Hari ini adalah hari pertama pernikahan Rina bersama Danu. Mereka dijodohkan tanpa mengenal satu sama lain sebelumnya. Jika boleh jujur, pernikahan perjodohan terpaksa nun mendadak ini membuat dirinya sama sekali tak mengenal karakter suaminya. Meski demikian, ia tetap berusaha memberi pelayanan terbaik. Seperti sekarang ia memasakkan telur mata sapi bersiap makan malam.
Detik berikutnya Danu datang dengan hidung mengendus-endus. Ia melirik telur ceplok di toflen. Wajahnya kaget, lalu berkata "loh, Mas 'kan mintanya telur setengah matang. Kenapa telur kematangan hampir gosong begini. Pantesan dari tadi ada bau nggak enak." Sambil berkacak pinggang menatap istrinya.
"Maaf, Mas. Ya, udah, aku buatin lagi telur setengah matang, ya," sahut Rina pasrah seraya kembali memasak telur ceplok setengah matang.
Beberapa menit setelah telurnya jadi Rina berujar pada Sang Suami "Mas, telornya udah jadi."
"Aku udah nggak berminat makan telur setengah matang lagi," jawab Danu dari meja makan sambil memainkan gawainya.
"Lah, terus ini taru di mana?" Rina masih berusaha bersabar meski tak dihargai.
"Taro aja di situ." Menunjuk ke lantai.
Rina geram. Gigi-gigi atas dan bawahnya menggeretak. Ia hanya ingin dihargai. Udah. Tidak lebih. Alhasil ia menuruti kemauan suaminya, yaitu melempar telur itu ke lantai. "Itu 'kan yang Mas mau." Danu membulatkan matanya. Marah serta geram atas ketidakhormatan Sang Istri. Danu bangkit dari kursi, berkacak pinggang sambil menampakkan tatapan garang "nggak punya adab, kamu." Prank! Sambil melemparkan piring ke bawah lantai hingga pecah. Rina yang merasa tak dihargai dari tadi itu pun terus melawan. "Ini 'kan yang Mas mau" selagi melemparkan telur-telur mentah ke lantai. Dibalas lagi oleh pecahan piring, cangkir dan seluruh alat makan di atas meja makan. Sontak dapur mereka menjadi sebuah Medan peperangan. Sebenarnya, mereka sadar bahwa ini salah. Ini hanya karena masalah sepele. Cuman karena telur. Sudah. Tidak lebih. Namun, ego masing-masing membuat dua pasangan suami istri ini terus bertingkah seperti anak kecil.
Rina frustrasi melihat kekacauan kian menjadi-jadi. Ia mengacak-acak rambutnya lantar bersuara "ya, sudah Mas. Aku nggak mau tinggal di sini lagi. Aku mau pulang. Mau pulaaaaaaaang!" Teriak Rina seraya menghentak-hentakkan kaki.
Danu yang dilumuri emosi hingga matanya memerah itu tak berpikir panjang "ya, sudah. Sana pulang."
Rina melangkah menuju kamar. Mengambil koper lantas memasukkan baju-bajunya ke dalam sambil menangis tersedu-sedu. Rina hanya minta dihargai karena ia sudah berusaha melayani suami, tapi, Mas Danu terlalu cerewet.Ia terus-menerus menghentak-hentakkan kaki menuju pintu ke luar.
"Mau diantarkan tidak?" Tawar Mas. Kalau boleh jujur, Danu tidak mau istrinya pergi. Tapi ego Danu lebih tinggi dari apa pun. Ia pantang mengemis pada seorang perempuan.
"Nggak perlu. Aku naik taksi aja," jawab Rina menenteng koper. Kini keduanya sudah diteras rumah. Selepas itu, Rina berjalan sampai ke luar pagar. Ia menengok suaminya ke belakang. Danu ternyata masih memerhatikan dirinya di teras rumah. Padahal Rina berharap Danu mengekangnya untuk pergi.
Di pinggir jalan sambil menjaga taksi Rina menelepon orangtuanya "Ma, aku berantem sama Mas Danu. Aku mau pulang aja. Aku nggak mau punya suami kaya dia."
"Hah? Apa? Mau pisah?" sambar Sang Mama. "Wah, nggak bisa. Belum malam pertama udah mau cerai aja. Emang karena apa? Danu memukuli kamu? Danu selingkuh? Atau apa. Jelaskan!"