Adit berlari kecil mengejar Icha yang ada di depannya, "Cha, tungguin."
"Apasih, rangkul-rangkul."
Adit hanya tersenyum, dia tetap merangkul Icha hingga keluar gerbang kampus."Udah dong, marahnya." Adit mendekat dan sedikit membungkukkan badannya yang tinggi hingga sejajar dengan Icha.
"Nanti pipi tembemnya hilang."
Icha sedikit membuat jarak, "ya kamu, aku udah nungguin 2 jam disana tapi kamu malah pergi sama pacarmu."
Adit masih sejajar dengan Icha, "pacar?"
Icha membuang muka, "iya."
Adit menormalkan kembali ketinggiannya, "yaudah, aku traktir mie ayam."
"Kebiasaan deh, narik-narik. Aku udah kenyang."
"Sudah sampai, kenapa baru bilang?"
Icha tersenyum jahil, "pengen ditarik kamu."
Adit merendahkan ketinggiannya kembali, kemudian tersenyum, "kamu ya.""Temenin aku dua hari lagi, ya?"
"Males, minta temenin aja sama pacarmu."
"Pacarku yang mana sih, Cha, aku aja belum pacaran."Untuk kesekian kalinya, mereka hanya bertatap dalam diam.
-
Adit meletakkan tasnya diatas meja, "pagi, Cha."
"Pagi." Icha fokus pada buku diatas mejanya.
"Belum bikin tugas?"
"Kamu ga liat, ini aku lagi bikin."
Adit melempar buku tugasnya keatas meja Icha. "Kebiasaan."
"Bener deh, temenku paling baik cuma kamu."
Teman? Sudah biasa, dalam hati Adit. Sementara Icha, tidak lagi mengerjakan tugasnya, menatap lembar-lembar kertas yang berisi tulisan cukup lama.
Adit memecah keheningan, "nanti mau cari novel?"
Icha meletakkan pulpennya, memandang Adit yang duduk diatas meja dekat kursi Icha, "tau darimana aku mau cari novel?"
"Dari instastory-mu, lah."
Icha lanjut menulis tugas, "ooh."
"Jadi?"
"Apanya, Dit?"
"Habis kelas langsung, atau mau makan dulu?"
Hening. Icha masih mengerjakan tugasnya.
"Atau, makan dulu baru cari buku?"
Icha menatap Adit, pikirannya masih keruh atas perkataannya sendiri.
-
"Aku mau bayar dulu, ya."
"Eh, sama ini dong."
"Bagus, buat pacar kamu, ya?"
"Iya."
Hening, mereka kembali saling tatap.
"Dompetku di kamu, kan? Pake itu aja, ya. Aku mau kedepan dulu."
"I-iya."
-
"Teman, ya, Cha." Adit menatap vapenya sambil tersenyum miris.
Tidak lama, Icha keluar dari toko buku.
"Adit, bisa ga sih ga merokok pas lagi sama aku?"
"Aku engga ngerokok, Cha. Nge-vape."
"Sama aja. Nih dompet sama buku diary-nya."
Adit mematikan dan memasukkan vapenya kedalam tas, "diary-nya pegang aja, buat kamu. Ayo, makan."
"Tapi kita engga pacaran."
Hening lagi untuk kesekian kalinya, Adit menatap Icha dalam-dalam. "Kamu bikin aku tambah laper deh, Cha."
-
"Halo." Suara Icha masih sayu.
"Sudah siap? Ayo temenin aku basket."
"Aku baru bangun, Dit, kenapa ga sama pacar kamu aja, sih." Icha masih menutup matanya.
Adit diam cukup lama di dalam mobil.
"Aku sudah sampai di depan, ketemu ibu juga lagi nyiram tanaman, katanya suruh masuk aja. Siap-siap sana, atau aku ke kamarmu sekarang."
-
"Masih pagi banget."
Icha masih memejamkan matanya walaupun dia sudah sampai di lapangan basket, "kenapa engga sama pacarmu?"
"Ini sama pacarku." Adit mendribble-kan bola basketnya tiga kali, lalu berhasil melakukan three point.
Icha? Seketika Matanya langsung melek.
Lagi, mereka berasa di dunia hening, yang ada hanya suara pantulan dari bola basket Adit.
Adit memecah keheningan, "liat deh, nomor punggungku." Adit membalikkan badan agar Icha dapat melihat punggungnya.
"Cie, pasti tanggal jadian kamu sama dia, ya?"
"Salah."
"Bohong banget."
"Engga, tanggal lahir kamu."
Lagi dan lagi, mereka terjebak keheningan dan saling menatap dengan dalam.