ONE

22 3 0
                                    

"Oliver!" Seruan itu membuat seorang lelaki dengan baju dokter menoleh kebelakang. Mendapati seorang Dokter lain sedang tergesa-gesa mengejarnya.

"Kenapa, Ki?" Tanya Oliver pada lelaki yang memanggilnya tadi.

Diki menghentikan langkahnya saat ia sampai dihadapan Oliver. Karena masih ngos-ngosan sehabis berlari tadi, Diki tidak langsung berbicara. Oliver yang dipanggil pun tidak berniat untuk bertanya lagi. Ia memilih diam dan menunggu sahabatnya itu memulai sendiri.

Setelah menenangkan diri kurang lebih 3 menit, Diki menegakkan badannya dan menghapus jejak-jejak keringat yang mengalir dipelipisnya dengan tangan. Ia menatap Oliver, lalu tersenyum lebar.

"Makan bareng yuk!" Ajak nya riang.

Oliver mengernyit. "Kamu ngejar aku cuman buat bilang ini?"

"Iya. Memang kenapa?" Tanya Diki seraya mengambil ponsel nya disaku. "Sekalian jalan-jalan. Sudah lama kita gak hangout bareng!"

Oliver yang mendengar itu terdiam. Diki benar. Mereka memang sudah lama tidak jalan bersama, mengingat jadwal padat yang mereka alami akhir-akhir ini. Disaat Diki kosong, Oliver yang punya jadwal, dan begitu juga sebaliknya. Susah mencari waktu bahkan hanya untuk sekedar makan bersama.

"Kamu punya jadwal hari ini?" Tanya Diki. Oliver menoleh kearah Diki, lalu berpikir sebentar.

Dia sudah check up beberapa pasien nya barusan. Lalu... Kalau tidak salah, hari ini tidak ada operasi yang harus dia tangani.

Ya... Sepertinya dia kosong.

"Nggak ada. Kalo kamu?" Tanya Oliver setelah terdiam cukup lama.

Diki tersenyum lebar dan menggeleng. "Aku nggak bakal ngajak kalo aku sendiri punya jadwal." Kekehnya. Oliver hanya mangut-mangut menanggapi jawaban itu.

Saat sedang berjalan bersama menuju parkiran. Langkah Oliver dan Diki terhenti, ketika mendapati seorang gadis sedang terduduk disalah satu kursi rumah sakit yang terletak dikoridor. Gadis itu sedang fokus menulis dibuku nya dengan sangat serius.

"Lho? Itu kan?" Diki mengernyit dan menarik Oliver agar lebih mendekati gadis itu.

"Iya. Nggak salah. Itu Zadea." Ujar Diki dan menghampirinya.

"Zadea?" Sapa Diki.

Merasa namanya dipanggil, gadis itu mendongak dan terperanjat saat mendapati Diki didepannya.

"Eh..." Gadis itu berdiri dan tersenyum. "Dokter Diki, ya?"

"Iya!" Jawab Diki seraya tersenyum lebar. "Kamu ngapain disini? Oh iya!" Diki menoleh kebelakangnya, mencari Oliver yang sejak tadi diam saja.

"Ini Dokter Oliver." Ujar Diki dan menarik Oliver mendekati Zadea. "Dia Dokter yang bakal nge-operasi mama mu besok." Jelas Diki riang.

Oliver terpegun saat menyadari bahwa gadis didepannya ini adalah keluarga salah satu pasien yang ia tangani. Pasalnya, ini kali pertama Oliver berhadap-hadapan langsung dengan keluarga pasien. Selama ini, Oliver tidak pernah ambil pusing dengan keluarga pasiennya sama sekali. Ia tidak peduli dan tidak tertarik untuk bicara pada mereka. Lagi pula ia memiliki Diki yang bisa dipercaya untuk mengurus hal itu. Tidak heran jika Diki langsung mengenali Zadea sebagai keluarga pasien yang akan dia operasi besok, pasti mereka sudah pernah berbicara satu sama lain sebelumnya.

