PROLOG

240 11 2
                                    

Seorang anak perempuan dengan seragam SMA terlihat tengah mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Dia berusaha tidak menunjukan kepanikan kepada orang-orang yang sudah berkumpul dilapangan. Dari kejauhan seorang kakak kelas yang menggunakan selempang bertuliskan"Anggota OSIS" tampak menyilangkan tangannya pertanda ia tengah dalam mood yang buruk.

"AIRA. . . , kumpul di pojokan sana!," ujar kakak kelas itu sambil menunjuk ke pojok lapangan. Beberapa anak yang terlambat seperti dirinya mulai merapikan barisan. Dengan langkah gontai, Airapun bergabung ke dalam barisan.

"Sudah berapa kali kamu telat Ra?, diantara barisan anak-anak tukang telat, cuma kamu yang telat dari awal masuk sekolah. Guru aja udah males nasehatin kamu!." Aira menunduk, tak berani menatap mata para anggota OSIS itu.

"Kamu ngapain aja sih Ra? bisa-bisanya tiap hari kesiangan?," suara cempreng Kak Siska ketua Komite Kedisiplinan memekakan telinganya. Wajah Aira semakin tertunduk.

"Maaf ka, ada banyak hal yang ga bisa aku jelasin. walapun kujelaskan, sepertinya tidak akan ada yang percaya," ujar Aira bergetar.

"Percaya atau engga itu urusan kami, yang penting kamu sampikan alasan kamu!," Kak Dio yang sedari tadi moodnya sudah buruk membentak Aira dengan suara berat khas laki-laki puber. Aira makin mengunci rapat-rapat bibirnya.

"Ya udah ya udah! minta maaf aja sama kami semua!," rupanya Kak Siska sudah menyerah dengan tingkah Aira yang selalu diam seribu bahasa tiap dimintai penjelasan. Sambil menundukan wajahnya, Aira meminta maaf tanpa memandang wajah para kakak kelas, ia hanya berpatokan kepada nama yang tercetak disetiap sepatu. Memang sekolah Aira menyediakan seragam beserta sepatu, dimana setiap sepatunya telah dibubuhi nama para murid.

"Maaf Kak Siska, Kak Dio, Kak Sela . . . Kak Naila," para anggota OSIS yang sedari tadi mendengus kesal tiba-tiba terpaku, sedetik kemudian mereka menjadi riuh.

"Naila? siapa Naila?," Kak Sela bertanya dengan penuh emosi. Aira terdiam sesaat, kemudian perlahan mengangkat wajahnya dan fokus mencari perempuan dengan sepatu bertuliskan Naila. Betapa syoknya Aira, karena yang ia temui adalah wanita dengan kepala terbelah setengah. Sambil menahan jeritan ia menunduk kembali.

"Maaf kak, saya salah lihat." tak seperti biasanya, para anggota OSIS itu tampak setuju saja mendengar penjelasan Aira, wajah mereka memucat, gelisah dan akhirnya setelah berdiskusi mereka bersiap membubarkan barisan. Aira masih gemetar karena sosok Naila sekarang tengah berdiri dihadapannya. samar dari barisan belakang seseorang bergumam.

"Sudah ku duga, kamu bisa melihatnya."

AKU TIDAK PERNAH SENDIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang