Awalnya, Odasaku pikir, rumah beserta surat-suratnya adalah harta paling berharga yang ditinggalkan orang tuanya setelah meninggal. Akan tetapi, kini ia berubah pikiran. Bukan rumah, bukan pula surat-suratnya yang menjadi harta paling berharga melainkan adik perempuannya.
"Aku pulang, Yuki-chan." Suara riang itu muncul setelah bunyi kunci pintu dibuka. Odasaku Rin masuk ke dalam dan menemukan rumah itu dalam keadaan sepi. Hatinya sedikit sakit. Sebelumnya, ia tidak pernah pulang selarut ini. Sekarang ia mengerti betul apa yang dirasakan oleh almarhum ayahnya setiap hari. Ayahnya pasti bahagia karena menemukan ibu dan Yuki-chan yang tersenyum kepadanya begitu sampai di rumah. Tidak ada yang tersenyum kepada Odasaku RIn.
Orang tua kakak-adik itu telah meninggal karena kecelakaan mobil beberapa minggu yang lalu.
Mobil yang ditumpangi keduanya ditabrak oleh mobil lain di jalan bebas hambatan. Kehidupan menjadi sangat berat sejak itu. Odasaku tidak memiliki harapan sebab ia tidak pernah belajar bertahan hidup sebelumnya. Selama beberapa hari ia terus mengumpati keduanya, menyalahkannya karena pergi di waktu yang tidak tepat. Akan tetapi, apakah benar-benar ada waktu yang tepat bagi orang tua untuk pergi? Tidak ada dan tidak akan pernah ada.
Jika saja Odasaku belajar dengan lebih giat di sekolah, tentunya ia akan paham dengan asuransi. Namun, ia tidak cukup pintar dan ayahnya pun tidak mengajarkan hal itu kepadanya. Mungkin mereka semua pergi terlalu cepat. Asuransi yang seharusnya jatuh ke tangan Odasaku justru diambil oleh adik ipar dari ayahnya. Kini, Odasaku dipaksa untuk menghidupi diri dan adiknya. Ia melakukan pekerjaan serabutan karena tidak memiliki kemampuan khusus. Dari pagi hingga menjelang malam ia bekerja, apa pun akan ia lakukan. Memang berat untuk meninggalkan adik perempuannya sendiri, tetapi Odasaku tidak bisa membawanya. Jika menitipkannya, maka hal itu hanya akan menambah rasa khawatirnya.
"Yuki-chan? Kakak sudah pulang," ujar Odasaku sambil melepaskan alas kakinya. "Yuki-chan. Kemarilah dan lihat kakak bawa apaa .... " Odasaku mengatakannya sambil menggerakgerakan kantong plastik di tangannya, sengaja menimbulkan bunyi gerisik untuk memancing adiknya. Namun, tidak ada jawaban apa pun.
Insting Odasaku segera bekerja dengan cepat saat itu. Ia mengecek segala sudut ruangan untuk mencari Yuki, adik perempuannya yang berumur sembilan tahun. Yuki tidak dapat ditemukan di mana pun. Tidak ada yang aneh dari rumahnya, tidak mungkin penculik masuk ke dalam sini. Odasaku menggelengkan kepala. berbagai kemungkinan yang mungkin saja menimpa adiknya timbul dan tenggelam di dalam kepalanya. Ia meninju meja makan dan berteriak.
Odasaku tahu, Yuki tidak akan pulang selarut ini jika ia pergi keluar. Ada yang tidak beres. Insting kakak laki-lakinya naik ke permukaan. Sirkulasi pernapasannya tidak beraturan. Ia merasa marah sekaligus khawatir. Remaja itu buru-buru pergi keluar untuk mencarinya. Yuki adalah harta berharga yang dititipkan orang tuanya. Odasaku sangat menyayanginya. Ia tidak ingin hal buruk terjadi pada gadis itu.
Pemuda itu berlari keluar. Lingkungan di sini sudah sangat sepi, hanya terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Sekarang musim gugur sehingga hari menjadi lebih pendek dan udara pada malam hari terasa lebih dingin. Odasaku membayangkan adiknya kedinginan di luar sana, ia harus bergegas.
Odasaku ingat, saat kedua orang tuanya pamit, Odasaku merajuk meminta agar Yuki turut diajak. Ia tidak ingin ditinggal berdua dengan adik perempuannya. Yuki sangat pecicilan dan nakal, pikirnya. Akan tetapi, ayah dan ibu Odasaku menolak.
Kemudian Odasaku mendengar berita kecelakaan itu. Mungkin mereka sudah tahu bahwa akan terjadi sesuatu. Mungkin mereka meninggalkan Yuki untuk menjaga Odasaku agar ia tidak sendirian di dunia ini. Kini, Odasaku merasa bahwa Yuki adalah hal paling berharga melebihi dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkannya terluka.
Setelah melewati beberapa blok perumahan, Odasaku tetap belum menemukan Yuki. Ia sudah kelelahan. Napasnya benar-benar tidak terkendali dan kakinya sudah gemetaran, tetapi ia tetap harus mencari Yuki. Ada persimpangan di depannya. Jika ia pergi ke kanan, maka akan ada jalan besar dan minimarket. Jika ia pergi ke kiri, akan ada banyak perumahan dan lapangan beberapa ratus meter ke depan. Ia mengambil jalan kiri tanpa ragu, tak sadar bahwa itu akan menjadi kesalahan yang fatal.
Lima belas menit telah berlalu sampai ia kembali ke persimpangan yang sama. Kali ini ia mengambil jalan kiri. Tatkala sampai di depan minimarket, ia menemukan Yuki. Rasa sakit pada perut kiri telah terbayarkan, pikirnya. Akan tetapi, ia justru menemukan Yuki dalam keadaan menangis dan dikerumuni oleh beberapa orang.
Minimarket itu berada di sisi kanan jalan besar. Mobil, motor, dan truk berlalu lalang dengan kecepatan maksimal di jalan besar. Odasaku bersumpah bahwa ia akan memarahi Yuki saat pulang nanti. Namun, menemukan Yuki dalam keadaan menangis membuatnya berpikir dua kali.
"Yuki! Yuki-chan, apa yang kau lakukan di sini?" Odasaku berlari, lalu berlutut saat suah berada di sisi Yuki. Ada beberapa orang lelaki berbadan besar dan sedang di dekatnya-dekat Yuki.
"Ah, jadi kau kakaknya?" tanya salah seorang dari mereka.
Yuki menangis dan menggenggam erat boneka kelinci di dalam pelukannya. Kakak lelakinya menghapus air mata itu dan membersihkan wajah Yuki dengan kausnya. Baru ia berdiri.
"Ya, ada apa? Apa adikku berbuat salah?" tanyanya, agak ketakutan.
"Ya, dia berbuat salah. Dia baru saja mencuri makanan dari anakku!" umpat lelaki yang tampak kaya, tetapi tak beradab.
"Maaf, akan segera kuganti." Odasaku membungkuk dan merogoh saku celananya.
Pria yang mengumpat tadi memerhatikan keduanya, lalu berdecak sok. "Mana orang tua kalian?
Kenapa kalian tampak kumuh?"
Odasaku berhenti merogoh, ia mematung untuk beberapa saat. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tidak boleh memancing perkelahian karena ia tidak bisa bertarung.
"Cih. Dasar! Sekarang memang banyak orang tua yang tidak bertanggung jawab. Makhluk seperti itu hanya akan melahirkan anak-anak yang gagal. Lihat mereka." Pria itu menunjuk dengan telunjuknya sambil menatap pria lain disekitarnya. Mungkin, ia adalah pengawalnya.
"Adiknya mencuri dan kakaknya tidak jelas. Pakaiannya saja sudah mencerminkan bahwa ia bukan anak baik-baik." Pria itu tertawa di ujung kalimatnya.
Odasaku melayangkan kepalan tangannya pada rahang kiri pria itu. Napas yang tidak beraturan menampakkan terganggunya mental remaja itu. Pria itu meludah, lalu tertawa. Tanpa ragu ia membalas serangan Odasaku. Odasaku, yang memang tidak biasa berkelahi, segera limbung dan jatuh tersungkur. Kepalanya pusing. Samar-samar ia dapat mendengar tangisan adiknya yang semakin nyaring.
"Beri mereka pelajaran!" titah pria yang sama.
Lelaki dewasa lainnya segera maju menghampiri Odasaku. Tanpa pikir panjang, Odasaku menggendong Yuki dan ia berlari secepat-cepatnya. Kepalanya masih pusing sampai-sampai ia tidak sadar ke arah mana ia berlari hingga bunyi klakson terdengar nyaring.
Dalam hitungan detik yang berlalu cepat, sebuah truk besar menghantam tubuh keduanya. Odasaku terpental cukup jauh, lalu berguling-guling di trotoar sementara adiknya terlempar ke arah yang lain. Rasa sakit pada tempurung kepala remaja itu semakin menjadi. Ia mencari adiknya sampai tak kuasa menahan sakit, lalu mata itu benar-benar tertutup sempurna.
YOU ARE READING
Until We Meet Again
FantasySetelah orang tuanya meninggal, kehidupan Odasaku dan adiknya menjadi sangat sulit. Odasaku yang masih remaja dan minim pengalaman dipaksa untuk menghidupi adiknya. Pada suatu hari, setelah pulang kerja ia mendapati adiknya tidak berada di rumah. Ad...