Pagi itu Agung meminta restu ke Bapak dan untuk berangkat mengikuti tes di kota Palembang untuk menjadi anggota TNI, wajah pelu Bapak Agung yang tersirat mulai meneteskan keringat karena sejak subuh ayahnya bekerja berjualan nasi goreng di kedai miliknya hingga pagi, kedua orang tuanya tak dapat mengantarkan anaknya pergi hingga ke terminal bus antar kota karena harus berjualan menyambung rezeki agar nasi sisa sejak subuh tak terbuang percuma.
"Pak aku berangkat aku tak berharap banyak tapi aku berdoa semoga Doa' Bapak menjadi jalan yang telah di pilihkan Allah" Sebelum pergi ayahnya memberikan sisa tabungannya untuk Agung, Agung yang tak sampai hati karena ayahnya bersikukuh untuk memberikannya dengan dalih untuk uang jajan dan keperluan lainnya selama di Palembang, Agung berangkat berjalan menuju bahu jalan menaikin angkot tujuan terminal bus, anak penjual nasi goreng itu berjalan beralaskan pondasi keyakinan dan semangat yang di dapatkan dari Bapaknya berjalan sambil menatap langit dengan isyarat menantang hukum sosial bahwa yang berjuang akan kalah dengan yang ber-uang.
Sesampainya di Palembang Agung kesulitan mencari tempat bernaung untuk sementara waktu, uangnya tidak cukup untuk membiayai tempat tinggalnya karena biaya hidup di kota besar amatlah mahal, dia takut akan menyusahkan bapaknya jika harus meminta uang sewa bulanan, musolla-lah yang menjadi tempat ibadah dan sebagai tempat beristirahat sementara waktu bagi Agung, karena musollah itu marbotnya sedang pulang kampung dia pergi menemui pengurus masjid dan mengajukan diri untuk menggantikan marbot itu hingga ia pulang ke kotanya,
"maaf sebelumnya pak saya mau mengajukan diri untuk jadi marbot sementara di musollah ini , saya tidak masalah tidak di beri uang asalkan saya di beri tempat berteduh dan istirahat"
"Oh silahkan ananda, kami ada ruang tak terpakai di belakang halaman musollah di gunakan untuk tidur dan istirahat, perlu sedikit di bersihkan,nanti saya kasih Kasur dan bantalnya" jawab bapak pengurus masjid itu.
Setiap harinya Agung membersihkan musollah berangkat ke Lanud (lapangan udara) untuk melaksanakan serangkaian tes yang telah di jadwalkan selama 3 bulan oleh panitia, dari sekian banyak peserta yang mengikuti tes itu Agung menjadi salah satu beberapa peserta yang tersisa untuk menjalani tes, peserta yang lain telah dinyatakan gagal untuk melanjutkan tahap seleksi berikutnya, tak henti hentinya Bapak Agung ber-Doa " Ya Allah ya Tuhan semesta wujudkanlah keberhasilan anak ku jadikan dia apa yang ku mau berkahilah setiap langkahnya semoga itu yang terbaik" sambil menanti kabar anaknya yang tengah menjalani tes di luar kota, harapan orang tua yang begitu besar pada anaknya terus menggerus pikirannya hingga Bapak Agung jatuh sakit karena kelelahan bekerja dan cemas memikirkan perjuangan anaknya, harapan untuk memamerkan bahwa seorang anak penjual nasi goreng juga bisa menjadi Perwira TNI.
Berselang beberapa bulan kemudian Bapak Agung terduduk lesu di pinggir trotoar depan kedainya berjualan, kakinya yang seketika lemas, air matanya yang tak terbendung lagi mulai jatuh sesaat setelah dia tau anak tunggalnya meregang nyawa di tikam saat mencoba menyelamatkan ibu-ibu yang tengah di jambret oleh orang yang tak di kenal, padahal hari itu juga ia dinyatakan lolos pada tahap seleksi sidang pantukhir (sidang akhir), Bapak Murad jatuh pingsan dan para pejalan kaki sekitar datang membantu beliau untuk di bawa ke puskesmas.
Rumah duka pun disiapkan, para tetangga membantu pak Murad mempersiapkan semuanya, saat Jenazah anaknya sampai di rumah duka tangisan pecah dari mata seorang Bapak yang berjiwa tegar itu tidak ada manusia yang bisa sekuat itu melepas satu-satunya anak berharga yang ia punya pergi menghadap ilahi, yang dia harapkan kepulangan anaknya di sambut tawa dan suka cita malah air mata dan penyesalan, dia teramat menyesal karena terlalu berharap dengan ego yang dimilikinya bukan mendoakan keselamatan anaknya, Agung di makamkan bersebelahan dengan makam ibunya yang telah pergi duluan meninggalkan mereka berdua dan kini meninggalkan pak Murad sendirian kembali bergelut dengan dunia yang semakin keras padanya.
YOU ARE READING
Loreng dan air mata untuk bapak
Short StoryAgung yang menyambung cita cita sang ayah yang hanya pedagang kecil mengais rezeki di kota, hidup dari kecil di latih untuk berkecukupan dan prihatin terhadap situasi sekitar, dengan membawa doa dan harap sang ayah Agung berangkat menjalanin dan me...