❤ANARA❤

8 1 0
                                    


Bukan sebuah kesalahan
Memilih untuk berhenti peduli
Dari pada terus tersakiti

Pkl 06.15
SMA Taruna jaya

Anara Lianakara
Gadis itu berdiri menatap gapura yang ada di hadapanya, tertulis SMA TARUNA JAYA, cahaya matahari menerpa lembut kepala gadis itu yang tertutup topi, kedua tangan nya tercekal menggenggam kedua tali tasnya yang tersampir di bahunya, setelah mendongak cukup lama dengan dahi berkerut, gadis itu melangkahkan kakinya, berjalan dengan penuh keyakinan, dan mencoba mengabaikan semua orang yang menatap nya.

Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, Anara berjalan di koridor mengikuti langakah kaki wanita setengah baya, yang biasa di panggil bu intan, yang notabenya wanita itu akan menjadi wali kelasnya, di kelas 11 IPA 4.

Dari luar kelas, kelas itu tampak tengah gaduh, dan setelah bu intan masuk, baru kegaduhan itu terdengar berkurang.

"Selamat pagi anak anak,..."

Tanpa menunggu jawaban dari anak muridnya, bu intan yang terkesan tegas itu langsung to the point.

"Kita kedatangan murid baru, ayo langsung saja perkenalkan diri.."

Anara masuk dan berdiri di depan semua murid yang fokusnya tengah teralih kepadanya, dalam hati ia tengah menekadkan

mari menjadi Anara yang baru

Setelah merapalkn itu, Anara baru membuka suara

"Perkenalkan nama gue Anara, asal sekolah SMA Pelita 1 Bandung "

Setelah perkenalan singkat itu, dan beberapa ledekan atau suara cowok cowok yang menggodanya, Anara di persilakan duduk di samping murid laki laki bernama Denis, tidak terlalu buruk tampaknya Denis anak yang baik.

"hai nama aku Denis..."

Anara menoleh dan membalas uluran tangan cowok itu, ia paham Denis agak agak, yaaaa begitulah.

"Anara"

Jawabnya dengan senyum singkat, dan pelajaran pun berlangsung, tak begitu sulit baginya memahami pelajaran, notabenya Anara memang seorang anak yang pintar.

Setelah jam pelajaran habis, gadis itu hanya duduk tanpa berminat untuk keluar kelas, untuk sekedar ke kantin untuk mengisi perut, ia hanya duduk dan memasang eraphone, sambil membuka buka bukunya, baru saja beberapa menit aktivitasnya berjalan, ada yang dengan sembarang menarik eraphonenya.

"gk mau ke kantin ...?"
Anara menatap tak suka pada denis yang sudah menggangu kenyamanan nya, tanpa mau menjawab Anara hanya berdecak kesal, memutar bola mata malas, dan memasang kembali earphonenya, denis hanya terperangah dan terdiam di tempat melihat sikap Anara yang begitu argoan.

"Napa, buset dah sombong amat, kita kn temen..."

Gerutu denis, tanpa minat membalas ucapan denis, Anara hanya melempar tatapan tajam, menatap Denis cowok setengah setengah itu, dengan sinis sampai cowok itu canggung sendiri, dan mengalihkan pandangan takut, dan berlalu sambil bergumam.

"hiii ane banget dah tu orang, dah kek orang kerasukan...."

Anara berdecak malas dan sibuk kembali dengan buku buku bacaanya, gadis itu fokus membaca sambil sesekali menyelipkan anak rambutnya yang mengganggu.

Kelasnya kosong, hanya ada dirinya dan suara pendingin ruangan yang mendominasi, hingga beberapa waktu kemudian terdengar suara hentakan sepatu, tampaknya akan ada seseorang yang datang, menyadari itu Anara melepas sebelah earphone nya.

Dan tak lama pintu terbuka, ia sudah berencana dalam hati, siapapun itu yang datang, ia tak mau menoleh ke arah pintu, ia tak mau8 memperdulikan apapun lagi, egois memang, namun siapa peduli sejak dulu tak pernah ada yang.menghargai kepeduliannya.

Salahkah jika ia memilih berhenti untuk peduli, tidak sama sekali, ini bukan salahnya, bahkan jika ada pembunuhan di hadapanya pun, ia tidak akan memperdulikanya, lebih baik pergi dan berusaha menjadi seegois mungkin.

Setelah beberapa detik pintu itu terbuka, tampaknya langkah kaki itu mengarah ke arahnya, dan sampai, sosok jangkung dengan celana SMA itu berdiri di hadapanya, Anara mendongak untuk melihat wajah pria di hadapanya ini, buku tebal di tanganya dan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya,serta bed nama yang tertera nama Reno, tatapan mata coklat itu menatapnya seolah menghunuskan pedang.

Sampah

Itu lah batin Anara saat melihat wajah pria di hadapanya ini, ia menutup buku bacaanya dan hendak pergi, pria bernama Reno itu menahan lengan Anara yang hendak keluar kelas, Anara mundur dan menatapnya tanpa expresi, membalas tatapan setajam mata elang dari balik kacamata itu.

Dan menghempas kasar tangan kekar yang menahan tanganya, lalu berjalan berlalu dari hadapan Reno.

"Nara..., sampai kapan lo kubur rasa peduli lo, berapa lama nara..."

Suara Reno terdengar menggema di ruang kelas itu, Anara berhenti di tempatnya, tanpa menoleh ia berkata dingin dengan tatapan lurus tak tersirat.

"Persetan dengan rasa peduli..."

Anara melanjutkan langkahnya, dan berjalan menuju perpustakaan, tersisa waktu 20 menit untuk menghindar dari manusia manusia bodoh di luar sana, termasuk Reno.

Pria yang seperti sampah bagi seorang Anara itu tak kunjung menyerah mengembalikan sikap Anara yang dulu amat sangat baik dan lembut.

Ya Reno tau bukan salah Anara, namun orang orang di sekitar gadis itu lah yang membuatnya seperti ini, mereka yang telah membuat luka lebar yang begitu perih di dalam hati Anara, dan tak pernah sembuh bahkan membekas sempurna.

Hanya sebuah kejadian, yang bermuara dari semua rasa sakit yang pernah Anara rasakan, kejadian yang tak pernah bisa ia lupakan, kejadian yang membuat dirinya menjadi seperti ini, di mana rasa pedulinya untuk orang orang benar benar hancur, hatinya hancur, hidupnya hancur, segalanya.

Anara tak pernah menyalahkan siapa pun dalam hal ini, ia sadar dirinya lah yang salah, ia terlalu peduli terhadap kedaan di sekitarnya, ia terlalu baik hati, ia terlalu banyak membantu banyak orang, sedangkan orang orang itu sendiri tak pernah mau menghargainya, bahkan senantiasa menghinanya.

Keluarganya sendiripun tak pernah mau tau tentang dirinya, sikapnya yang sekarang ini, ya ini pilihanya mereka yang.membuat wataknya menjadi sekeras ini, dan Anara tak pernah mau tau atau peduli soal apapun.

Biar saja terus seperti ini, ia sudah terlalu banyak di jatuhkan, ia sudah terlalu bosan mendengar hinaan, ia sudah lelah menangis layaknya orang orang lemah yang tak bisa melakukan apa pun kecuali menangis, bahkan orang yang dekat denganya pun mengecewakanya.

Tuhan....?
Apa kah dia masi percaya akan adanya sang pencipta, di mana tuhanya di saat ia benar benar jatuh dah butuh pertolongan, ia di biarkan sendiri di bawah hujan malam itu, bersama luka luka yang tersayat hampir di seluru tubuhnya, terasa amat perih dan menyakitkan.

Namun tak ada seorang pun tau, hatinya lebih sakit dari seluruh lukanya, dan malam itu di saksikan sang purnama Anara berjanji pada dirinya sendiri, itulah tangis terakhirnya, dan ia tak akan pernah menangis dengan sia sia lagi.

Anara memejamkan mata sejenak.menetralisir rasa sesak di hati teringat masa masa kelam itu, gara gara sampah seperti Reno ia teringat masa masa itu.

~oOo~

Terima kasi sudah membaca

Jangan lupa
Vote
Comentnya :)

AnaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang