Lelaki Penunggu Senja

121 5 9
                                    

Dia ada di sana lagi. 

Berdiri tegap dengan tubuh proposional terbalut kaos warna biru muda bergaris putih dan celana jeans warna senada. Wajahnya tampan dengan garis rahang yang kuat. Kulitnya sawo matang, tampak kontras dengan warna kaosnya. Alisnya tebal membingkai matanya yang selalu menatap ke arah laut. Aku yakin ia telah mematahkan banyak hati perempuan. Hal itulah yang membuatku tertarik untuk memindahkan sosoknya ke dalam kanvas. Setiap senja aku melihatnya berdiri di tepi pantai, tak jauh dari tempatku melukis. Ia selalu memandang matahari senja yang perlahan tenggelam. Tangannya bersedekap ke dadanya dan pandangannya jauh menembus batas cakrawala.

Kadang aku ingin mendekatinya sekedar untuk tahu apa yang membuatnya tahan berlama-lama berdiri dengan posisi yang sama seperti itu. Bukankah gulungan ombak hanya begitu-begitu saja? Atau barangkali ada seseorang yang ditunggunya? Namun aku tak pernah melihat siapa pun yang datang menjumpainya hingga senja semakin menua. Saat langit mulai menghitam, ia berbalik arah menjauhi tepi pantai.

Hingga hari ke tiga aku menginap di villa di tepi pantai ini, aku tak juga berani mendekatinya. Apa nanti yang akan dipikirkannya jika seorang perempuan tak dikenal tiba-tiba datang dan menanyakan hal-hal pribadi semacam itu? Memalukan!

Namun semesta rupanya berkehendak lain. Aku tak perlu harus mendekatinya untuk bisa mengenalnya. Senja ini senja ke lima aku melukis di tepi pantai. Tak kusangka tiba-tiba saja ia telah berada di belakangku.

"Bagus sekali lukisanmu" katanya. Aku terperanjat sekaligus terpukau saat kulihat lengkung senyumnya dalam jarak begitu dekat. Ia mengacungkan kedua jempolnya ke arahku yang tak mampu menyembunyikan kegugupanku. Sial! Aku ketahuan sedang melukis dirinya. Betapa memalukan!

"Mmmaaf... Aku melukismu tanpa ijin," ucapku tersipu. Lelaki itu hanya tertawa kecil dan mengatakan itu bukan masalah. Bahkan ia terus memuji hasil lukisanku itu. Kami pun berkenalan. Namanya Reyan, lelaki penunggu senja yang menjadi inspirasi lukisanku.

Reyan tak banyak menceritakan dirinya. Ia bahkan terlihat ingin banyak tahu tentangku dan lukisanku. Maka akulah yang lebih banyak bercerita dan ia hanya mendengarkan dengan perhatian penuh.

"Aku akan kembali ke kotaku lagi," kataku saat bola langit tinggal setengah lingkaran di batas cakrawala. "Cutiku telah habis," jelasku lagi.

"Oh begitu? Selamat kembali ke rutinitas ya," sahutnya sambil tersenyum. Kutatap matanya yang masih memandangku begitu dalam. Aku ingin tahu apakah ia juga merasa kehilangan diriku seperti aku merasakan kehilangan dirinya? Ah, tapi aku tak berani bertanya. Dalam hati aku sedikit menyesal mengapa kami baru bisa berbincang-bincang di hari terakhirku menginap di villa tepi pantai ini. Ah, tapi sudahlah. Aku mestinya bersyukur masih sempat mengenal lelaki yang menginspirasi lukisanku itu walau hanya sebentar saja.

Paginya saat aku selesai berkemas kusempatkan berjalan-jalan sebentar ke tepi pantai. Kulihat Reyan duduk di atas batu besar tak jauh dari bibir pantai. Ia melambaikan tangannya.

"Hai, sudah siap?" Ia menyapa dengan nada ringan.

"Sudah. Sejam lagi aku berangkat!" jawabku.

"Take care ya," balasnya lagi. Aku mengangguk sambil membalas lambaiannya. Kuhela nafas panjang. Barangkali aku bukan seseorang yang istimewa baginya hingga ia tak merasa kehilangan saat aku meninggalkan tempat ini. Tak mengapa. Wajahnya yang memenuhi kanvas lukisku akan menjadi kenangan terindah untukku darinya.

Lalu terdengar suara ribut-ribut di belakangku. Saat kutolehkan kepalaku ke arah itu, kulihat beberapa orang berkerumun. Mereka berteriak tentang sesosok tubuh yang terdampar di pinggir pantai. Katanya tubuh itu menggelembung dan membusuk.

"Dia lelaki yang tenggelam dan hanyut beberapa hari lalu," kata salah seorang dari mereka. Penasaran, kudekati kerumunan orang-orang itu. Dadaku berdegup kencang. Sesosok tubuh yang membengkak itu mengenakan kaos berwarna biru muda bergaris putih. Meskipun wajahnya bengkak, aku tetap mengenali pemilik alis tebal itu. Refleks kutolehkan kepalaku ke arah batu besar tempat Reyan tadi duduk sambil melambaikan tangannya padaku. Tak terlihat siapa pun di sana. Hanya ada batu besar yang sendirian menahan hempasan ombak di bibir pantai.

Lelaki Penunggu SenjaWhere stories live. Discover now