"Oliver." Ujar Oliver seraya mengulurkan tangannya. Zadea menatap tangan Oliver, lalu menyambutnya seraya tersenyum.

"Zadea Athanasia. Panggil aja Zadea." Jawab Zadea. "Saya harap operasi besok berjalan lancar, Dokter."

Badan Oliver menegang. Ini... Ini bagian yang paling dia benci. Dia benci jika seseorang berharap terlalu tinggi dengan hasil kinerjanya. Semua harapan itu hanya akan membuat Oliver semakin tertekan. Mungkin beberapa Dokter akan senang karena mengetahui bahwa ada seseorang yang bergantung padanya, tapi tidak dengan Oliver. Ia tidak suka jika ada yang terlalu bergantung padanya. Bukan berarti dengan begitu dia tidak berusaha, tidak. Keselamatan pasien adalah prioritas utama bagi Oliver, ia hanya tidak suka rasa tertekan yang ia alami jika ia tahu ada yang berharap pada dirinya.

Ia membencinya...

Itu sebabnya wajah Oliver mengeras saat mendengar kata-kata Zadea barusan. Gadis itu baru saja mengutarakan harapan tinggi pada dirinya.

Oliver mengerti...

Pasti semua orang berharap operasi berjalan sukses, dan orang yang mereka sayang selamat. Oliver tahu... Tapi tetap saja... Dia masih belum bisa menerima rasa janggal yang ada dihatinya.

Bibir Oliver terangkat sebelah, menciptakan senyum miring yang dipaksakan. "Ya." Jawab Oliver. "Semoga."

                          _520_

"Muka mu jelek banget sih." Kekeh Diki saat melihat Oliver menekuk mukanya.

"Sekali-sekali ketemu keluarga pasien nggak masalah juga kan." Ujar Diki seraya memasukkan satu sendok waffle kedalam mulutnya. Ia lalu menatap Oliver yang masih diam.

Semenjak bertemu dengan Zadea tadi mood Oliver seketika hancur. Diki sangat amat mengerti keadaan sahabatnya itu, hanya saja Diki ingin Oliver bertemu keluarga pasien setidaknya sekali. Oliver terlalu cuek. Ya, itu memang sifatnya, tapi, ayolah...

"Kamu tau kan masalahku Ki." Oliver buka suara dan melirik Diki. "Nggak suka tau denger mereka bilang "saya harap" atau "berusaha ya" atau apalah! Dikira ngeoperasi nggak ada tekanannya apa." Gerutu Oliver dan menyeruput kopinya.

Diki yang mendengar itu hanya terkekeh. Ia lalu mengangguk-angguk setuju. "Iya sih." Jawabnya. "Tapi kamu tau kan. Kamu tuh harapan besar mereka. Nggak heran mereka bilang hal kayak gitu."

"Justru karena mereka naroh harapan besar ke aku itu yang bikin aku tambah nggak enak!" Jawab Oliver. "Ntar kalo gagal? Atau terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, gimana?"

"Makanya kamu optimis!" Seru Diki dan meletakkan sendoknya. "Kamu bahkan belum mulai, tapi kamu sudah mikirin gimana operasi itu bakal berakhir. Mikirnya negative lagi." Diki mendengus dan menumpukan wajahnya ditangan.

"Coba kamu pikir akhirnya bakal indah. Bakal sukses. Bakal lancar. Kalo kamu dari awal udah mikir buruk, ya itu, jadinya parnoan, was-was, takut gagal Dll." Diki mengambil minumnya.

"So..." Diki menatap Oliver. "Try to change you're mind. Nggak ada salahnya kamu berharap hal yang baik. Malah bagus." Oliver yang mendengar penuturan Diki hanya bisa mangut-mangut setuju. Apa yang Diki bilang benar. Ia hanya terlalu overthinking dengan hal buruk. Dan itu berdampak juga pada situasi hati dan mentalnya. Ia harus berubah.

"Ya. Aku ngerti..."

                           _520_

The Center of my universeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang