Berangta: Lain Kali

159 17 1
                                    

“Aku mencintaimu, Chougi.”

Kamar remang tanpa pencahayaan yang cukup. Pengap dan gelap, perpaduan yang tepat. Kamar itu—suram.

Suara kecipak basah terdengar nyaring. Bunyi ‘plok-plok’ pelan melengkapi suasana.  Dua daging kenyal yang lembap saling bertumbukan. Persenggamaan mereka begitu intim. Tak memberi celah walau hanya sedikit.

Chougi selalu ingin menyangkal terhadap dirinya sendiri. Tentang perasaan meluap-luap, seperti hatinya dihinggapi ribuan kupu-kupu—membuat perutnya geli dengan euforia menyenangkan—tiap kali mendengar pernyataan cinta dari sosok di atasnya.

Memercayakan dirinya pada sosok pirang berbadan tinggi tegap yang kini berpeluh dan tak lagi mengenakan apa pun. Berkali-kali Chougi merusak kesuciannya sendiri. Pelanggaran yang cukup untuk membuatnya dihukum mati.

“Aku mencintaimu, Chougi. Aku selalu mencintaimu.” Suaranya begitu berat dan dalam. Khas dominan. “Perlihatkan semuanya padaku, Chougi.” Sosok itu, Kunihiro, mencium lehernya secara melintang. Meninggalkan jejak panas membara sewarna mawar mekar di taman halaman depan. Panasnya takkan bisa cepat reda. Ia perlu pelepasan.

Tubuh bergetar karena kenikmatan yang bertubi-tubi melanda, menghajar tubuhnya hingga payah. Menggunakan sebelah tangan, Chougi membekap mulutnya supaya suara-suara memalukan tak sampai terdengar.

“Jangan menyimpannya sendirian! Berbagilah denganku!”

Satu hunjaman telak, berhasil membuat matanya terbeliak. Biner biru mulai basah oleh air mata. “Aaa—” hanya erangan tak jelas yang keluar dari mulut Chougi.

“Aku selalu di sisimu. Pergunakan aku semaumu. Tapi kau harus menunjukkan segalanya padaku!”
Keduanya bergerak liar di atas ranjang. Meliuk, membuat seprai satin merah polos di bawah jadi kusut dan juga lepek oleh peluh. Derit ranjang yang beradu dengan dinding membuat keadaan tambah semarak.

Daun telinga digigit pelan. Memberikan rangsangan yang membuat Chougi kian mabuk kepayang. Mulutnya terbuka, mengerang tertahan di balik telapak tangan yang dipakai sebagai penghalang. Kunihiro terlalu keras pada sesi percintaan kali ini.

“Katakan bahwa kau mencintaiku, Chougi!” Kunihiro tanpa ragu mencengkeram pinggang tipis hingga bekas kemerahan pasti tercetak di sana. Ia menyodok kuat pada liang kecil yang mungkin akan bengkak dan parahnya berdarah. “Aku memberikan segalanya! Katakan bahwa Chougi mencintaiku!”

“Kunihiro ….” Memanggil pria dominan. Chougi tak berniat menjawab. “Akh!” Ia menjerit tertahan saat sebuah gigitan menyerang leher. Pun gerakan yang kian tak terkendali di bawahnya.

“Katakan … Katakan, Chougi.” Menenggelamkan kepala di lekukan leher jenjang yang kini ternoda oleh banyak noktah merah. “Apa sesulit itu bagimu untuk mengatakannya?”

Ia tak suka dengan suara putus asa sang pria. Wajah sendu dan peridot yang redup perlahan—menunjukkan sakit yang lagi-lagi mendera. Chougi hampir saja tergoda, mengatakan keras-keras bahwa ia mencintai pria tersebut.

Namun, seketika wajah semua prajuritnya terbayang. Wajah ketakutan para rakyat melintasi benak. Menggeleng kecil, Chougi berusaha mengenyahkan pikirannya. Jatuh cinta hanya akan membuat Chougi menyakiti semua orang.

“Apa yang kurang dari semua pengabdianku? Aku meninggalkan negaraku, keluargaku, bahkan membuang namaku.”

Kunihiro memang setan!

Menyerang Chougi dengan kelemahannya—menggoda Chougi supaya berbelot dan meninggalkan semua yang jadi tanggung jawab.

“Aku tidak,” ia menggeleng saat Kunihiro kian gencar. Pertahanannya nyaris runtuh. “Tidak ada cinta untukku di tanah air ini. Aku tidak bisa jatuh cinta di tanah air ini.”

Berangta: Lain KaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang