Pemuda itu kembali ke ladang. Tiap sore. Dan dia tidak pulang hingga matahari terbenam.
Kalian tahu alasannya. Dan apa yang dia dapat?
Tidak ada.
Gadis itu tidak lewat esok harinya, atau esok harinya lagi, pun esoknya lagi.
Senin kembali menyapa. Pemuda itu mengantisipasi kalau-kalau si penyanyi bebas lewat lagi. Dia penasaran, sumpah. Akhir pekan ini, dia menghabiskan sebagian waktu untuk mengelilingi jalanan utama Kota Mulia walaupun dia tahu hasilnya bakal nihil.
Si pemuda sedang duduk di atas karung jagung di pinggir jalan ketika suara itu terdengar lagi.
"Pergi saja engkau pergi dariku."
Percayalah, lagunya sama. Liriknya persis. Tapi kedengarannya berbeda. Ada suatu ... emosi yang berbeda. Perasaan. Pemikiran. Pemuda itu pun bingung bagaimana bisa dia menangkap sebanyak itu dari suara sekedar-lewat tersebut.
Esoknya, gadis itu datang lagi. Dan si pemuda kembali mendengarkan di atas karung jagung di pinggir ladang.
"Semesta mengirim dirimu untukku."
Kali ini berbeda lagi, suaranya terdengar lebih tinggi dari sebelumnya. Entah bagaimana, si pemuda tahu bahwa gadis itu tersenyum sembari bernyanyi. Dia seolah mendengar senyuman tersebut.
Sang pemuda pun, yang tak pernah mengenal dan dikenal, merasa seolah sudah melihat seluruh dunia, bertemu dengan semua orang sebumi, berkenalan dengan karakter mereka yang berbeda-beda.
Sepeda motor berwarna perak itu, gadis pengendaranya yang berseragam SMA dengan kaca helm terbuka, serta langit dan matahari yang kemerahan sebagai latarnya telah menjadi dunia baru bagi pemuda itu. Dunia yang sepenuhnya dia kenal, dunia dengan soundtrack yang sama setiap waktu, tapi dengan sentuhan emosi yang beragam.
Pada hari-hari tersebut, sang pemuda merasa amat berkecukupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengenal Senja
Short StoryIni kisah tentang gadis yang bernyanyi dan pemuda berlatar matahari. Mereka bertanya-tanya bagaimana satu titik dalam garis hidup mereka bisa bersinggungan. Mereka bertanya-tanya, bisakah kedua garis itu saling menyinggung lebih banyak?