1. Istrinya Pasti Nggak Ikut

44 6 3
                                    

Keributan yang muncul dari banyaknya orang di sekitar Rere dan Selcia tidak membuat kedua gadis itu terganggu. Bagi kedua gadis itu, orang-orang di sekitar mereka hanyalah udara jika mereka sedang berdua. Dengan kata lain, mereka tidak akan mengenal waktu dan tempat jika sudah dipertemukan.

"Lo, sih, ngapain coba sok-sok jaim di kampus?" tanya Selcia kepada Rere setelah ia mendengar Rere bercerita betapa sepinya kehidupan perkuliahannya. "Coba deh lo nggak jaim kayak gue, pasti kehidupan kampus lo normal-normal aja kayak gue."

"Yaaa, gue juga maunya nggak jaim, Sel, cuma gue belum ketemu sama orang yang bisa buat gue nggak jaim," jawab Rere. "Ada, sih, dua orang yang jadi teman lumayan dekat gue di sana, tapi gue masih kurang sreg aja sama mereka."

Selcia mengangguk-anggukkan kepalanya, mengerti situasi yang sedang dialami oleh temannya itu. Selcia mengerti dan paham betul situasi Rere karena Selcia sempat mengalami hal itu sebelum ia mengenal Rere. "Kalau menurut gue, lo harus coba sreg sama mereka deh, Re. Tapi, kalau emang lo nggak bisa, ya, mau gimana lagi?"

Rere mengembuskan napas dengan kasar. Rasanya Rere ingin menyalahkan takdir yang memisahkan dirinya dengan teman dekatnya itu. "Kenapa coba kita harus beda fakultas serta jurusan?"

"Oh, ya, Re, btw, 'gimana kabar abang panitia PKKMB yang ngantar lo ke fakultas waktu daftar ulang? Lo udah tau jurusannya belum?" tanya Selcia. Selcia sengaja mengalihkan pembicaraan agar suasana tidak terlalu terlihat menyedihkan.

Dengan sedikit tidak bersemangat, Rere menganggukkan kepalanya. Rere tidak hanya tahu jurusan lelaki itu, tetapi Rere juga sudah tahu status lelaki itu. "Ada empat info yang gue tau tentang abang itu. Yang pertama, dia jurusan Biologi. Yang kedua, dia angkatan 2017. Yang ketiga, namanya Alfathur, biasa dipanggil Fathur. Yang terakhir, Bang Fathur udah punya pacar."

Selcia mengeluarkan ekspresi terkejut setelah mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan oleh Rere. Di satu sisi, Selcia ikut kaget dan sedih mendengar kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Rere. Namun, di sisi lainnya, Selcia bangga mendengarnya karena itu berarti, Rere tidak kehilangan kemampuannya dalam mencari tahu identitas atau status orang. "Wah, lo kok bisa tau sampai sedetail itu, sih, Re?"

Rere mengangkat ponselnya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja yang menjadi pembatas Selcia dengan dirinya. "Handphone dan—" Rere meletakkan ponselnya kembali dan menunjuk matanya dengan jari telunjuknya. "Mata. Sesimpel itu, Sel. Tapi, ya, yang nggak simpel itu, saat tau fakta menyedihkan tentang orang yang kita stalk."

Selcia menepukkan tangannya setelah Rere menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang sangat sederhana. "Jawaban sederhana lo itu bisa jadi jawaban yang luar biasa kalau lo bisa tau identitas orang yang ada di mal ini dengan mata dan handphone lo."

"Selcia-ku Sayang, gue, tuh, nggak mau asal stalk orang. Nggak enak tau, kecuali orangnya kayak—" Rere menghentikan kalimatnya ketika matanya secara tidak sengaja menangkap pemandangan yang sangat menarik. "Cowok yang lagi jalan sama anak kecil itu." Rere mengarahkan jari telunjuknya ke arah orang yang ia maksud.

Selcia dengan segera menoleh ke arah jari Rere menunjuk. Benar saja, ada sebuah pemandangan menarik yang ditangkap oleh mata Selcia. "Anjay, lo yakin mau ngegebet bapak-bapak?"

"Hah? Nggak mungkin dia udah bapak-bapak," ujar Rere. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Selcia. Menurut Rere, tidak mungkin lelaki bertampang rupawan itu sudah memiliki seorang anak. "Coba deh lo pake kacamata lo. Nggak mungkin orang seganteng dan se-fresh itu udah punya anak."

Sesuai dengan saran Rere, Selcia memakai kacamatanya yang sengaja tidak ia gunakan. Setelah membenarkan letak kacamatanya, Selcia langsung menoleh ke arah lelaki yang dimaksud oleh Rere. "Eh, iya, ganteng sumpah. Gila, sih, kalau dia emang udah punya istri hati gue sakit banget."

The Café of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang