Odasaku mengerjapkan matanya berulang kali hingga netra itu terbuka sempurna. Bau yang pertama ia hirup adalah bau sampah, begitu menusuk indra penciumannya. Tiba-tiba ia teringat akan Yuki. Odasaku mengerahkan semua otot di tubuhnya dan memusatkannya di perut serta tulang belakangnya untuk bangun. Kedua tangannya menggenggam bibir balok di kanan kiri dan ia pun bangun. Kepalanya terasa sangat sakit, tetapi ia tak berdarah.
Patutlah tercium bau tak sedap. Ia terjatuh di sebuah tempat sampah berbentuk balok yang sudah setengah terisi. Tempat sampah tersebut berada di sebuah gang yang minim cahaya. Odasaku mengira di luar gang tersebut terdapat jalan raya sebab ia mendengar aktivitas yang ramai di sana. Namun, bukan deru mobil, tetapi bunyi khas sepatu kuda.
Remaja laki-laki itu menengok ke sisi tempat sampah dan menemukan Yuki sedang terbaring lemah di tanah. Ia melompat keluar dan mengabaikan rasa sakit yang timbul, lalu berlutut di sisi Yuki. Beruntung sampah yang terkumpul di balok sana adalah sampah organik sehingga hanya sedikit bau yang menempel pada pakainnya.
"Yuki! Yuki-chan! Kau baik-baik saja? Hei, bangunlah! Ini Kakak!" Odasaku memanggil nama adiknya sembari menepuk-nepuk pipi Yuki. Gadis itu tampak kumal.
Odasaku memerhatikan Yuki dengan seksama. Sama seperti dirinya, di tubuh Yuki pun tidak ada luka yang sangat parah, hanya lecet-lecet di tangan dan kaki.
Akhirnya Yuki bangun setelah Odasaku menggerakan kaki gadis itu. Odasaku hampir menangis saat ia menatap manik jelita yang terbuka. Netra itu seakan bersinar di tengah tempat yang remang-remang ini.
Yuki bangkit berdiri di depan kakaknya sambil tersenyum. Odasaku segera memeluknya.
"Kau baik-baik saja! Kau selamat, Yuki-chan. Kukira aku akan kehilanganmu." Odasaku mengucapkannya sambil menangis.
Yuki menepuk-nepuk pundak kakak lakilakinya dengan pelan, hal yang selalu dilakukan oleh ibu mereka saat Yuki menangis. Odasaku melepaskan jaketnya dan memberikan benda itu kepada adiknya.
Kedua mata Yuki tampak fokus memerhatikan sesuatu saat Odasaku memakaikan jaket berwarna coklat yang kumal. Kakak lelakinya masih berlutut di hadapannya setelah jaket itu terpasang. Tanpa mengalihkan pandangan, Yuki menggerakan tangannya yang terselimuti oleh lengan jaket yang kebesaran dan mengarahkannya pada leher Odasaku. Jemarinya menggambil liontin dari sebuah kalung. Liontin itu berbentuk wajik. Di dalamnya ada sesuatu yang mirip permata.
"Kalung Kakak bagus," puji Yuki, terpesona.
"Eh? Darimana datangnya kalung ini? Kakak belum pernah melihatnya." Odasaku kaget.
"Yuki-chan, maaf." Odasaku meminta permisi untuk menyingkapkan rambut Yuki dan mengekspos leher adiknya. Terdapat sebuah kalung dengan liontin yang sama di sana.
Odasaku terkejut. Yuki belum pernah mengenakan kalung sebelumnya. "Yuki-chan! Kau juga memilikinya. Lihatlah!" seru Odasaku.
Yuki menunduk dan tersenyum semringah begitu melihat benda berkilauan tersebut. Warna kedua kalung tersebut berbeda. Milik Odasaku berwarna putih dengan bercak-bercak biru dan permatanya berwarna oranye sedangkan milik Yuki berwarna hijau muda dengan bercak-bercak merah. Permata di dalamnya berwarna biru muda yang berkilauan.
Odasaku tidak tahu darimana datangnya benda tersebut dan mengapa diberikan kepada mereka, tetapi Odasaku sangat paham bahwa mereka harus segera pergi dari sini.
Remaja itu menggenggam tangan adik perempuannya dan berjalan keluar dari gang. Tidak lupa ia menyembunyikan liontin yang menurutnya norak itu ke balik bajunya. Ia sangat berbeda dengan adiknya yang justru terus terpaku pada liontin itu.
Betapa terkejutnya Odasaku begitu melihat pemandangan di luar gang hingga rasanya ia ingin berlari kembali ke tempat sampah. Dunia yang dilihatnya jauh berbeda dengan dunia yang beberapa saat—atau hari, bahkan tahun—lalu ditinggalkannya. Keduanya seperti kembali ke Jepang bertahun-tahun silam. Mereka melihat kereta kuda alih-alih mobil. Saat itu terdengar bunyi yang sangat khas.
"Bunyi apa itu, Kak?" tanya Yuki.
"Itu kereta api uap, Yuki-chan," jawab Odasaku. Ia bahkan tak yakin dengan apa yang dikatakannya.
Mereka lalu berjalan, ke mana saja asal tidak hanya diam dan menunggu. Ada seorang penjual koran menawarkan koran kepada setiap pejalan kaki. Mereka saling menatap selama beberapa saat hingga Odasaku menabrak pria dewasa yang berpakaian bagus. Pria itu mengamati penampilan kumuh keduanya. Selain kumuh, model pakaian mereka pun berbeda.
"Halo!" sapanya ramah. Ia tersenyum alih-alih marah.
Odasaku terkejut, tetapi tetap balas tersenyum. Kini giliran pria itu yang terkejut saat memandang Yuki yang sedang mengamati kalung miliknya.
"Kalian sepertinya tersesat. Ada yang bisa kubantu?" tawarnya. Bahasa yang digunakannya adalah bahasa baku, bahasa yang tak umum digunakan di Jepang modern.
Odasaku Rin tak yakin untuk menyebut kejadian yang menimpa mereka dengan sebutan tersesat.
"Ya, kami lapar. Adakah tempat yang menjual makanan dengan harga murah? Atau bahkan ... gratis?"
Pria itu tersenyum. "Ikuti aku!"
Mereka berdua diajak ke bagian kota yang lebih sepi. Tempat ini sedikit menakutkan, sangat berbeda dengan jalanan yang tadi. Hanya ada segelintir orang, tetapi mereka semua memandangi keduanya dengan tatapan aneh, membuat Odasaku merasa tak enak.
"Sepertinya kami kembali saja," sahut Odasaku. Ia berhenti otomatis adiknya pun berhenti.
Tiba-tiba seseorang itu berteriak. "LUMPUHKAN MEREKA!" Dengan cepat segelintir orang tadi menyergap ke arah mereka. Odasaku berbalik dan hendak membawa adiknya pergi, tetapi terlambat! Mereka terkepung!
"Tunggu! Jangan lukai adiknya! Ia memiliki sesuatu yang sangat berharga!" teriak pria yang mengajak mereka ke sini.
Odasaku tengkurap di tanah. Punggungnya diinjak oleh banyak orang sekaligus. Tangannya diangkat ke atas sementara wajahnya ditekan ke jalanan yang terbuat dari susunan batu bata.
Pria dewasa itu menggosokkan tangannya sembari mendekati Yuki. Odasaku meronta-ronta.
"Jangan sentuh dia!" ancamnya penuh amarah, lalu dibalas oleh injakan pada punggungnya.
"Akhhh!" rintihnya.
Pria itu tertawa, lalu mencengkram Yuki dengan kuat. Gadis kecil itu menangis dan meronta-ronta sementara pria itu menggendongnya ke dalam pelukan. Ia memandangi kalung Yuki untuk beberapa saat, kemudian membekap anak kecil itu. Tak berapa lama, Yuki menutup matanya. Tidak tahu tidur atau pingsan.
Odasaku membelalakan matanya. ia melihat semua yang diperbuat oleh pria itu, tetapi tidak dapat berbuat apa pun.
"Kalau kau menginginkan kalungnya, ambil aja kalungnya! Aku tidak membutuhkannya, tetapi jangan ambil adikku! Ia sangat berharga bagiku!" teriak Odasaku.
Pria itu tertawa. Ia adalah pimpinan dari mereka sebab kuasanya sangat berpengaruh pada pergerakan orang-orang di atas tubuh Odasaku.
"Kkkk," Pria itu berjongkok di depannya. "Jika ia sangat berharga bagimu, maka jadilah lelaki yang kuat dan pintar untuk melindunginya! Bukannya tergeletak tak berdaya seperti ini. Mengambilnya semudah mengambil benang dari jarum. Kau tau kenapa? Karena jarum itu tidak dapat berbuat apa-apa." Pria itu berbisik pada kalimat akhirnya.
Ia bangkit. "Habisi dia!" titahnya sebelum pergi membawa Yuki, milikOdasaku yang paling berharga. Hal terakhir yang didengarnya adalah teriakan danrontaan dari remaja itu.
YOU ARE READING
Until We Meet Again
FantasiSetelah orang tuanya meninggal, kehidupan Odasaku dan adiknya menjadi sangat sulit. Odasaku yang masih remaja dan minim pengalaman dipaksa untuk menghidupi adiknya. Pada suatu hari, setelah pulang kerja ia mendapati adiknya tidak berada di rumah. Ad...