Kota 1001 Nama, Awal Abad ke-23
Matahari perlahan terbit dari ufuk timur, perlahan menyelimuti bumi dengan sinar hangatnya yang berapi, air embun dan tetesan hujan kemarin malam masih menyatu dalam hijaunya dedaunan, bau khas tanah gembur negeri ini begitu pekat tercium menyegarkan udara, anak anak sekolahan berangkat dengan seragam kebanggannya menggunakan sepeda, ya, ini adalah tahun 2050, semua sudah berubah seperti jaman terdahulu, tak ada lagi macet, tak ada lagi polusi entah karena apa, warga negeri ini bagai disambar petir dan sadar diri, menjual kendaraan pribadi demi membeli sebuah sepeda atau menaiki transportasi umum ketika ingin pergi.
Saluran got disamping jalan menciptakan suara derasnya air buangan langit menuju hilir, bebas melaju tanpa hambatan sampah ataupun plastik plastik tak berguna, hujan yang awalnya mengikuti siklusnya dengan baik di abad 20 perlahan mulai rusak di awal abad 21 dan hancur total di penghujung abad 22, negara agraris ini bisa saja begitu gersang ketika pagi hari bagai dikurung neraka dunia, namun saat siang hari hujan turun begitu deras bagai ditumpahkan air bah dari alam semesta, membuat para petani kebingungan hari ini ingin menanam apa di ladangnya.
Para ilmuwan akhirnya melakukan sebuah penelitian, menerbangkan ratusan satelit di atas awan, menobatkan mereka sebagai sang dewa pengendali hujan, bumi kini sudah bagai tak bernyawa, sudah tak bisa berkuasa di atas tanahnya, diterbangkan ruh nya menuju alam baka, dan diambil alih oleh momok menakutkan yang hanya sebuah benda.
Ratusan orang dengan sebuah tiket seminar di tangannya, bersama sama berjalan menuju sebuah tempat, Balai SarSuami, untuk mendengarkan sebuah ''motivasi'' pendidikan yang akan disampaikan oleh seorang motivator ternama Indonesia, sebuah spanduk besar terpampang di depan gedung tersebut bertuliskan "What Is School For?" oke, sekarang pasti kalian faham kenapa aku menempatkan tanda kutip pada kata "motivasi" yang sebenarnya lebih cocok diberi nama acara "Mengkritisi Pendidikan Negeri".
Ratusan orang duduk di kursi kursi yang sudah panitia sediakan, menteri pendidikan dan juga orang nomor 1 di negeri ini juga turut hadir dalam acara tersebut, bersiap menerima kritikan tentang tatanan pendidikan yang menohok sejak zaman Bapak Proklamator.
"Mari kita sambut inilah dia Meriam Belanda!!" ujar sang MC kepada para penonton mengundang tepuk tangan dari seluruh peserta.
Sesosok pria berpostur sedang dengan setelan jas rapih menaiki podium, sebuah mik tergenggam erat di tangannya, raut wajahnya terlihat percaya diri bagai sudah memberikan motivasi ribuan kali.
"Ehem, Assalamualaikum Warohmatulloh wabarokatuh!" Ujar Meriam kepada para penonton.
"Senang sekali saya bisa berdiri disini dihadapan kalian semua, dihadapan bapak presiden yang terhormat dan bapak menteri pendidikan serta ratusan warga negeri ini, ratusan tempat sudah saya kunjungi dan ribuan tempat sudah saya beri motivasi, dan setiap saya menanyakan ini, tak ada yang menjawab tidak, angkat tangan kalian, yang menganggap bahwa dulu saya adalah seorang siswa teladan yang selalu mendapatkan nilai sempurna di rapot, yang menilai bahwa saya dulu adalah seorang siswa yang selalu disebut namanya ketika upacara awal tahun untuk mendapat penghargaan siswa terpintar, angkat tangan kalian!"
Serentak seluruh peserta mengangkat tangan, Meriam tersenyum, mau tau alasannya? Mari aku bawa kalian menuju penghujung abad 22 di sebuah sekolah di Kota Sejuta Lubang.
"Oke pintar kali kau Rehan , hey yang dibelakang itu ah Meriam, ah jelek kali nama kau ni macam nilai matematika kau bosan kali aku liatnya merah terus tiap tahun, heh coba jawab ini kau." Ujar sang guru pada Meriam, menunjuk sebuah soal dimensi tiga.
Meriam hanya bisa tertunduk dan berkata, "sa..Saya..Tidak bisa..." Jawab Meriam tertunduk malu.
"Wuu dasar Meriam Belanda! Jelek kali nama kau macam otak kau tu! Wuuu!"
YOU ARE READING
What Is School For?
Short StorySudah abad 22 namun sistem pendidikan kita masih tetap sama, menghafal, menghafal dan menghafal, lalu dimuntahkan seminggu kemudian di atas kertas jawaban hanya demi sebuah angka bernama nilai, hingga seorang lelaki bodoh yang bahkan tak lulus SMA m...