3

57 3 2
                                    

Seorang pria dengan surai raven nan panjang terikat itu. Sedang menatap tajam pada sekumpulan pria dihadapannya. Terlihat raut kemarahan diwajahnya yang tampan.

"Sudah kubilang agar kalian menjaga gadis kecil itu bukan!!!" Teriaknya murka.

"Tapi, ayah anda-..."

Brakk.

"Aku tidak peduli dengan pria tua itu. Yang kupedulikan hanya kedua adikku. Sasuke..., dan Hinami... mereka aku selalu kulindungi apapun yang terjadi!!! Pergilah sebelum aku berubah pikiran, lalu menghukum kalian dengan berat!!!" Umpatnya kesal.

"Siap!!!" Sekumpulan pria otot kekar itu berjalan(lari) dari ruangan sang bos muda.

Teringat jelas dibenak pria yang baru beranjak berusia 15 tahun itu. Saat itu ibunya terus saja menangis setiap hari, setelah kepergian adik kecilnya itu. Tidak pernah sekalipun terlupakan dalam ingatannya wajah lugu adik perempuan kecilnya itu. Terutama manik sapphirenya yang sebiru langit.

Semenjak kelahiran bayi perempuan Uchiha itu. Ayah dan ibunya tak pernah bertegur sapa lagi, yang setiap harinya hanya ada candaan dari ibunya yang hanya ditanggapi dingin oleh ayahnya itu pun kini tak ada lagi. Ibunya diam membisu, ia seperti hanya sebuah lukisan sedih dinding rumah itu.

Mungkin Sasuke tidak akan mengingat sosok malaikat kecil yang pernah tinggal di rumah mereka selama kurang lebih 3 tahun itu. Tapi bagi Itachi sosok malaikat kecil itu bagai pembawa kebahagiaan tersendiri baginya. Sama halnya seperti rasa sayangnya pada Sasuke, ia juga begitu menyayangi Hinami, adik kecilnya itu.

Tapi, perbuatan ayahnya yang membuang Hinami entah ke mana itu. Membuat Itachi tersulut emosi kebencian pada sang ayah, ingin rasanya ia memukul ayahnya itu hingga babak belur. Tapi, diurungkannya niat itu, saat melihat wajah ibunya yang berpura-pura bahagia dihadapannya dan Sasuke.

Dia terus tersenyum begitu sepanjang hari. Hingga saat malam, saat semua sudah tidur ayahnya membawa bantal dan selimutnya untuk tidur diruang tamu. Itu terjadi sejak kelahiran adik kecilnya.

Saat ayahnya sudah pergi, ibunya yang ternyata tidak tidur. Mengeluarkan butiran-butiran cairan putih dari maniknya. Ditahannya rasa ingin bersuara mengingat dua putranya kini tertidur pulas. Tidak ingin mengganggu tidur nyenyak mereka.

Dipeluk eratnya boneka rubah kecil itu dalam pelukannya. Dia benar-benar merindukan sosok malaikat itu dalam kehidupannya. Anak itu pasti sekarang sudah besar, dan memiliki wajah lucu seperti kedua kakaknya dulu. Ia tertawa kecil saat mengingatnya.

Lalu kembali mengeluarkan butiran kristal itu dari maniknya. Sesak ia rasakan dalam dadanya, jika tidak mengingat kedua putranya. Ia pasti akan pergi dari rumah ini untuk mencari kemana perginya putrinya itu. Ia harap akan ada keluarga yang baik mau menjaga putri bungsunya.

.
.
.

Di rumah Namikaze

"Kushina? Bagaimana dengan demam Hima, apa sudah turun sekarang?"

"Belum Minato. Apa sebaiknya kita membawanya ke rumah sakit saja. Aku kha-..."

"Ayah? Ibu? Peluk aku! Aku kedinginan... aku tidak tah-... hiks. Hiks. Apa kalian akan pergi lagi? Hiks." Hima yang tertidur karena demamnya yang tinggi sedang mengigau meminta pelukan.

"Tidak akan, Hima. Ayah dan ibumu ini tidak akan pernah meninggalkanmu!" Miris begitu Kushina melihat putri bungsunya itu. Dari yang ia dengar dari Minato. Ia menemukan gadis kecil ini di halte bis, saat dia masih berusia 3 tahunan. Di cuaca yang amat dingin, karena itu pertengahan Desember. Tempatnya sekitar 6 tahun yang lalu.

Terrrt... terrrttt...

"Ayah? Ibu? Dimana kalian?" Ucap anak usia 11 tahunan itu. Sambil mengusap-usap rambut blondenya yang basah karena salju. Meletakkan sepatunya, lalu memakai sendal rumahan menuju ruang keluarga.

"Naruto?" Ucap Minato menyambut kedatangan sang anak.

"Ayah? Dimana ibu dan Hima?" Tanya Naruto pada Minato.

"Mereka ada di kamar. Hima sakit lagi!" Ucap Minato dengan wajah lesu dan cemas pastinya.

"Lagi?" Tanya Naruto tanpa ekspresi, tidak seperti dia yang biasanya.

"Hn."  Jawab Minato singkat.

"Aku akan melihatnya, ayah!" Ucap Naruto melangkah melewati Minato menuju kamar sang adik kesayangannya.

"Baiklah. Ayah akan mengambil kunci mobil dan mengeluarkannya dari garasi, bawa dia keluar dan jangan lupakan kenakan baju hangat kalian" Minato
berjalan menuju pintu garasi.

"Hn" Balas Naruto singkat.

...

"Hima?" Ucap pemuda yang membuka daun pintu.

"Kak Naru!" Dipeluknya erat kakaknya itu. Demam pun ia tidak peduli jika itu bisa membuat kakak tersayangnya memperhatikannya. Maka itu adalah hal bagus baginya.

"Hima! Kamu sedang sakit, kan?" Naru dengan khawatir.

"Iie. Hima tidak sakit. Kok. Beneran. Sumpah" Hima dengan senyum khas Namikaze Uzumaki.

"Jangan bohong. Aku tau rasa panas yang menembus bajuku ini berasal dari tubuhmu yang panas. Jadi, ayo-..." Ucapnya menyentil pelan jidat sang adik.

"Ka-kakak, apa panasnya juga menembus hatimu?" Ucap Hima tertunduk dengan pipi merah.

"Iya adikku yang manis! Ayo. Sekarang kita ke rumah sakit bersama ayah dan ibu!" Balasnya mengajak sang adik itu ikut bersamanya.

"Hmm." Dengan ekspresi berpikir. Dan "Gendong dulu!" Ucapnya lagi sambil merentangkan tangan didepan sang kakak.

"Baik. Baik. Naiklah adik kecilku!" Ucap sang kakak memberikan punggungnya untuk dinaiki sang adik.

"Ha'i."

Kushina hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah laku kedua anaknya yang terbilang masih kecil itu. Ini bukan pertama kalinya ia melihat keduanya itu saling menyayangi seperti ini. Saat sang adik sakit, sang kakak dengan sigap menemani dan memanjakannya. Dan di waktu yang lain, saat sang kakak kesulitan belajar, sang adik yang terbilang cukup pintar dari pada anak-anak seumurnya. Menolong sang kakak mengerjakan tugasnya.

.
.
.

Tbc.

.
.
.

Era : Atashi no Hiren Soshite Onii-chan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang