first day

7.8K 606 73
                                    

Derap langkah sepatu kulit terdengar memenuhi pendengaran. Ramai. Tidak hanya sepasang sepatu. Entah ada berapa pasang. Semuanya melangkah dengan cepat menapaki tanah yang kering karena berlangsungnya kemarau.

Entah berapa pasang tangan mulai bergerak cepat merobohkan rumah-rumah yang beratap dari pelepah dan berdinding bambu anyaman.

Teriakan demi teriakan memekakkan telinga. Berbagai suara saling bersahutan. Jerit wanita yang ketakutan. Tangis anak-anak yang menyayat hati. Bentakan sekelompok orang yang berseragam rapi nan gagah.

Beberapa tangan memecah kuali besar minyak dan beberapa obor yang menerangi jalanan diambil dan dilempar masuk ke dalam rumah-rumah.

Malam yang biasanya sepi senyap itu kini bising oleh rasa takut dan keputusasaan.

Banyak. Sangat banyak yang mengenakan pakaian sama. Dengan senjata di tangan kanan dan satu tangan lainnya menyeret dan menarik keluar para penduduk yang tengah beristirahat.

Kalimat perintah mengalir keluar dari lisan dan eksekusi dimulai saat itu juga. Pedang-pedang itu mulai terayun dan nyawa terlepas dari raga.

Tanah tidak lagi kering karena musim kemarau. Mulai basah oleh darah.

Habis. Dalam waktu singkat semua berakhir begitu saja. Mayat-mayat mulai diringkus agar tidak menimbulkan bau nantinya. Rumah-rumah dibumihanguskan. Kehidupan di sana berakhir dalam sekejap. Dalam satu malam.

Seokjin tersentak bangun dari tidurnya. Tubuhnya gemetar ketika ia bermimpi hal itu lagi. Mimpi yang amat mengerikan.

Tubuh Seokjin basah oleh keringat. Rasa takut merambati hatinya. Semua terasa masih sangat nyata dalam benaknya. Membuat Seokjin semakin merasa hancur dan terpuruk.

Kejadian malam itu. Sudah lewat. Namun, bagi Seokjin rasanya malam itu masih terus berlangsung. Masih segar dalam ingatannya. Membekas begitu dalam.

Seokjin terbaring lemas di atas tumpukan sabut kelapa yang sudah seperti alas tidur. Seokjin terbaring lemas dalam sepetak ruang dengan bagian depan adalah kayu yang disusun membentuk kotak-kotak.

Seokjin tidak tahu ia sedang diperlakukan seperti apa. Ia merasa seperti binatang yang tengah dikurung di dalam kandang.

Perut Seokjin bergemuruh. Lapar, sangat lapar. Sudah berapa hari ia tidak makan. Hanya semangkuk air bening yang diletakkan di dekatnya. Satu hari mendapat tiga mangkuk.

Semua orang yang Seokjin kenal sudah tiada. Tewas dalam tragedi malam itu. Hanya Seokjin yang tersisa.

Seperti biasanya. Seokjin akan berdoa untuk keselamatan semua orang pada akhir malam. Biasanya semua akan terasa senyap sehingga Seokjin dapat berdoa dengan tenang hingga pagi tiba.

Malam itu, Seokjin baru selesai membersihkan tubuhnya selepas tidur dan menuju ruang doanya. Sesaat setelah Seokjin duduk bersila, keributan itu dimulai.

Seokjin adalah keturunan terhormat di desanya. Kakak laki-lakinya adalah calon pemimpin desa yang amat disegani. Kakaknya akan segera menggantikan kakek mereka memimpin desa kecil yang subur itu.

Sedangkan Seokjin dipersiapkan kakeknya sebagai pemberi berkah di desanya. Sejak masih kecil, Seokjin dipingit di rumah dan diajari berbagai ilmu sama seperti kakaknya. Kecuali cara memimpin dan bela diri.

Dua hal itu adalah tugas kakaknya, Seokjin berperan dari balik tirai untuk keberlangsungan desa. Seokjin setiap hari hanya berdoa dan berbuat baik pada warga desa yang datang padanya.

Second Chance [NamJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang