Bagian 2

16 1 0
                                    

Lewat tengah malam pulang, hati dag dig dug bukan karena sedang merasakan debar jatuh cinta melainkan perasaan bersalah. Dalam perjalanan pikiran kalut, meskipun Rey mengajak berbincang tapi tidak mengurangi keteganganku.

'Apa yang akan aku katakan padanya? Apakah dia akan marah?'

'Tapi aku kan melakukan ini karena dia, salah dia membiarkan istrinya sendirian pergi.'

'Tetap saja ini salah, Sya, bagaimana pun suamimu salah, kamu jangan membalasnya dengan kesalahan lagi.'

'Aku melakukan kesalahan 'kan ada andil dia juga di sana.'

Aku terus bermonolog sendiri, mencari pembenaran atas tindakanku.

Rey meremas tanganku, sesekali melirik ke arahku, pada saat mobil berhenti karena lampu merah, Rey menarik tanganku lalu ....

Cup.

Aku yang sedang berpikir keras mencari alasan, sontak kaget, langsung menarik tangan dan menolehnya dengan tatapan tajam,

"Rey, please jangan mulai lagi!" protesku.

Dia tersenyum, "but you like it, 'kan?" aku mendengkus kesal lalu mengalihkan pandangan keluar jendela.

Aku suka? ... ya mungkin, tapi bukan dengan lelaki yang di sampingku, aku menginginkannya dengan lelaki yang ada di rumah ... ayahnya si kembar.

"Jangan marah, Sya, aku hanya nggak ingin lihat kamu khawatir begitu. Nanti aku bantu ngomong sama suamimu."

"Tapi tidak dengan cara tadi, Rey."

"Sorry, Sya."

Dia mengusap rambutku pelan lalu beralih ke pipi, aku hentakan tangannya, dia malah terkekeh, aku menatapnya jengah.

"Rey! Hentikan!"

"Lihat muka kamu tegang gitu, Sya."

Godaannya menyebalkan tapi tak bisa di pungkiri aku menyukainya.

Mendekati rumah muncul keraguan, haruskah Rey mengantar sampai rumah atau cukup sampai sini, aku semakin takut menerima reaksinya, karena baru kali ini pulang lewat tengah malam dan pertama kali melakukan ciuman bukan dengan suami sendiri.

Rasa bersalah semakin menggunung, terus merutuki kebodohan sendiri, menghimpit dada semakin dalam.

"Rey, sudah cukup sampai di sini nganternya!"

"Kenapa, Sya?"

"Aku ... takut, Rey."

"Sya, aku bukan pengecut."

"Tapi--."

"Kita akan hadapi bersama, nggak akan aku biarkan kamu dimarahi sendiri, ada aku penyebabnya."

Dengan memberikan senyuman, Rey memotong ucapan, tentu aku tahu dia tak akan tega membiarkanku jalan sendiri, selama mengenalnya, Rey orang sangat bertanggung jawab.

Mobil berhenti di depan pagar rumah, aku menghela napas panjang, mempersiapkan mental. Rey meraih tanganku, mengelusnya dengan lembut. Memberikan senyuman dengan tatapan teduh, mentransfer ketenangan, lalu menganggukkan kepalanya, "ayo turun, aku belum selesai mengantarkan kamu."

Aku turun dari mobil dengan langkah kaki gemetar, melihat sekeliling, gelapnya semakin pekat, menengadah, ternyata bintang malam ini tidak muncul, hanya suara binatang malam yang saling bersahutan, angin yang semakin mengigit menusuk sampai ke tulang. Aku memeluk tubuh sendiri, kecewa pada diri sendiri karena sudah menjadi wanita rendahan, bagaimana bisa seorang wanita berstatus istri bisa pulang lewat tengah malam diantar lai-laki yang bukan suaminya sendiri. Aku meringis.

Sampai depan pintu, memutar knop, berhenti sejenak, melirik laki-laki di samping, dia mengangguk dan tersenyum. Mengumpulkan kekuatan, menarik napas lalu mengembuskannya pelan, mendorong daun pintu, lalu ... mataku menyipit, keningku berkerut, tak kudapati suamiku di ruang utama. Sambil mengucapkan salam dan memanggilnya, aku masuk dengan perlahan.

"Tunggu di situ, Rey, jangan masuk!"

Aku langsung mencari ke ruang kerja, ternyata benar dia ada disana, anteng bersama benda kesayangannya.

"Ayah ...."

"Hei, sudah sampai. Naik apa?"

"Diantar teman."

"Oh ... ya sudah, sana tidur udah mau jam satu, lain kali mainnya jangan sampai larut begini."

What ... aku melengo tidak percaya akan reaksinya. Selama perjalanan menghabiskan banyak pikiran mempersiapkan kata-kata untuk menghadapinya, tapi ternyata sungguh di luar ekspetasi atas sikapnya, antara lega dan kecewa muncul bersamaan.

"Ayah nggak mau ketemu sama temen, Bunda dulu?"

"Nggak perlu, suruh temannya cepet pulang kasihan udah malam banget."

Aku menurunkan bahu, menatap nanar pada laki-laki yang di sebut suami.

Tadinya dalam bayangan, suamiku menunggu dengan harap cemas, berdiri di teras depan sambil berdecak pinggang, mata melotot, mencecar dengan pertanyaan. Tapi kenyataannya ... sungguh dalam hati kecil adegan seperti itu yang aku harapkan.

Aku mendesah kecewa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PelukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang