Pagi itu, Yayan mengayuh sepedanya menyusuri jalanan kecil di antara gang-gang menuju sekolah. Tidak seperti biasanya, ia mengayuh dengan terburu-buru hari ini, terlihat dari keringatnya yang mengucur deras membasahi seragam dan tak sedikit yang jatuh sepanjang jalan.
Beberapa kali ia melirik ke arah jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Betul saja ternyata Yayan hampir terlambat ke sekolah, padahal jarak sekolah dengan rumahnya lumayan jauh, ditambah dengan hukuman yang siap menanti Yayan kalau sampai terlambat.
Akhirnya Yayan sampai di parkiran sekolahnya, tanpa pikir panjang ia menggeletakkan sepedanya begitu saja, ia berlari kencang di tengah lorong menuju kelasnya. Papan kelas 9C mulai terlihat samar-samar, ia mempercepat larinya, kemudian masuk ke dalam kelas, meletakkan tasnya, mengambil nafas sejenak dan beruntungnya Yayan bisa selangkah lebih cepat dibandingkan Ibu Riris, guru mapel Bahasa Indonesia yang masuk tak lama setelah Yayan duduk di bangkunya.
Bel istirahat berbunyi, seluruh siswa berlomba menuju kantin yang berada di setiap pojok sekolah. Namun Yayan memilih berdiam diri di kelas, bersandar pada dinding di sebelahnya, menyantap bekal makanan, ditemani alunan musik dari hp nya. Bukannya tidak punya uang, tapi ia sedang mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Sudah hampir genap sebulan Yayan mulai menyisihkan uang jajan hariannya. Semua itu dilakukannya karena ia merasa harus mewujudkan mimpi yang menemaninya sepanjang malam, mimpi yang mengajaknya berkeliling Singapura. Mungkin hanya kebetulan atau memang Yayan kebanyakan melihat dan mendengar informasi tentang indahnya Singapura. Sejak saat itu Yayan hanya berdiam diri di kelas seharian, dan memilih membawa bekal agar uangnya semakin cepat terkumpul.
Pukul 15:00 sore hari, Yayan sudah berada tepat di depan pintu rumahnya, melepaskan sepatu, kaos kaki, dan bergegas menuju kamar tidurnya. Yayan membuka kardus bekas mie instan yang ia pakai sebagai pengganti celengan. Ia memakai kardus itu agar mudah saat hendak mengambil dan memasukan uang tabungannya.
"Sepuluh ribu, lima belas.., dua puluh, lima puluh." Ucap Yayan sambil menghitung tabungannya.
Beginilah kegiatan Yayan di sore hari selama sebulan ini. Menghitung uang tabungan sudah menjadi hobi baru, bahkan kewajiban baginya. Tak hanya menghitung sekali, ia akan menghitung berkali-kali untuk memastikan jumlahnya benar.
Tak terasa matahari mulai tenggelam, lampu-lampu pijar di rumah-rumah warga mulai menyala menggantikan cahaya Sang Surya.
Makan malam pun sudah tersaji, Yayan menyantap makan malamnya dengan lahap, negri juga ayah dan ibunya, namun mereka merasa heran melihat tingkah laku Yayan yang berubah sebulan ini."Kamu gak jajan di sekolah? Kelihatan banget lapernya." Tanya ibu.
"Ngapain jajan Bu? Kan ada bekal tadi." Kata Yayan yang hendak mengambil gelas minumannya.
"Lho kok gak jajan? Kan ibu dan ayah ngasih kamu uang jajan." Jawab ibu.
"Bekalmu itu sebenarnya masih kurang buat menuhin gizimu Yan." Ayah ikut menasehati.
"Terus uang jajanmu mana? Kamu gak pergi ke warnet kan?" Ibu mulai curiga.
"Gak lah bu, uangnya ada di kamar. Aku lagi ngumpulin uang aja kok." Jawab Yayan dengan nada datar.
"Buat apa ngumpulin uang? Kamu punya hutang ama siapa?" Tanya Ayah dengan ekspresi kaget.
"Yang ada malah banyak yang hutang ama aku yah." Jawab Yayan.
"Enggak Yah, yang ada malah banyak yang hutang sama aku belum dibayar sampai sekarang. Aku lagi pengen ngumpulin doang. Kali aja besok-besok butuh uang buat beli buku baru, kan bentar lagi Ujian. Udah lah, mendingan kita lanjut makan." Lanjut Yayan.
Ayah dan ibu Yayan tetap geleng-geleng kepala melihat Yayan. Yayan masih enggan mengutarakan keinginannya kepada kedua orangtuanya. Keluarga mereka memang berkecukupan, namun Yayan sadar Singapura itu jauh, biayanya pun banyak dari tiket, paspor, hotel, dan kebutuhan lainnya.
Tidak mungkin orangtuanya langsung membolehkannya begitu saja. Mau pergi ke kota saja ditanyain macam-macam, apalagi ke Singapura. Namun Yayan bertekad jika tabungannya sudah lebih dari cukup ia akan memberitahu mereka sekaligus mengajak ayah dan ibunya liburan bersama.
"Pasti! Akan kuajak mereka berdua menikmati sebuah mimpi yang akan segera kuwujudkan." Gumam Yayan sebelum tenggelam di lautan mimpinya yang luas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merlionku Menunggu
AdventurePerjuangan Yayan, siswa SMP biasa mengejar mimpinya pergi liburan ke Singapura. Dari awal perjuangan mengumpulkan uang hingga susahnya meminta ijin orangtua.