THREE

14 1 0
                                    

"Operasi selesai." Seru Oliver. Seketika tekanan di ruang operasi terangkat. Oliver membuka maskernya dan ternyum pada Diki.

"Kan aku udah bilang. Bisa kok." Ujar Diki riang seraya merangkul Oliver dan membawanya keluar dari ruang operasi.

Oliver hanya mengangguk sambil tersenyum. Ini berkat Zadea juga. Dia yang berhasil membuat Oliver tenang saat waktu operasi semakin dekat. Karenanya, kekhawatiran Oliver berkurang. Beban yang dipikulnya pun serasa hilang setengah saat itu. Dan Oliver sangat mensyukurinya.

"Zadea!" Seruan Diki membuat lamunan Oliver buyar. Matanya segera mencari sosok yang barusan Diki panggil. Tidak butuh waktu lama, Oliver menangkap sosok itu menghampiri mereka dengan sedikit berlari.

"Gimana?" Tanya Zadea. Wajahnya sedikit pucat. Oliver tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada gadis satu itu. Kontrol mimik wajah yang gadis itu punya sangat hebat. Ia bisa menyembunyikan ketakutannya dengan sangat amat rapi.

Saat Zadea datang untuk menyemangatinya, bohong jika Oliver bilang ia tidak melihat adanya ke khawatiran di mata Zadea. Kekhawatirannya bahkan lebih besar. Oliver tahu bahwa saat itu yang perlu disemangati bukan dirinya, melainkan Zadea yang sedang menghadapi  hasil yang tidak pasti. Antara hidup dan mati. Seharusnya Zadea yang didukung, bukan malah dia.

Tapi alih-alih mencari tempat untuk menumpahkan emosinya. Zadea lebih memilih untuk menghibur seorang Dokter yang juga sedang galau.

Oliver masih belum bisa berhenti dari kekagumannya. Ia menatap Zadea dalam.

"Aku hutang sama kamu, tau."  Batin Oliver.

"Dokter Oliver!"

"Hah? Ha? Apa?" Oliver gelagapan saat mendengar seruan Zadea dan tepukan keras Diki di punggungnya. Ia menatap mereka berdua lalu tersenyum kikuk.

"Sorry nggak fokus." Kekeh Oliver. "Kamu mau bilang apa tadi?"

Zadea yang melihat tingkah Oliver tersenyum. "Terimakasih Dok." Ujar Zadea.

"Saya harap..."

"Nggak usah terlalu formal." Potong Oliver.

"Dari kemaren kamu pake saya-saya. Aku kurang enak dengernya. Santai aja." Jelas Oliver yang disambut anggukan setuju oleh Diki. Zadea mengambil nafas dan mengangguk mengerti.

"Oke!" Jawabnya.

                            _520_

"Jangan kemaleman kerjanya." Ujar Diki setelah mengambil kunci motornya didalam ruang kerja Oliver. Diki menatap Oliver dan tersenyum, sebelum kemudian ia meninggalkan ruangan itu.

Oliver melambaikan tangannya pada Diki, lalu ikut berdiri dari duduknya. Ia mengambil jas Dokternya lalu keluar dari ruangan.

Sekarang jam dua belas malam. Sudah waktunya untuk mengontrol para pasien.

Hal ini memang bukan kewajiban Dokter yang bertugas. Hanya saja ini adalah kebiasaan Oliver. Sebelum pulang, dia akan menge-cek para pasiennya. Memastikan mereka semua terkendali.

Seperti biasa ruangan pertama yang akan Oliver kunjungi adalah kamar rawat anak, lalu beralih ke pasien kelas ekonomi, baru sehabis itu pasien kelas VIP.

Khusus dikelas VIP, ia harus meminta izin terlebih dahulu pada keluarga pasien. Tentu saja keluarga pasien satupun tak ada yang keberatan. Bahkan mereka sangat senang karena tidak ada yang perlu mereka khawatirkan.

Oliver sedikit bersimpati pada para pasien VIP. Meski mungkin ruangan mereka sangat nyaman, bahkan hampir menyerupai kamar hotel, mereka tidak memiliki keluarga yang menjaga mereka. Sangat jarang Oliver menemukan pasien kelas VIP dirawat oleh keluarganya. Tidak ada yang menginap. Jangankan menginap, menjaga mereka hingga larut malam saja tidak ada. Sepertinya semua anggota keluarganya sibuk, hingga tidak memiliki waktu untuk menjaga mereka sama sekali.

Oliver sampai diruangan terakhir. Ia membuka berkas ditangannya yang berisi status dari pasien yang berada di kamar itu. Nyonya Athanasia, atau dikenal sebagai ibu Zadea. Oliver menarik nafasnya pelan. Sepertinya Zadea ada didalam. Gadis itu tidak terlihat akan meninggalkan ibunya yang sedang koma. Kalau begitu ada kemungkinan Zadea menginap.

Asumsi itu mengharuskan Oliver untuk mengetuk pintu sebagai bentuk izin masuk, namun tidak ada yang menjawab. Bahkan setelah Oliver melakukan hal itu sampai tiga kali pun, tetap tidak ada yang menjawab.

Oliver menatap arlojinya dan menghela nafas. Sebaiknya dia langsung masuk saja. Lagipula dia sudah dapat izin dari Zadea sebelumnya.

Oliver membuka pintu kamar rawat pelan, dan masuk. Lampu kamar itu mati. Namun ada sedikit cahaya yang memancar dari sebuah laptop yang berada diatas meja. Disamping laptop itu tersender kepala seseorang dengan posisi telungkup diatas meja.

Oliver mengernyit saat mendapati Zadea tertidur dimeja itu. Bagaiman bisa gadis itu tertidur dengan lelapnya dalam posisi duduk?

Tidak mau ambil pusing, Oliver langsung menuju ranjang Athanasia dan memeriksa keadaannya. Sejauh ini keadaan Athanasia stabil, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Setelah selesai memeriksa Athanasia, perhatian Oliver kembali tertuju pada Zadea yang masih tertidur lelap. Leher Oliver tiba-tiba pegal saat membayangkan Zadea akan bangun dengan rasa kesemutan disekujur tubuhnya karena posisi tidur yang tidak benar semalaman.

Tapi dia lelap banget...

Pelan-pelan, Oliver menghampiri Zadea. Ia menutup laptop Zadea lalu menepuk punggung Zadea pelan.

"Zadea..." Tidak ada jawaban.

"Zadea." Oliver mengeraskan sedikit suaranya, melihat tidak ada respon sama sekali.

"Zadea!" Suara keras Oliver sedikit tertahan ditenggorokan karena takut menggangu. Meski ibu Zadea koma, bukan berarti ia bisa bersuara keras seenaknya.

Tapi meski Oliver sudah cukup mengeraskan suaranya, gadis satu itu masih juga belum bangun. Karena sudah cukup kesal, Oliver mengguncang tubuh Zadea kuat, berharap Zadea membuka matanya.

"Eungh..." Alih-alih bangun, Zadea menghentakkan tangan Oliver dengan kesal sambil bergumam-gumam tidak jelas.

"Ish... Ganggu aja ih..." Gumam Zadea dan kembali telungkup diatas meja.

"Entar badanmu pegel. Sana tidur bener-bener disofa." Ujar Oliver setengah berbisik dan menarik tangan Zadea. Tapi lagi-lagi gadis itu menepisnya, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.

"Apaan sih, ih!"

"Ya gusti..." Oliver memijat dahinya seraya menggelengkan kepala. Bener-bener nggak bisa dibangunin dah gadis satu itu.

Besok pagi badan pegel semua, mampus.

Dengan langkah cepat Oliver keluar kamar rawat seraya mendengus. Sebenarnya apa yang Zadea mimpiin sampai dia nggak bangun padahal udah diguncang-guncang badannya? Selelap itu kah? Kecapekan? Pertanyaan-pertanyaan itu berkeliling dikepala Oliver.

Ia menatap arlojinya, lalu menguap. Melihat Zadea yang tidur sepulas itu lumayan menggoda Oliver untuk pulang cepat dan tidur juga.

Tapi sebelum melangkah pergi. Oliver kembali membuka ruang rawat Athanasia dan menengok kedalam, menatap Zadea yang masih belum pindah dari posisi awalnya.

Oliver meringis. Gadis itu nggak cuma bakal pegel besok pagi, dia juga pasti bakal masuk angin. Hari ini temperature nya 23 celcius, lumayan dingin. Belum lagi AC dikamar Athanasia juga dingin, dan Zadea tidur dengan posisi duduk, kepala ditumpukan pada kedua tangan yang berlipat, tanpa dilapisi selimut atau kain apapun yang cukup untuk menghangatkannya.

Kebayang besok gadis itu bangun dengan perasaan nggak karuan... Kasian...

                                                                                           _520_

The Center of my universeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang