BAGIAN 5

571 29 0
                                    

"Iblis...!" desis Widura sambil memandangi padepokannya yang tinggal puing-puing saja.
Asap tipis masih mengepul di atas reruntuhan bangunan Padepokan Awan Perak. Tak ada satu bangunan pun yang masih berdiri. Semua sudah hancur, rata dengan tanah. Bahkan api masih terlihat di beberapa tempat Di antara puing-puing itu terlihat mayat-mayat berserakan, saling tumpang tindih. Bahkan beberapa di antaranya tertimbun reruntuhan bangunan yang hangus terbakar. Widura melompat turun dari punggung kudanya, diikuti Rangga. Mereka melangkah mendekati reruntuhan bangunan ini. Entah apa yang tengah berkecamuk dalam batin Widura saat ini. Rangga hanya bisa melihat wajah pemuda itu selalu berubah-ubah, dengan sinar mata memancarkan ketegangan.
"Ohhh...."
Tiba-tiba saja mereka dikejutkan rintihan lirih. Sejenak kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian bergegas mencari sumber rintihan yang hanya terdengar sesaat itu. Suara itu terdengar lagi, dan kali ini lebih lirih. Bahkan hampir saja menghilang ditelan hembusan angin.
Pendekar Rajawali Sakti dan Widura melangkah mendekati reruntuhan Padepokan Awan Perak. Rangga melihat wajah Widura memancarkan ketegangan. Memang, bangunan tempatnya berlatih selama ini tinggal puing-puing saja. Dan diantara puing-puing itu terlihat mayat-mayat temannya berserakan!
Rintihan lirih itu tepat di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. "Oh, benarkah...?!" Rangga tersentak begitu berpaling.
Di sebelah kanannya terdapat reruntuhan batu dan balok-balok kayu yang saling tumpang tindih. Tapi dia begitu yakin kalau rintihan itu datang dari tumpukan batu dan balok-balok kayu itu. Bergegas dihampirinya reruntuhan itu, dan diamatinya sesaat. Saat itu kembali terdengar rintihan lirih tertahan yang begitu pelan.
"Widura, ke sini....'" teriak Rangga memanggil.
Widura yang tengah memeriksa ditempat lain, bergegas berlompatan menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menunjuk ke arah tumpukan batu dan balok-balok kayu di depannya. Sebentar Widura memandangi tumpukan puing yang masih mengepulkan asap, kemudian bergegas menyingkirkan batu-batu dan balok yang bertumpuk saling tumpang tindih.
Kedua pemuda itu terus membongkar tumpukan reruntuhan puing, hingga akhirnya menemukan sesosok tubuh tua yang berlumuran darah. Baju jubah putih panjang yang dikenakan, sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Hanya gerak-gerik halus di dadanya saja yang menandakan kalau orang tua itu masih hidup.
"Eyang...," desis Widura, langsung mengenali orang tua itu.
Buru-buru Widura mengeluarkan laki-laki tua yang ternyata Eyang Wasista dari reruntuhan ini, kemudian dibawanya ke bawah pohon yang luput dari kehancuran. Hati-hati sekali pemuda itu membaringkan tubuh Eyang Wasista di atas rerumputan yang hampir kering.
"Eyang...," panggil Widura perlahan, dekat di telinga laki-laki tua itu.
Mendengar suara Widura, Eyang Wasista membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sebentar ditatapnya wajah muridnya itu, kemudian berpindah menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berada di sisi lain dari dirinya. Eyang Wasista kembali menatap Widura dengan sinar mata redup, seakan-akan sudah tak ada lagi napas kehidupan pada dirinya.
"Apa yang terjadi, Eyang? Kenapa bisa sampai begini...?" tanya Widura, agak tertahan nada suaranya.
"Widura.... Pergilah ke Padepokan Selendang Maut dan..., Padepokan Bulan Sabit..," lemah dan agak tersendat-sendat suara Eyang Wasista.
Widura hanya menganggukkan kepala saja. Hampir-hampir pemuda itu tidak kuasa lagi menahan air matanya yang hampir menitik. Sekuat tenaga dicobanya untuk tetap bertahan, dan memperlihatkan ketabahan di depan gurunya ini.
"Katakan pada mereka, Iblis Seribu Nyawa masih hidup...." Selesai berkata demikian, tubuh Eyang Wasista mengejang kaku, lalu menghembuskan napasnya yang terakhir.
"Eyang...!" jerit Widura langsung memeluk tubuh laki-laki tua yang sudah seperti ayahnya sendiri itu. Tapi Eyang Wasista sudah tidak bergerak lagi. Tubuhnya terkulai, meskipun Widura memeluk dan mengguncang-guncangnya. Pemuda itu tak kuasa lagi menahan air matanya, yang langsung menitik membasahi wajah Eyang Wasista. Rangga yang menyaksikan semua itu, juga tak sanggup lagi bertahan.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Memang sulit menerima kenyataan, jika ditinggal pergi seseorang yang paling dicintai. Sementara Widura masih larut dalam kesedihan. Dan Rangga sudah melangkah menjauh. Dirayapinya puing-puing reruntuhan Padepokan Awan Perak. Sungguh mengenaskan menyaksikan reruntuhan sebuah padepokan yang cukup punya nama. Tak ada seorang pun yang tersisa hidup. Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, bersama reruntuhan bangunan padepokan ini.
"Rangga...," panggil Widura, agak tersedak suaranya.
Rangga berpaling, dan memutar tubuhnya. Widura sudah bangkit berdiri di samping tubuh Eyang Wasista. Pemuda itu saling melemparkan pandang tanpa berkata-kata. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menghampiri murid Padepokan Awan Perak itu. Tinggal Widura yang tersisa.
"Kita bereskan dulu di sini, baru melaksanakan amanat eyang gurumu," ujar Rangga.
Widura tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi, dan hanya dapat mengangguk perlahan. Diturutinya saja apa kata Pendekar Rajawali Sakti.
Setelah menguburkan mayat Eyang Wasista dan semua murid Padepokan Awan Perak, Rangga segera mengajak Widura pergi ke Padepokan Selendang Maut dan Padepokan Bulan Sabit.
"Widura, kau tahu letak kedua padepokan itu?" tanya Rangga.
"Cukup jauh juga. Padepokan Selendang Maut yang terdekat dari sini, hanya dua hari perjalanan berkuda. Sedangkan Padepokan Bulan Sabit, tiga hari," jelas Widura.
"Kalau begitu, kita harus menggunakan Rajawali Putih. Dan kau bisa menjadi penunjuk jalan."
Widura tercekat juga mendengar Pendekar Rajawali Sakti menyebut-nyebut Rajawali Putih. Dia berpikir, seberapa besarnya rajawali yang katanya berukuran raksasa itu. Rangga memang terpaksa memanggil Rajawali Putih untuk mengantarkan mereka ke kedua padepokan itu. Kedatangan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu membuat Widura hampir saja pingsan berdiri.
"Gunakan kecepatanmu yang terbaik, Rajawali!" perintah Rangga setelah berada di angkasa.
"Khraaagkh...!"
Widura yang berada di belakang Rangga, memeluk pinggang Pendekar Rajawali Sakti erat-erat Jantungnya seolah-olah terasa berhenti berdetak. Baru pertama kali ini dia menunggang seekor burung rajawali raksasa. Dan pengalaman ini tidak pernah diimpikan sebelumnya.
"Jangan terlalu tegang begitu, Widura. Rajawali Putih tidak akan menjatuhkanmu dari atas!" seru Rangga kencang.
Widura hanya diam saja. Kalau Rangga melihat betapa pucatnya wajah pemuda itu, pasti tertawa terbahak-bahak. Untung saja Widura berada di belakang, dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Khraaagkh...!"
Dengan menunggang Rajawali Putih, waktu yang seharusnya dibutuhkan dua hari, hanya dilalui sebentar saja. Bahkan tidak sampai setengah hari, mereka sudah berada di atas Padepokan Selendang Maut. Apalagi Widura telah mengetahui letak padepokan itu. Jadi, mereka tidak sulit untuk mencarinya. Dari angkasa, Rangga terkejut setengah mati karena padepokan itu sudah rata dengan tanah.
"Widura, kau lihat itu...?" Rangga menunjuk ke arah Padepokan Selendang Maut yang sudah hancur rata dengan tanah.
"lya, aku lihat!" sahut Widura sekeras-kerasnya, agar suaranya tidak mengalahkan deru angin yang begitu kencang di angkasa ini.
"Kau ingin lihat ke sana, Widura?" Rangga menawarkan.
"Kita lihat saja dulu. Barangkali masih ada yang hidup," sahut Widura.
Rangga memerintahkan pada Rajawali Putih untuk turun. Tanpa diminta dua kali, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu menukik turun dengan kecepatan luar biasa. Sebentar saja burung itu sudah mendarat di antara puing-puing reruntuhan Padepokan Selendang Maut Rangga dan Widura berlompatan turun dari punggung Rajawali Putih.
Sebentar pandangan mereka beredar mengamati suasana yang tidak sedap dinikmati. Mayat-mayat bergelimpangan, bahkan sudah mulai menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung. Tampaknya mereka sudah hancur lebih dulu daripada Padepokan Awan Perak, meskipun di beberapa tempat masih terlihat asap mengepul tipis.
"Tidak ada seorang pun yang hidup, Kakang Rangga," kata Widura agak mendesah. Dia sudah membiasakan diri memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan sebutan Kakang Rangga.
"Benar. Dan kelihatannya, sudah beberapa hari mereka tewas," sahut Rangga juga pelan.
"Dari caranya yang brutal, pasti perusuhnya adalah orang yang sama," duga Widura, tetap pelan suaranya.
"Rasanya, kita masih punya kesempatan untuk ke Padepokan Bulan Sabit," sambung Rangga.
"Apa tidak sebaiknya ke Padepokan Tongkat Baja dulu, Kakang Rangga?" Widura memberi usul.
"Eyang gurumu tidak menyebutkan padepokan itu."
"Memang tidak. Tapi Ketua Padepokan Tongkat Baja adalah adik kandung Eyang Wasista. Aku rasa, dia harus tahu kejadian ini," Widura beralasan.
"Apa Padepokan Tongkat Baja juga punya urusan dengan si Iblis Seribu Nyawa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Tidak. Tapi, aku tetap saja khawatir melihat cara-caranya yang brutal seperti ini. Dia bukan lagi manusia, Kakang. Tapi iblis yang haus darah," agak mendesis nada suara Widura.
"Kita akan ke Padepokan Tongkat Baja setelah melaksanakan amanat eyang gurumu," Rangga menetapkan.
Widura tidak segera memberi tanggapan. Pemuda itu melirik ke arah Rajawali Putih yang mendekam di dekat pohon kemuning. Kemudian ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri disampingnya.
"Dengan tunggangan ajaibmu, rasanya kita bisa pergi ke kedua tempat dalam satu hari ini," ujar Widura.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah menghampiri Rajawali Putih. Widura bergegas mengikuti, dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa bicara lagi, mereka berlompatan naik kepunggung Rajawali Putih. Sebentar kemudian, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung tinggi ke angkasa. Widura memberi arah yang harus dituju pada Pendekar Rajawali Sakti. Bagaikan kilat, burung rajawali raksasa itu melesat cepat begitu diberi tahu arah yang ditunjukkan.

58. Pendekar Rajawali Sakti : Darah Seratus BayiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang