Panitia kegiatan SMADA FEST dan guru-guru MPO SMA Negeri 2 Temanggung sepakat dengan pengadaan SMADA FEST pada tanggal 30 Agustus 2019. Panitia tersebut telah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam penunjang kegiatan SMADA FEST, mulai dari tempat, jadwal acara, dan pembagian stand untuk masing-masing kelas. Seperti yang tahun lalu, kelas yang mewakili untuk mengisi stand adalah kelas 11 dan 12. Kelas dengan inisial angka yang sama memilki pasangan inisial yang angkanya sama pula. Aku duduk di bangku kelas 12 IPS 4, dimana aku bersama teman-temanku menjadi senior untuk adik-adik kelas 11 IPS 4 dalam acara ini.
Selaku senior untuk adik-adik kelasku, aku bersama perangkat kelas lainnya mengajak kelas 11 untuk melakukan rapat guna mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam acara ini. Serentak usulan stand bertemakan horor pun terdengar. Maka dari itu, di perlukan pula nama makanan, minuman, segala aksesoris, serta maskot untuk nantinya meramaikan stand bertemakan horor.
Pelaksanaan SMADA FEST tinggal menghitung beberapa jam lagi, semua siswa sudah siap dengan standnya. Ada sesuatu hal yang menjadi perdebatan, maskot. Sebelumnya sudah disepakati yang menjadi maskot hantu kuntilanak dari kelas 11 adalah Moli. Entah apa yang merasuki pikirannya hingga membuat dirinya mengundurkan dari perannya itu. Muncul seseorang dengan segala ketulusan hatinya untuk menggantikan peran itu.
Pukul 8 pagi tepat! Acara SMADA FEST sudah dimulai. Segala persiapan pun telah siap, tak terkecuali aku yang mengenakan selembar kain putih dengan 7 utas tali yang mengikat tubuhku secara kencang, serta balutan bedak berwarna putih dan pidi hitam menghiasi wajahku. Aku duduk di depan stand didampingi pasangan maskot hantu dari kelas 11, valak. Pengunjung silih berganti, mengantri makanan yang di pesannya, ataupun sekedar mengisi buku pengunjung dan meminta foto bersama dengan maskot hantu. Balutan kain putih dan ikatan tali itu membuatku cukup capek dan pengap. Untung saja, teman kelasku pengertian denganku. Dia memang teman terbaikku di kelas. Aku dan dia pun sering bertukar cerita dan meminta pendapat satu sama lain. Panggil saja dia Yahya.“Haus ga?”
“Ya iyalah, panas gini” Jawabku
“Buka mulutmu cepat!” Pinta dia
“Wah terima kasih bosku!”
Terik matahari sudah hampir berada di ubun-ubun, tibalah waktu untuk ishoma. Temanku mulai melepaskan tali yang mengikatku, aku kembali pada kostum semulaku. Di sela-sela istirahat, aku pun duduk di belakang stand. Tak ku sangka, sebuah handphone tergeletak sendirian di tanah. Dengan sigap, aku menyuruh siapa saja yang didapur untuk menjaga benda berharga itu.
“Ehh ini HP siapa? Jagain dong, nanti hilang.”
“Iya mas” Balasan dari seseorang yang sama sekali belum aku kenal, tetapi aku tau kalau dia anak kelas 11.
Dengan cekatan, aku mulai berbincang dengannya hanya bermodalkan wajah lesu dan nekat!
“Ehh biar resmi, Bagas!” Sembari menjulurkan tanganku.
“Hmm apa mas?”
“Yaa kenalan, aku kan gatau nama kamu”
“Oalah iyaa. Namaku Ananda”
Sehubungan dengan para pengunjung yang meminta foto bersama denganku, aku sendiri belum mempunyai dokumentasi pengalaman berharga ini. Aneh rasanya, jika aku yang dijadikan sebagai objek foto, tetapi aku sendiri tidak mempunyainya. Dengan kemantapan hati, aku meminta dokumentasi acara ini kepada seorang yang baru saja kukenal, Ananda.
“Dek, kamu punya dokumentasi foto aku ngga?”
“Ehh ha ngga punya mas, tapi temenku ada yang buat snapgram” Jawabnya
“Ha gapapa, aku minta dek”
“Ohh ya mas”
Secara tidak langsung, aku sudah mengetahui nomor whatsapp dia. Ya meskipun, aku belum mengenalnya lebih dalam, tetapi lumayan lah untuk menambah teman. Entah nantinya, nomor itu hanya sebagai penonton dari snapgram yang aku buat.
Malam pun telah tiba, sudah waktunya lagi aku menjelma. Bukan menjadi pocong lagi, melainkan malaikat pencabut nyawa bertepatan dengan jubah hitam yang aku pakai. Itu saja jikalau di lihat ketika malam hari terlihat bukan lagi seperti baju koko pada umumnya, tetapi khalayak hantu. Dengan berbekalan aksesoris tongkat malaikat maut, aku menjelma menjadi malaikat pencabut nyawa. Terlepas dari hal itu, terkejut aku melihat si dia. Kulihat paras cantiknya dengan rambut panjang terurai yang tersapu semilir angin menjadikannya terlihat lebih anggun. Ternyata dia seseorang yang baru aku kenal tadi siang.
Setelah selesai dengan segala persiapan, tibalah saatnya untuk menjadi sorotan publik pada malam itu. Tak terkecuali Ananda, dengan kostum mukena panjang putih, menjadikannnya terlihat seperti sosok kuntilanak yang menyeramkan. Kami pun mulai berjaga didepan stand. Muncul suatu pikiran dibenakku, jikalau hanya berdiam diri di stand kukira itu sangat membosankan. Kuajak dia untuk mengelilingi semua stand sembari menakut-nakuti pengunjung yang datang. Pekat purnama pun menjadi saksi kedua insan manusia yang usil. Suatu ketika, salah seorang teman Ananda menyuruh kita untuk berdiri berdua, sapa saja Aqila. Tak lain lagi untuk mendokumentasikan maskot hantu malam itu.
“Ehh kalian berdua, aku ambil fotonya” Ujar Aqila
“Iya iyaa” Seraya Aku dan Ananda menjawab bersama
“Disini gelap huuu”
“ Yaudah foto di belakang aja terus pake flash. Pake HP ku sekalian yaa?” Pintaku
“Nanti kirim whatsapp ya mas?” Sambar Ananda
“Iyaa, tenang aja dek”
Dengan ditandai konser tunggal khasima, acara SMADA FEST pun telah berakhir. Semua personil masing-masing stand pun mulai mengemasi segala bawaannya. Berbeda dengan pembawaan stand kelasku. Dengan seizin ketua kelas dan teman-teman kelas 12 lainnya, aku mengakhiri acara ini dengan sebuah rapat paripurna. Banyak pesan yang aku sampaikan pada adik kelasku agar kelak SMADA FEST yang akan datang bisa lebih baik lagi dari yang tahun ini. Ucapanku pun ternyata mengundang perhatian dari salah seorang adik kelas. Seorang wanita yang kala itu menjelma sebagai kuntilanak menganggap hal tersebut merupakan suatu hal yang sangat membuat dia terkesan.
Selepas selesai berbenah-benah, semua warga sekolah pun silih bergilir mulai meninggalkan sekolah adiwiyata tingkat ASEAN itu. Rumah pun menjadi tujuan akhir kala purnama telah menampakkan jati diri yang sesungguhnya. Tak terasa aku telah sampai pada singgasanaku. Kamarku yang identik pada pola-pola teratur menjadikan aku bersemangat untuk melepas segala keletihanku. Ku dengar dering HP ku berbunyi, muncul sebuah notifikasi dari sebuah nama yang masih asing diingatanku, Ananda.
“Mas kirim foto yang tadi”
Tak perlu memilih foto yang sekiranya bagus ataupun jelek, aku langsung mengirim semua hasil dokumentasi tersebut pada dia.
“Makasih mas”
“Iya, sama-sama dek”
Tak lama kemudian, muncul sebuah notifikasi pada sub-status. Seseorang entah siapa telah membuat snapgram dengan segala urusan dan tujuannya. Terpampang jelas sebuah nama dengan inisial huruf A, ya itu Ananda. Tergugah jiwaku untuk memberikan tanggapan atas apa yang diperbuatnya itu.
“Sereman kamu dek hehee”
“Ha Mas Bagas ngga di kasih make up kok” Balas dia
“Tadi pagi kan udah wkwkwkk”
Kami pun mulai terlarut dalam berbalas pesan. Hari demi hari aku dan Ananda semakin intensif dalam berkomunikasi lewat HP. Lain halnya saat bertemu langsung di sekolah. Ketika kita berpapasan dan bertatap muka, kita berdua tertunduk diam dan enggan untuk bertegur sapa. Akan tetapi, dalam masing-masing diri kita merasakan sesuatu yang tidak biasa. Rasa ingin bertegur sapa, berbicara sejenak, bercampur dengan malu yang bergejolak membuat kita saling membeku dan menghindar satu sama lain untuk menyembunyikan rasa itu. Tak terasa PHB pun sudah menghitung beberapa hari lagi. Bagi aku pribadi, rasa aneh yang mengidap dalam benak jiwa tadi sangat menggangguku ketika aku sadar bahwa statusku sebagai pelajar. Kurasa rasa itu juga muncul pada diri Ananda. Dengan kebulatan tekad, aku mengungkapkan semua perasaan dalam diriku pada dia, bukan untuk mengajak berpacaran, tetapi untuk menegaskan agar kita berdua hanya berteman saja. Menurutku, berteman saja sudah cukup. Kita bisa saling mendukung satu sama lain dan mengajak untuk berbuat kebaikan.
Di kemudian hari, lebih tepatnya kala sore itu, aku mengajak Ananda berolahraga di Stadion Bumi Phala, markas klub sepak bola dari kota yang berjuluk sebagai Kota Tembakau. Bukan lain lagi yaitu Persitema.
Setelah beberapa kali putaran, tak terasa senja mulai tampak. Purnama pun sedikit demi sedikit mulai menunjukkan jati diri yang sesungguhnya. Inilah waktu yang tepat! Aku akan mengutarakan keinginanku untuk memperjelas bahwa untuk kali ini bukan waktu yang tepat untuk berpacaran, melainkan berteman saja sudah membuatku nyaman.
“Nda, aku tau kalo kita udah saling suka. Tapi aku ngga ingin kita pacaran. Dalam islam, pacaran itu tidak boleh, dosa. Kamu ngga keberatan kan kalo kita cuman sekedar teman?” Ujarku dengan canggung.
“Hmmm iyaa mas, aku juga engga suka kalo pacaran. Misal saling suka itu wajar. Ngga perlu sampe pacaran” Balas dia dengan gugup.
“Iyaa nda, kita temenan kan juga bisa saling support, saling mengingatkan pada kebaikan.”
“Iya mass, aku setuju heheee”
Kala itu kulihat pipi dia yang tampak memerah. Berbicara pun terbata-bata. Aku tau kalo dia sedang merasakan gejolak asmara yang begitu menggebu-gebu. Bukan apa, kurang lebih aku juga merasakan seperti itu.
Akhirnya aku dan Ananda sepakat untuk berteman, tidak lebih dari itu. Kelak waktu sendiri yang akan memberikan jawaban. Kita masih duduk di bangku SMA. Perjalanan kita masih panjang. Mari kita berjuang untuk masa depan yang cerah.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Nyangkut di SMADA FEST
Short StoryCerpen singkat berisi pengalaman pribadi, selamat menikmati :)