Dhifa julukan khas untuk seorang perempuan bernama asli Dhina Fitriyani Putri, nama tersebut tersematkan olehnya dari pacarnya. Dhifa ini sosok penuh semangat asal Cirebon. Tempat dimana penggagas julukan Dhifa itu lahir, begitupa dengan dirinya, Dhifa lahir dari keluarga kurang mampu. Saat berusia 17 tahun ibu nya kembali ketiada, tepatnya pada 23 april 2017. Ini adalah pukulan berat baginya yang baru beranjak remaja. Kini ia tinggal bersama ayah nya yang tidak lain hanyalah berprofesi menjadi buruh anyam rottan. Ia anak ke tiga dari lima bersaudara.
Ia bersekolah di SMA wilayah Cirebon didaerah Palimanan, Dhifa adalah salah satu anak yang layak dikatakan pandai disekolah nya, dibandingkan dengan teman-teman 1 angkatannya, Selayaknya anak seusianya ia pun bercita-cita menjadi penulis professional. Dia juga mengidolakan salasatu penulis terkenal bernama Tereliye. Tak hanya itu ia pun sangat berkeinginan menempuh pendidikan tinggih tetapi terhalang oleh biaya. Hingga membuatnya pesimis bias mendapatkan keinginan besar tersebut. Ia mencoba menyingkir kan rasa itu dengan segala keyakinannya disertai doa dan mampu merubah garis hidupnya.
Pada sebuah malam yang terlihat murung mengikuti jiwa Dhifa. Menengadah kelangit sambil bernafas dalam-dalam selasar hatinya berkata “aku nanti kalau sudah lulus mau kerja apa dengan hanya ijazah SMA, dan apakah harus meninggalkan cita-cita ku menjadi seorang penulis kalau sudah kerja??”. Keinginan Dhifa setelah lulus hanya ingin melanjutkan study nya kejenjang perguruan tinggi. Dhifa pun tidak akan bisa menggapai cita-citanya kalau tidak kuliah. Sedangkan kesibukan dunia kerja tidak akan memberi kesempatan Dhifa untuk mengembangkan hobinya, fikirnya.
Semenjak renungan itu, Dhifa semakin banyak bertanya kepada dirinya maupun guru dan teman-temanya, apakah ia setelah lulus sekolah harus kerja atau kuliah. Hasil yang didapat dari pertanyaan itupun makin membuat Dhifa bingung, Sebab jawaban antara kuliah dan tidak atau kerja dan tidak, semuanya sama-sama kuat.
Diruang tengah kini seakan penuh dengan tanda tanya, ditataplah sang ayah oleh Dhifa dan ia berfikir pertanyaan yang merajai kepalaku ini harus juga ditanyakan kepada ayah. Suara pelan penuh kesopananpun menghampiri telinga ayah Dhifa.
Dhifa :”Ayah, Dhifa nanti setelah lulus harus kerja atau kuliah?”.
Ayah Dhifa :”Kamu lebih mantap yang mana nak, kamu punya 2 adik yang saat ini sekolah SMP. Kelak kamu mempunyai kewajiban membiayai mereka berdua. Tapi kalau kamu ingin melanjutkan belajar, dengan berathati Ayah tidak bisa membiayai kamu lagi. Kamu harus mencari biaya sendiri kalau ingin kuliah ”.
Mendengar perkataan ayahnya, Dhifa merasa sedih dan ibah kepada orang tuanya yang sudah tua renta. Pendapatan ayahnya terkadang untuk membiayai kebutuhan sehari-hari saja masih kurang apa lagi tanpa adanya sosok seorang Ibu yang menemani. Sebenarnya dalam hati ayah nya dhifa, ia mendukung atas kegigihan anaknya. Dengan segala pertimbangan ayah Dhifa pun memberikan syarat terhadap dhifa meskipun sebenarnya syarat ini adalah hal yang sangat merepotkan bagi Dhifa.
Ayah Dhifa :”Nak silahkan kamu melanjukan kuliah tetapi Ayah tidak mampu untuk membiayaimu karena ada adik-adik kamu yang harus ayah biayai pendidikannya. Bapak akan berjuang keras agar anak ayah jadi orang hebat nantinya. Jangan seperti bapak atau almarhum ibu mu yang tidak lulus SD, dan akhirnya sekarang hanya jadi buruh”.
Dhifa :”Iya Ayah, terimakasih”. Dengan nada melas dan sambil meneteskan air mata.
Keesokan harinya tepat waktu jam istirahat disekolahnya, ada pengumuman bahwa ada pelatihan dan gambaran mengenai teknis pendaftaran masuk perguruan tinggi. Dhifa dan teman-temanya mengikuti pelatihan tersebut. Tidak semua kelas 12 mengikuti pelatihan itu, hanya siswa yang minat dan mempunyai keinginan untuk kuliah saja yang ikut. Dalam pelatihanya, selain melatih cara daftar kuliah, guru juga memotifasi siswa agar bisa melanjutkan kuliah. Guru tersebut memaparkan bahwa “Kuliah dizaman sekarang tidak perlu pusing memikirkan biaya. Sekarang ini banyak beasiswa yang ditawarkan untuk calon mahasiswa. Pelajar bisa kuliah tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun dan bahkan mendapatkan uang tiap bulanya”.
Mendengar paparan guru mengenai kuliah gratis, Dhifa pun mulai tertarik dan semakin semangat untuk melanjutkan kuliah. Hal ini membuat Dhifa penasaran dan melontarkan pertanyaan.
Dhifa :”Apakah benar Pak, kuliah itu tidak perlu biaya dan tambah digaji ??”.
Guru :”Iya Dhifa, ada salah satu beasiswa bidikmisi yang khusus diperuntukan mahasiswa kurang mampu. Mahasiswa akan didanai oleh pemerintah, serta mendapat biaya hidup selama kuliah”.
Seusai pelatihan dan pulang sekolah, para siswa berbondong-bondong ke warnet (warung Internet) untuk daftar online masuk perguruan tinggi. Perlu waktu berhari-hari, para siswa untuk menyelesaikan pendaftaran. Khususnya bagi siswa yang mengejar beasiswa harus melengkapi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Persyaratan itupun tidak mudah untuk didapatkan. Itulah sebab mengapa daftar lewat online membutuhkan waktu lama. Dhifa beserta teman lainya harus menyisihkan beberapa jam tiap harinya untuk datang ke warnet agar pendaftaran cepat selesai.
Waktupun berlalu. Ujian Nasional usai dilaksanakan. Pasca ujian tidak ada lagi aktifitas yang dilakukan siswa disekolahan. Tak ada kegiatan yang membuatnya tidak bosan setiap waktunya. Tidak fikir panjang, Dhifa melamar kerja menjadi tukang jahit didaerah Sumber wilayah Perbutulan, disitu terkenal banyaknya penjahit. Lama bekerja sebagai tukang jahit, Dhifa mendapat gaji yang lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan meringankan beban yang dipikul ayah nya. Dhifa merasa bahagia, karna hasil dari kerjanya dapat membantu sedikit kehidupan keluarganya.
Suatu hari sepulang kerja, Dhifa mendapat kejutan besar dari sekolah. Ayahnya berkata sambil menangis terharu bahwa Dhifa diterima sebagai mahasiswa UNPAD (Universitas Padjajaran) diderah Sumedang Jati nangor dan tergolong mahasiswa beasiswa Bidikmisi.
Ayah Dhifa :”Selamat ya Nak”. Sambil tersedu-sedu meneteskan air mata haru.
Dhifa :”Ayah kenapa menangis, selamat untuk apa ayah?”. Merasa heran
Ayah Dhifa :”Ayah tadi ditelfon gurumu kalau kamu satu-satunya yang lolos mendapatkan beasiswa di Unpad”.
Dhifa :”Yang benar yah ”. terkejut dan akhirnya Dhifapun terharu
Ayah Dhifa :”Iya nak “.
Ayah Dhifa :”Alhamdulillah,,terimaksih ya Allah, terimakasih Ayah selalu mendoakan Dhifa yang terbaik ”. Sambil memeluk ayah nya dengan lembut sambil meneteskanair mata yang membasahi baju ayah nya yang penuh keringat setelah bekerja
Ayah Dhifa :”Iya Di, selamat ya, dan kamu nanti malam disuruh datang kerumah guru yang memberi kabar tadi”.
Dhifa :”Iya Bu, Alhamdulillah ya Allah”. Sambil mengusap air mata dari wajah nya.
Malam harinya meskipun hujan, Dhifa tetap semangat dengan sepeda kunonya tanpa memakai jas hujan berangkat kerumah gurunya. Sesampainya, ia menegetuk pintu rumaha gurunya. Dibukanya pintu dan sanga gurupun Dhifa pun terkejut melihat Dhifa didepan rumahnya dengan keadaan basah kuyub. Guru itu mendekati orang tersebut yang ternyata pemudi itu adalah Dhifa muridnya di SMA
Dhifa :” Assalamualikum Pak”. Menggigil kedinginan.
Guru :”Waalaikumsalam, ya ampun Dhifa,,kamu kenapa hujan-hujan kesini tidak bawa jas hujan,,, kalau sakit bagaimana nanti kamu gak jadi kuliah”. Dengan sikap khawatir.
Dhifa :”hehehe,,iya pak maaf saya tidak punya jas hujan dirumah”.
Guru :”Ya sudah sini cepat masuk”.
Dhifa :”Diluar saja Pak, nanti rumah bapak basah bagaimana kalau saya masuk”.
Guru :”Ah tidak apa-apa,,Bapak pinjami pakaian kering ntar, ayo cepet masuk dulu”.
Dhifa :” Iya Pak”. Dengan nada malu-malu.
Dhifa dan Gurunya bercakap-cakap mengenai teknis apabila sudah ada dikampus Unpad kelak. Dhifa juga dibekali penglaman gurunya waktu masih menjadi mahasiswa dulu.
Waktu sudah berlalu. Kini Dhifa resmi menjadi mahasiswa disalah satu kampus favorit di Jawa Barat yaitu Unpad . keberuntungan menyertainya, karena Ia rela kuliah jauh dari Cirebon menjadi anak rantau di Sumedang kalau tidak ketrima di Unpad. Ia berhasil dengan tujuan awalnya kuliah hanya agar dapat melanjutkan dan menggali pengalaman sebanyaknya dibidang Jurnalistik. Ia banyak mengikuti organisasi yang ada dikampusnya.
Seiring berjalanya waktu, Dhifa mulai terbiasa dengan perkuliahan dan kegiatan organisasinya. Ia menyadari bahwa kuliahlah yang membawanya dapat mengembangkan hobinya yaitu menulis. Ia sadar kalau kuliah harus dinomor satukan. Apalagi Ia sebagai mahasiswa berstatus Beasiswa bidikmisi, Ia harus mampu melaksanakan kewajibanya sebagai mahasiswa dengan baik. Dibalik itu semua, Dhifa juga tidak ingin meninggalkan organisasi Jrnalistiknya. Ia berprinsip bahwa yang harus dipentingkan terlebih dahulu adalah perkuliahan dari pada organisasinya. Kini Dhifapun mempunyai pernyataan sakral dalam sebuah kalimat yang kemudian ia harus pegang erat-erat. Agar ia tak ikut dalam gelombang yang semakin hari-semakin kencang saya. Kalimat itu ia tulis dalam hati dan buku diary nya, tulisan itu berupa “Kuliah nomor 1, organisasi hanyalah suatu fasilitas yang telah disediakan untuk mengembangkan kemampuan setiap individu” .
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Pengemis Beasiswa
Teen Fictionketika cita-cita terhalang oleh kondisi ekonomi keluarga apakah masih bisa digapai, apakah kesuksesan hanya bagi mereka yang berasal dari keturunan yang berkecukupan