Merengkuh Luka

49 12 14
                                    

Lampung,Mei 2011. Senyum itu merekah dini hari menatap tulisan kecil di potongan kertas karton yang kemuadian di tempelkan di papan steorofom di dinding kamar. Sebuah kertas kusam yang bertuliskan kalimat motivasi yang di buat sendiri, sebuah kalimat yang membuat bangkit setiap kali terpuruk. kertas di papan busa itu sudah tertumpuk-tumpuk sudah tidak ada ruang bahkan hanya untuk selembar potongan kertas karton kecil. Senyum itu belum hilang masih bertahan cukup lama bahkan dengan mata merah dan wajah sembab jelas sekali ia baru selesai menangis. Jam menunjukan hampir pukul 3 pagi, masih berbalut mukena putih yang sedikit lusuh aku berjalan pelan ke pojok kiri kamar sebuah sejadah biru dongker terbentang, tempat untuk sholat setiap waktu dan mencurahkan isi hati pada Tuhan di sepertiga malam. Karna selalu ada hari yang di lalui dengan tidak mudah, aku duduk di sana cukup lama tertegun sampai merasa mataku semakin berat tidak tertahankan dan memutuskan untuk berbaring barang sekejap sambil menunggu waktu subuh, tanpa disadari aku benar-benar terlelap dengan air mata yang tiba-tiba mengalir tak terasa saat memejamkan mata. Suara ketukan pintu membangunkanku dengan mata berat aku melirik jam yang menunjukan hampir jam 6 pagi, aku terperanjat kaget sambil berlari membuka pintu menuju toilet untuk mengambil air wudhu mengabaikan wanita yang berdiri di depan pintu kamar bahkan tidak menyadari aku masih memakai mukenah "Mukenanya buka dulu La" tepat saat aku hampir menginjakan kaki kekamar mandi aku berhenti mendadak, melepas mukena dengan buru-buru, mengambil air wudhu lalu kembali kekamar dengan berjinjit jinjit kedinginan sambil memakai mukenaku lagi.

Jam menunjukan pukul 07:46 aku sudah siap pergi kesekolah tentu saja dengan semua pekerjaan rumah yang sudah beres aku tak pernah membiarkan Bibi membereskan rumah sendirian walaupun tidak membantu banyak setidaknya sudah mencuci piring dan menyapu rumah serta halaman sebelum bersiap untuk pergi kesekolah. Aku berlari dengan cepat bukan karna takut terlambat, sekolah hanya berjarak 10menit dari rumah itu karna aku tidak sabar menemui orang yang selalu bediri di bawah pohon besar didekat sawah yang selalu memanggilku minta di pegangi tangannya agar ia tidak tergelincir dan jatuh kesawah "Joni" teriakku padahal aku masih cukup jauh dari tempat Joni berdiri, Joni melambai kesembarang arah aku tidak bisa menahan tawaku saat seorang petani membalas lambaian Joni padahal sebenarnya dia melambai padauk, "ayo Jon" ucapku sambil mengambil tangan Joni dan mulai berjalan "Jon tadi kamu dadah di dadahin juga sama pak Sigit" sambungku "pak Sigit si Lai? Kan aku ngelambai ke kamu bukan pak Sigit" jawab Joni sambil terus tersenyum "iya abisnya kamu salah dadah" timbal sambil terus tertawa sempat kulirik wajah Joni ia masih terus tersenyum menatap lurus entah kemana. Kami terus berjalan melewati pesawahan embun di padi masih terasa sangat basah, pagi yang menyenangkan sepert biasa sampai kami berhenti di depan rumah yang sangat besar untuk ukuran orang di kampungku "Jon udah sampe, aku duluan kesekolah ya" ucapku sambil melepaskan tangannya "iya Lai" Joni masih tersenyum ntahlah kurasa dia tidak berhenti tersenyum sejak tadi "dadah joni" ucapku tepat saat akan berjalan "Lai nanti mampir ya aku mau kerumahmu" kata Joni sambil mencari cari tanganku, kuraih tangannya "Jon kan aku udah bilang lusa aku Ujian Nasional, jadi harus belajar" jelas aku melihat tidak ada lagi senyum diwajah Joni tapi tak lama dia tersenyum lagi, senyum kesukaanku dari semua orang yang ku temui setiap pagi "eh iya Lai aku lupa hehe" jawabnya sambil melepaskan tanganku "dah Laila" sambungnya sambil meraba raba pintu pagar lalu membukanya, kulihat mba Ana berlari menghampiri Joni dan memapahnya masuk kedalam rumah aku yakin mba Ana tidak melihatku karna biasanya dia pasti menyapaku.

Disekolah hari ini kurasakan lagi perasaan yang sangat menyakitkan saat semua teman-temanku membahas tentang tes masuk Universitas aku hanya diam mendengarkan dengan perasaan yang entah kenapa sangat menyakitkan, dulu aku siswa yang sangat berprestasi dibidang akademik aku selalu juara umum setiap tahun hanya saja itu tidak membantuku untuk mendapatkan beasiswa karna sekolahku dulu masih jauh dari kota dan pemikiranku belum maju untuk mendaftar beasiswa sejak awal. Tidak ada yang menarik disekolah hari ini besok sekolah diliburkan hari tenang kata pak Kepala sekolah sebelum lusa kami mengadakan ujian nasional, aku siswa yang banyak memiliki teman dan juga cukup dekat tapi dianatara semua orang Leni yang paling dekat denganku Leni yang selalu kemana-mana denganku "Lai nggak kerasa bentar lagi kita lulus, aku mau bilang abis kelulusan aku bakal ke Jakarta kata bapak disana ada saudara yang mau biayain kuliah aku soalnya mereka gak punya anak" cecar Leni penuh semangat, Leni itu anaknya cerewet tapi tertutup dia jarang dia mau cerita soal kehidupannya tapi dia baik banyak sekali yang mau berteman dengan Leni dia itu favorit semua orang dia cerdas dan prestasinya dalam seni luar biasa bisa di banggakan "wah bagus Len kamu bisa kuliah dong" jawabku tak kalah semangat yang hanya di jawab anggukan oleh Leni sebenarnya aku paling tidak suka kalau ada yang bahas soal kuliah entahlah karna dulu mungkin kuliah adalah hal yang mustahil bagiku karna dulu tidak ada yang bisa membiayaiku Ibuku sudah lama meninggal sejak aku masih kecil dan bapak, Bapak sudah lama sekali sejak terakhir kudengar kabar bahwa dia sudah menikah lagi, sejak kecil aku tinggal bersama adik dari almarhum ibuku bersama bibi yang seorang janda ia sudah berpisah dengan suaminya sejak lama setelah keluarga suaminya tau kalau bibi tidak mungkin memiliki anak, bibi minta diceraikan karna dulu dia tidak mau melihat suaminya menikah lagi. Aku dan Leni masih terus berjalan aku terus menoleh kearah rumah besar di sebrang jalan ini menatap kearah jendela berharap Joni disana dan melembai kepadaku "Laila kok bengong?" bisik Leni di telingaku "kamu nungguin Joni yaaa" sambungnya meledekku "ih enggak apa sih Len" tegasku sambil mencoba mencubit Leni "eeh gak kena" timpal Leni sambil berlari aku mengejarnya dan tidak kusadari seseorang berdiri di belakang pagar rumah besar itu mendengar percakapan ku dan leni, aku dan Leni masih kejar kejaran tanpa kami sadari sudah sampai di persimpangan "dadah Laila" teriak Leni sambil berbelok terus berlari ku balas dengan melambaikan tangan dan kembali berjalan, hari ini tidak ada Joni lagi seperti kemarin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Merengkuh lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang