"Ugh!" aku menggerutu. Perlahan-lahan aku membuka mata karena takut dengan apa yang akan aku lihat. Namun, ada seberkas kecil cahaya menyerangku. Aku pun menjerit.
Aku benci cahaya. Aku benci sinar. Apalah itu, pokoknya yang terang-terang.
Sedetik kemudian, aku sudah dalam posisi telungkup di lantai, memicingkan mata ke arah cahaya itu datang. Sekujur tubuhku langsung merinding. Segera aku berlari meninggalkan kamar sambil mengumumkan kejadian barusan ke seluruh penjuru rumah.
"Aku bisa saja buta, lumpuh, atau MATI! Bagaimana kalau sinar itu menembus tengkorakku dan membakar batang otakku?" aku berkoar-koar di ruang makan.
"Duh, Macbeth. Itu kan hal biasa, bocor kecil. Jangan berlebihan, deh," kata Judy dengan nada datar. Papa dan Mama cuma melirikku kemudian saling berpandangan sebelum terkikik geli. Mereka semua sudah duduk dengan tegak di meja makan. Masing-masing mengenakan setelan resmi yang terlalu glamor untuk pagi hari. Tapi, itu sudah kebiasaan kami. Para wanita banyak yang mengenakan korset dan gaun berimpel sepanjang hari, bahkan ketika tidur. Pria apalagi, jas dan jas dan jas dan sepatu pantofel.
Makanya, segera setelah menertawakan kepanikanku, keluargaku tiba-tiba malah panik sendiri. Semua karena melihatku mengenakan celana jeans. Jeans yang belel. Belel sekali. Oh, yeah.
"Ini model celana yang paling digemari anak zaman sekarang. Ripped jeans!"
"Tidak, Macbeth!" Mama menggelengkan kepala karena putus asa, "kamu harus ingat kelas makhluk seperti kita! Kita berkelas! Berkelas!" Baiklah, aku sudah terlalu sering mendengar ocehan Mama untuk menjadi lebih berkelas. Sekali bicara, kata 'kelas' bisa diulang hingga 2 – 3 kali. Next.
Papa melotot, aku benar-benar bergidik melihatnya. Ia menatapku tajam dari atas ke bawah, tapi matanya berhenti di bagian kakiku yang mengenakan sandal jepit. Dia terpana dan ternganga sementara tatapan melototnya semakin intens. Tak ada satu patah kata yang keluar. Ini juga aku sudah tahu jadinya tidak terlalu khawatir.
Judy jelas-jelas menunjukkan wajah mengejek. Keningnya berkerut, bibirnya satu sisi tertarik ke atas, dan sorot matanya benar-benar jahat. "Kau membuatku malu, tahu. Ih!" cukup begitu saja perkataannya. Menurutku, dalam banyak hal, Judy adalah gabungan Papa dan Mama.
Sementara aku? Entahlah.
Sejak dulu, Mama sering mengeluh kenapa aku selalu berpikir, bertingkah, dan berpenampilan aneh. Tidak seperti dirinya dan Papa.
Biar kujelaskan. Atau lebih baik aku memperkenalkan diri kami saja.
Dimulai dari kepala keluarga. Papa bernama Jillian Silvershore. Kulitnya pucat, begitu juga kami semua, jadi ini tidak perlu disebutkan lagi untuk selanjutnya. Rambutnya ikal berwarna hitam legam, bahkan karena terlalu hitam—Mamaku mengatakan setiap kali menatap rambut Papa, dia akan merasa hampa. Aku juga agak setuju dengan Mama mengenai hal itu. Papa bertubuh tinggi besar, tingginya 199 cm dan beratnya .. aku tak tahu. Mama juga tidak tahu. Papa bilang dia sudah tidak pernah menimbang berat badan. Katanya, dia bisa memperkirakan dari bayangannya di cermin. Itu sama saja dengan omong kosong.
Pakaian kesukaan Papa adalah tuksedo merah menyala dengan bagian ekor yang mencapai mata kaki. Papa tidak terlalu suka pakaian berwarna hitam karena rambutnya sudah terlalu hitam, jadi dia ingin unsur warna lain pada dirinya. Selain rambutnya yang hitam, sepatu Papa juga selalu berwarna hitam. Saat aku kecil, Papa pernah melontarkan guyonan kalau dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki berwarna hitam. Sekarang aku memahami perkataannya, maksudku memang rambut dan sepatunya berwarna hitam--see, ujung rambut hingga ujung kaki? Tapi berkat perkataan Papa, dulu aku sampai diejek teman sekelas karena ngotot mengatakan merah itu variasi dari warna hitam. Hmph, Macbeth kau benar-benar gadis lugu yang bersinar cemerlang bagai berlian di lagu Rihanna.
Eits, memuji diri sendiri adalah tindakan yang sehat dan sama sekali tidak narsisistik, tahu?
Kembali ke topik. Nah, perkenalkan ibuku yang kupanggil Mama. Namanya Alecia Silvershore. Kulitnya kurang pucat dibandingkan Papa, lebih merona sedikit. Tapi itu seperti perbedaan antara angka 5 dengan 6, dari skala 1 sampai 100. Beda tipis. Rambut merahnya memiliki tekstur dan tipe yang sama dengan Judy—tebal, bergelombang, dan mengkilap. Wajah Alecia, maksudku Mama, berbentuk hati. Wajahnya itu membuatnya tampak judes. Ya, menurutku sih, sehari-hari Mama cuma agak judes saja. Tapi kembali lagi perbedaannya seperti angka 5 dengan 6 pada skala 1 sampai 100. Beda tipis. Baiklah, sebenarnya Mamaku itu bengis-bengis manis.
Daan .. ini dia si anak sulung yang maha anggun dan antikemiskinan: Hybrid Silvershore. Ya, Hybrid dipanggil dengan Judy. Tanya aku kenapa. Baiklah, tanpa ditanya pun, akan kujelaskan. Judy dipanggil Hybrid karena .. saat lahir, dia tidak berwujud manusia. Oh, aku tahu, ini kedengarannya mistis dan aneh dan apalah itu. Percayalah, para tetua menganggap hal itu keistimewaan yang aneh—iya, pokoknya bukan mistis dan aneh. Dulu perubahan itu terjadi secara acak, tanpa batas waktu yang jelas. Ya, bisa berubah setiap 10 menit, persis seperti cegukan. Atau dalam 1 hari 1 malam, tidak ada perubahan. Sekarang Judy bisa mengatur perubahannya sendiri kapan pun dia suka.
Mengenai ciri-cirinya, dia adalah gabungan dari Mama dan Papa. Wajahnya berbentuk persegi dari Papa, hidungnya kecil dari Mama, mata agak sipit dari Papa, lidah bisa melipat seperti Mama, rambut hitam Papa yang bergelombang seperti rambut Mama. Dan, yang paling penting, gabungan sifat dari keduanya. Kadang aku merasa dia bersikap agak judes seperti Mama, padahal sejam lalu dia marah tanpa suara seperti Papa. Sejujurnya, dia lebih sering marah daripada bernafas. Sebagai adik sekaligus sasaran rutin kemarahannya, aku menyesalkan fenomena ini.
Mari kita kembali pada penampilanku. Aku sebenarnya tidak terlalu perduli dengan pendapat anggota keluargaku. Aku sayang mereka, tapi aku suka jeans belel. Sebelum mereka berubah membenciku, aku tetap akan suka pakaian yang santai, tanpa rimpel-rimpel seberat badanku, atau sepatu berhak tinggi yang membuatku varises.
Aku menempatkan diriku di kursi di sebelah Judy alias Hybrid. Dia mendesis begitu sandal jepitku tidak sengaja menginjak rok beludrunya. Aku nyengir sekilas hingga gigi taringku terlihat, lalu mengalihkan perhatian untuk sarapan.
"Ah, menu apa hari ini?" tanyaku diplomatis. Papa tidak mau menjawab karena dia masih marah, mulutnya mengerucut dengan tatapan sinis ke arah lengan bajuku yang baru disadarinya pendek sebelah.
"Setiap hari sarapan ini, mestinya kan kau tahu," tukas Judy seraya menyeruput makanannya.
Aku melongok ke arah baskom keramik yang kumiringkan sedikit di depanku. Uh, yeah. Ini membosankan.
Mama yang melihat tingkahku berdecak kesal, "Macbeth! Kau akan menumpahkannya! Jangan main-main dengan makanan!"
Aku memonyongkan mulut karena kesal. Mama pun mulai menasehatiku panjang lebar tentang pentingnya sarapan dan banyak minum untuk remaja seusiaku, sementara Papa dan Judy beranjak meninggalkan kami untuk melakukan kegiatan masing-masing. Dalam satu minggu terakhir, sudah 7 kali sarapan aku bersikap begini. Betul, setiap hari aku selalu mengeluhkan menu ini.
Setelah Mama mulai melambatkan arus kata-kata petuahnya, aku menggeliat sambil mengeluh, "Duh, Mama! Aku sudah bosan, tahu. Sarapan, makan pagi, makan siang, makan malam—menunya berkisar di sekitar ini terus!"
Kulihat Mama menarik dan menghela nafas dengan cepat. Benar, Mama dan anggota keluarga lainnya sudah tidak habis pikir melihatku. Setelah terdiam kurang lebih satu menit—seriusan, aku menghitungnya—Mama dengan sangat putus asa berkata:
"Pertama, sarapan adalah makan pagi, tidak perlu disebut dua kali," Mama memang sangat sensitif dengan tata bahasa, "yang kedua, kita ini bangsa DRAKULA, Macbeth!"
Oh, halo. Namaku Macbeth. Aku adalah drakula yang bosan menjadi drakula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Macbeth
VampireMacbeth yang ini bukanlah Macbeth dalam kisah tragedi Shakespeare. Namun, mereka sama-sama menginginkan kehidupan yang tidak seharusnya dimiliki. Kesamaan lain dari keduanya adalah darah. Bedanya, Macbeth di cerita ini tidak suka menumpahkan darah...