01. Crumbly

14 3 5
                                    

Angin berhembus menerbangkan helai rambut seorang gadis yang tengah menunduk dalam dan menatap kosong jurang didepannya.

Bukan.

Dia bukan ingin bunuh diri.

Bunuh diri hanyalah untuk orang-orang lemah.

Kenyataannya ia pergi ke tempat itu adalah karena dilema, dilema untuk mengambil suatu keputusannya diantara pilihan yang sulit. Maka dari itu, ia mencari tempat yang dapat memberikan dirinya ketenangan untuk mengolah keputusan.

Ia berulang kali menghela napas dalam, memikirkan apa yang sudah menjadi resikonya.

"Lo udah ambil keputusan?" Tanya seorang pria yang datang dengan tiba-tiba dan membuat Sherlina terlonjak kaget dan hampir saja jatuh ke jurang di depannya. Saking kagetnya Jantungnya bekerja dua kali lebih cepat dalam memompa darah. Perlahan ia mengambil napas lega karena ia berhasil mengondisikan jantungnya kembali berdegup normal.

Sherlin menatap nyalang wajah tanpa dosa Daris.

"Gimana? Jadi pindah?" Tanya pria itu seraya menghela nafas berat, mengabaikan tatapan Sherlin. Padahal ia pun tahu sebelumnya ia hampir tanpa sengaja membunuh Shelin.

"Kalo Lo mau pindah, ini kesempatan emas lo buat ngelupain dia,Sher. Ada resikonya sih, tapi keputusan ada di tangan lo sendiri, gue ga bakal maksa karena itu gabakal mengubah apapun." Setelah mengucapkan deretan kata tersebut, pria itu beranjak dari tempatnya berdiri dan meninggalkan Sherlina sendirian karena gadis itu tak bergeming di tempatnya. Sudah dua kali, hasilnya nihil. Sherlina masih tetap bungkam. Tak memberikan jawaban apapun kepadanya.

Sherlin bukan tak mau merespon ucapan Daris, dia mendengarnya. Hanya saja dia masih sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Terlintas sekelebat bayangan ingatan tentang dirinya yang diperlakukan salah oleh teman-temannya. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, setitik air jatuh menuruni pipinya. Lalu, dia mengambil bolpoin dan diary warna biru pastel, bolpoin di tangannya menari-nari di lembaran diary itu.

Cukup. Sudah cukup aku tak mau lagi diam termenung akan hilangnya ragamu,

Rasa ini sudah cukup sampai disini. Jangan biarkan aku terjerat dalam kepedihan yang mendalam lagi.
Aku tak mau terluka lagi jika dirimu hadir kembali.

Cukup disini. Aku lelah dan menyerah akan hati dan ragamu.

Ini akhir dari rasaku.

Ia sudah memutuskan.

Pilihannya adalah Pergi.

Sherlin menutup diary kecil miliknya. Meletakkannya kembali ke dalam tas rajut kesayangannya. Ia memejamkan matanya dan wajahnya menengadah ke atas seperti memandang awan yang bergelayut manja diantara langit biru. Menikmati angin yang meniupnya, seolah ingin meringankan beban yang di pundaknya. Terbesit keinginan mengendarai kendaraan dengan kecepatan maksimal alias ngebut, tetapi ia tidak berani mewujudkannya.

Tiba-tiba ponsel di saku roknya berdering tanda ada pesan masuk dari seseorang. Awalnya ia mengabaikannya, karena berpikir bahwa pesan itu dari Daris, kakaknya yang pasti akan mengatakan hal yang seperti tadi. Namun, ternyata deringan itu tak hanya sekali, tetapi tiga kali. Membuat Sherlin kesal karena masa ketenangannya diganggu. Ia membuka layar ponselnya dan ketika melihat notifikasi , ia tercekat.

Taddeo Erlang Mahatma Altair
Hai
○Kamu dimana?
○Aku minta maaf, kumohon kembalilah.

Mata Sherlina membuka mata lebar, tanda dirinya terkejut. Ia membaca pesan dan nama pengirimnya berulang kali untuk memastikan penglihatannya tak bermasalah.

Dan memang benar pengirimnya dari Erlang. Ia membaca pesannya satu persatu.

Ia mendengus membaca pesan terakhir. Semudah itu ia meminta maaf dan menyuruhnya kembali? Ia mengetikkan balasan untuk Erlang.

Sherlina Leta F.
Bukan urusanmu dan Aku tidak peduli


"Tapi aku peduli denganmu."

Suara itu.

Suara orang yang sangat ingin ia hindari.

Suara orang yang mengirimkan pesan kepadanya.

Orang itu bahkan tanpa permisi duduk di sebelahnya. Rambut acak-acakan Dan wajahnya yang datar seolah tak menutupi ketampanannya. Sontak Sherlin melepaskan pandangannya dari wajah Erlang. Takut khilaf pasalnya ini akan menjadi pertemuan terakhir. Dab entah mengapa sekarang visual Erlang malah terlihat semakin mempesona. Ia mengalihkan pandangan ke hamparan hijau luas di hadapannya. Ia menghela napas pelan untuk menetralkan kembali jantungnya yang berdegup cepat sejak kehadiran Erlang di sisinya.

"Aku akan pergi." Inilah keputusannya. Ia tahu jika ia tetap disini maka hidupnya tak akan bisa tenang. Jika ia pergi, setidaknya ia akan mencoba membunuh perasaan ini.

I know it is hard, but i will try.

"Tetaplah disini, Sher."

"A.. a..ku membutuhkanmu."

Omong kosong.

Jelas sekali.

Dia bahkan gagap saat mengatakannya.

Dia mengatakan itu dengan entengnya, tanpa memikirkan perasan gadis yang ada di sebelahnya.

"Tenang, Kau bisa memanfaatkan salah satu pengagummu untuk menggantikan posisiku."

"Tidak. Aku ingin Sherlina. Hanya Sherlina. Bukan mereka."

"Apa aku terlihat peduli?"

Sherlin beranjak bangun untuk melangkah pergi. Saat akan bangun, matanya tak sengaja bersibobrok dengan mata Erlang, tiga detik ia habiskan hanya untuk menatap Erlang.

Dalam hati ia bertekad
Ini untuk yang terakhir kalinya.

Erlang segera bangun menyusul Sherlin, mengurangi jarak diantara mereka lalu menahan lengan Sherlin, menariknya sampai tubuh sang dara berhadapan langsung dengannya.

Sherlin yang diperlakukan seperti itu pun meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Namun sulit karena dirinya kalah tenaga dengan Erlang. Erlang memegang pundaknya erat seperti tak mau kehilangan. Erlang memeluknya erat sambil berkata,

"Kau boleh pergi, tetapi izinkan aku memelukmu, aku janji ini akan jadi yang terakhir."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

StareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang