lusuh, kaos putih itu terlihat sangat tipis, sementara angin berhembus sangat kencang.
"Apakah anak itu tidak kedinginan, sementara aku yang sudah memakai jaket setebal ini
masih merasakan tiupan angin." Asya sangat paham kalau bulan ini adalah bulan penghujan
dan hujan bisa turun kapan saja. Dia terus mengikuti anak itu kemanapun langkah kecil itu
berjalan, dia terus melihatnya, tapi tak ada seorangpun yang tertarik membeli koran yang
anak itu jajakan.
"Dik, sebelah sini," panggilnya dari seberang jalan.
Bocah itu berjalan ke arahnya. Kaki kecil itu terlihat kuat dan senyumannya tangguh.
Asya yakin usianya paling baru 8 tahun.
"Mau beli koran saya, Kak?" tanyanya polos.
"Kalo kakak beli koran kamu, uangnya buat apa?"
"Buat beli beras dan lauk kak."
"Orang tua kamu kemana?"
"Ibu lagi sakit Kak, dan ayah kerja serabutan."
"Kenapa bukan ayah kamu yang jualan koran?"
"Ayah udah cukup tua kak, lagian ini juga aku yang mau. Ayah dan ibu bahkan tidak
tahu aku berjualan koran," jawabnya. Di wajah lugu itu terlihat ketulusan yang amat dalam.
"Yaudah, kakak kasih kamu uang, kamu langsung balik ke rumah ya! Ini udah mau
hujan," pinta Asya tulus.
"Kakak nggak mau beli koran aku?"
"Kakak nggak baca koran sayang."
"Yaudah kalo kakak nggak beli korannya aku tawarin ke yang lain aja."
"Hei, tunggu. Nama kamu siapa?" tanya Asya.
"Rayhan."
"Sini balik dulu, kakak borong deh korannya. Kebetulan kakak punya uang lebih."
"Katanya kakak nggak baca koran."
"Tapi Papa kakak suka baca koran," Asya berbohong.
"Ini cuma edisi hari ini kak."
"Nggak papa, ntar kakak bagi-bagi di kompleks perumahan kakak deh."
"Kakak tinggal dimana?"
"Kompleks perumahan Griya Resident."
"Kompleksnya orang kaya ya, Kak?"

Bocah Halte BusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang